Kecaman Luas Mengalir atas Provokasi Ben-Gvir di Masjid Al-Aqsa
Ben-Gvir berulah lagi. Kunjungan dan seruannya terkait Masjid Al-Aqsa memperparah konflik yang mendidih di Palestina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEL AVIV, RABU — Itamar Ben-Gvir, Menteri Keamanan Nasional pemerintahan sayap kanan Israel, melakukan tindakan provokatif lagi. Ia mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa di Jerusalem, Selasa (13/8/2024), dan menyebut bahwa umat Yahudi harus diizinkan berdoa dan melaksanakan ritual di sana.
Banyak pihak mengecam dan menilai tindakan Ben-Gvir sebagai provokasi di tengah situasi Jalur Gaza dan Timur Tengah yang tengah terancam eskalasi konflik lebih besar. Berdasarkan kesepakatan internasional dan telah berlaku beberapa dekade, kompleks Masjid Al-Aqsa bisa dikunjungi oleh umat Yahudi. Namun, mereka tidak diizinkan untuk melaksanakan ritual keagamaan di sana.
Umat Yahudi telah disediakan tempat di bagian Tembok Barat, atau juga dikenal dengan sebutan Tembok Ratapan, guna menjalankan ibadah. Lokasi Tembok Ratapan ini bersebelahan dengan kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Jerusalem.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah kemungkinan bakal ada perubahan aturan bagi umat Yahudi di Al-Aqsa. Ia juga menegur Ben-Gvir.
”Tidak ada kebijakan pribadi (yang diinisiasi) menteri mana pun di Bukit Kuil (Temple Mount), baik menteri keamanan nasional maupun menteri lainnya,” demikian pernyataan kantor Netanyahu. Bukit Kuil (Temple Mount) adalah penyebutan yang biasa digunakan oleh Pemerintah Israel untuk merujuk pada kompleks Al Haram al-Syarif, lokasi Masjid Al-Aqsa.
Tindakan Ben-Gvir menjejakkan kaki di Al-Aqsa adalah tindakan berulang yang pernah dilakukannya pada pertengahan Mei dan Juli 2024 serta pada Januari 2023. Ben-Gvir dalam kunjungan terbarunya, Selasa (13/8/2024), mengklaim bahwa Pemerintah Israel memberikan lampu hijau bagi umat Yahudi untuk melakukan ritual dan ibadah di Al-Aqsa. ”Kebijakan kami adalah mengizinkan doa,” katanya.
Klaim Ben-Gvir tersebut telah dibantah kantor PM Netanyahu.
Yayasan Waqf, yang mengelola kompleks Masjid Al-Aqsa, menyebut lebih dari 2.200 warga Yahudi memasuki lokasi kompleks Masjid Al-Aqsa pada hari Selasa itu.
Tindakan provokatif berulang oleh Ben-Gvir mendapat kecaman dari berbagai pihak. Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, mengecam hal itu sebagai provokasi yang terus berulang. Juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengecam kunjungan Ben-Gvir sebagai provokasi. Ramallah meminta Amerika Serikat untuk campur tangan jika ingin mencegah kawasan itu meledak tidak terkendali.
Departemen Luar Negeri AS menyebut tindakan yang membahayakan status quo lokasi suci bagi tiga umat beragama, yakni Muslim, Kristiani, dan Yahudi, tidak bisa diterima. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut tindakan provokatif Ben-Gvir hanya memperburuk situasi di Gaza dan Timur Tengah secara keseluruhan.
”Tindakan provokatif ini hanya memperburuk ketegangan di tengah situasi krusial, ketika semua fokus seharusnya tertuju pada upaya diplomatik untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata, mengamankan pembebasan semua sandera, serta menciptakan kondisi untuk stabilitas regional yang lebih luas,” kata Blinken.
