Per Minggu (4/8/2024), media-media arus utama melaporkan kerusuhan masih terjadi, antara lain, di kota Liverpool, Manchester, Hull. Kerusuhan juga terpantau di Belfast, Irlandia Utara. Di London, pengunjuk rasa melempari rumah dinas Perdana Menteri. Mereka, antara lain, menggunakan kaleng dan botol. Setidaknya delapan polisi terluka dalam bentrokan dengan pengunjuk rasa.
PM Inggris Keir Starmer berkomentar keras. ”Pemerintah tidak menoleransi segala bentuk ekstremisme yang menyebarluaskan kebencian dan menghasilkan kekerasan. Ini bukan unjuk rasa yang kebablasan, ini murni kesengajaan berbuat rusuh,” katanya
Kerusuhan ini yang terburuk di dalam 13 tahun terakhir dan menjadi ujian bagi pemerintahan Starmer. Sebelumnya, kerusuhan besar terjadi pada 6-11 Agustus 2011 karena dipicu penembakan Mark Duggan, seorang warga kulit hitam oleh polisi. Kini, kerusuhan justru menyasar masyarakat kulit berwarna.
Pemicunya adalah kasus penusukan di kelas dansa di Southport pada 29 Juli 2024. Kota itu berada di 308 kilometer di barat laut London. Dalam serangan itu, tiga anak perempuan tewas. Mereka adalah Bebe King (6), Esie Stancombe (7), dan Alice Dasilva Aguiar (9).
Selain itu, ada delapan anak dan dua orang dewasa yang terluka. Pelakunya adalah seorang pemuda berumur 17 tahun yang kemudian diidentifikasi sebagai Alex Rudakubana.
Tragedi itu membuat masyarakat marah. Kabar palsu beredar di media sosial. Isinya, pelaku imigran Muslim. Akibatnya, para pendukung sayap kanan dan neo-Nazi menyerang masjid-masjid serta beragam tempat ibadah umat Islam. Dua masjid, yaitu di Southport dan Liverpool dibakar.
Selain itu, di Liverpool, 300 orang terlibat di dalam pembakaran Perpustakaan Spellow Lane. Gedung perpustakaan ini juga dipakai untuk berbagai pelatihan keterampilan. Pesertanya mayoritas imigran dan kulit berwarna.
Para perusuh juga menghalangi petugas-petugas pemadam kebakaran. Mereka melempari truk pemadam kebakaran dengan botol dan batu. ”Kita sebut saja situasi ini apa adanya, yaitu kekacauan yang disengaja. Keluarga, anak-anak, dan wisatawan juga dikejar-kejar oleh para pelaku kekerasan,” kata Wali Kota Liverpool Steve Rotheran, dikutip oleh surat kabar The Telegraph.
Kepolisian Liverpool melaporkan, para perusuh mengejar wisatawan yang sedang berjalan-jalan. Di dermaga, kapal pesiar Disney Princess sedang merapat. Banyak orangtua membawa anak-anak mereka untuk melihat-lihat kapal dan mereka juga dikejar oleh para perusuh sehingga harus melarikan diri.
Gara-gara kekacauan di sejumlah kota, Hakim Andrew Menery melakukan hal yang kontroversial. Di hukum Inggris, anak yang berhadapan dengan hukum tidak boleh disiarkan identitasnya. Hakim Meverly memilih sebaliknya.
Ia mengungkap identitas Rudakubana sebagai warga kelahiran Inggris, keturunan Rwanda, dan bukan seorang Muslim. ”Ini tidak ideal, tetapi terpaksa dilakukan supaya menanggulangi kabar palsu yang menyebar,” kata Meverly.
Tetap saja, hal itu tidak meredam para pengunjuk rasa. Hal ini memunculkan gelombang unjuk rasa baru, yaitu mereka yang antidiskriminasi dan mendukung kemajemukan bangsa.
Di Bristol, kota paling kiri di Inggris, para perusuh sayap kanan kalah jumlah dengan penentang mereka sehingga polisi bisa menangani. Di Blackpool, kebetulan ada Rebellion yang merupakan festival musik punk tahunan.
Para anggota komunitas punk turun ke jalan, berhadapan dengan para perusuh. Situasi berhasil ditangani oleh polisi. Pada hari Minggu, para punker bergabung dengan sukarelawan untuk membersihkan kota.
Di Hartlepool, polisi mengamankan dua anak laki-laki berusia 11 tahun dan 14 tahun. Mereka terlibat membakar satu unit mobil polisi. Belum diketahui anak-anak itu memang sengaja dibawa untuk ikut kerusuhan atau ikut-ikutan.
”Situasi ini buruk sekali. Semua unit kepolisian ditarik untuk menangani kerusuhan, termasuk yang dari wilayah lain. Akibatnya, kami tidak bisa menangani kasus-kasus lain,” tutur Tiffany Lynch dari Federasi Kepolisian Inggris dan Wales kepada BBC.
Ia meminta maaf kepada masyarakat yang ”terpaksa” ditinggal sementara keluhannya. Menurut Menteri Kepolisian Inggris Diana Johnson, polisi mengamati dari semua kamera pemantau. Tujuannya mencari identitas para perusuh. Petugas dan sejumlah lembaga antidiskriminasi mengidentifikasi para perusuh sebagai anggota Liga Pembela Inggris (EDL), kelompok neo-Nazi, dan faksi-faksi sayap kanan lain.
EDL dipastikan sebagai penyebar hoaks di media sosial mengenai identitas pelaku penusukan. Organisasi masyarakat ini dibentuk pada 2009 dengan prinsip antiimigran dan warga nonkulit putih. Polisi juga mengatakan bahwa pendukung EDL kerap melakukan kerusuhan di pertandingan sepak bola.
Pengamat ekstremisme Matthew Feldman dan Paul Johnson dalam buku The EDL: Britain’s New Far Right Social Movement menjelaskan bahwa EDL adalah gerakan sayap kanan terkuat di Inggris. Akan tetapi, EDL berbeda dari gerakan serupa di Perancis, Italia, Jerman, dan negara-negara lain di Eropa.
Sebab, EDL tidak masuk ke ranah politik. Mereka langsung menghasut masyarakat untuk saling membenci. ”EDL mempraktikkan politik aksi langsung di akar rumput,” kata Feldman kepada Evening Standard.
Menurut dia, harus ada satuan tugas khusus untuk menangani penyebaran disinformasi, misinformasi, dan radikalisme di media sosial. Radikalisme ini tidak yang berlandaskan agama seperti yang banyak dikhawatirkan masyarakat, tetapi juga risiko perpecahan akibat sentimen ras dan jender yang menyebar cepat di media sosial.