Ia mendesak Netanyahu untuk mencegah tindakan serupa terulang kembali di masa depan. ”Kami akan meminta Pemerintah Israel untuk mencegah insiden serupa di masa mendatang,” kata Blinken.
Kecaman serupa juga disampaikan Wakil Juru Bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa Farhan Haq.
”Kami menentang segala upaya untuk mengubah status quo di dalam situs-situs suci tersebut,” kata Haq. ”Masjid Al-Aqsa, seperti tempat-tempat suci lainnya di Jerusalem, seharusnya tidak diusik dan harus dikontrol oleh otoritas keagamaan yang ada di tempat-tempat tersebut. Perilaku seperti ini tidak membantu dan sangat provokatif.”
Kecaman tidak hanya datang dari luar Israel. Moshe Gafni, Kepala United Torah Judaism, salah satu partai keagamaan dalam pemerintahan Netanyahu, juga mengkritik kunjungan Ben-Gvir ke kompleks tersebut. Kompleks suci itu, menurut banyak orang Yahudi Ortodoks, adalah tempat yang terlalu sakral untuk dimasuki orang Yahudi.
”Kerusakan yang ditimbulkannya pada orang-orang Yahudi tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata,” kata Gafni dalam sebuah pernyataan.
Jurang semakin dalam
Pernyataan Netanyahu mengenai tindakan Ben-Gvir merefleksikan perselisihannya dengan salah satu tokoh utama partai sayap kanan Otzma Yehudit itu. Tidak hanya dengan Netanyahu, Ben-Gvir diketahui berselisih paham dengan sejumlah menteri di kabinet Netanyahu soal keinginannya mengizinkan umat Yahudi beribadah di Al-Aqsa. Seruannya agar umat Yahudi bisa beribadah di sana telah memicu konflik dengan Palestina, termasuk perang 10 hari dengan Hamas tahun 2021.
Menteri Dalam Negeri Israel Moshe Arbel, yang berasal dari partai agama Yahudi Shas, mengecam Ben-Gvir atas tindakannya memasuki wilayah tersebut. ”Suatu hari nanti, era provokasi oleh Ben-Gvir akan berlalu,” kata Arbel, dikutip dari laman The Guardian.
Walau Netanyahu berseberangan dengan Ben-Gvir dan juga Bezalel Smotrich, dua politisi sayap kanan di pemerintahannya, pemimpin Partai Likud ini tidak bisa berbuat banyak karena pemerintahannya ditopang oleh dukungan dari dua orang tersebut. Ben-Gvir dan Smotrich adalah dua orang yang mendorong Netanyahu untuk tetap terus melancarkan operasi militer karena itulah yang dinilai sebagai ”kunci” bagi pemerintahan Netanyahu untuk bisa bertahan saat ini.
Perbedaan pandangan antara Ben-Gvir dan Smotrich tak hanya terjadi dengan Arbel, tetapi juga dengan Yoav Gallant, politisi Likud yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Ben-Gvir dan Smotrich berulang kali berselisih dengan Gallant tentang berbagai hal, mulai dari pelaksanaan operasi militer di Gaza, kebijakan Israel soal Tepi Barat, hingga langkah-langkah untuk mengekang kekuasaan lembaga peradilan Israel.
Gallant juga berselisih dengan Netanyahu. Meski saat ini menduduki posisi sebagai orang nomor satu di Kementerian Pertahanan, Gallant tak segan-segan mengkritik narasi Netanyahu soal tujuan Israel melakukan operasi militer di Gaza.
Gallant menilai seruan ”kemenangan total” yang sering kali disampaikan Netanyahu sebagai omong kosong. Netanyahu sempat coba memecat Gallant karena dia menentang rencana perubahan sistem peradilan dan hukum Israel yang akan menguntungkan Netanyahu terkait status Netanyahu sebagai tersangka kasus korupsi dan gratifikasi. Namun, hal itu urung dilakukan Netanyahu karena protes ratusan ribu warga Israel. (AP/AFP/REUTERS)