Uni Eropa Kehilangan Kepercayaan Global karena Tak Tegas soal Gaza
Soal Gaza, UE gagal menunjukkan mampu menegakkan hukum internasional dan supremasi hukum.
Para pemimpin Eropa masih berbeda sikap dan belum menemukan konsensus mengenai perang di Gaza. Sikap ini mengakibatkan keraguan terhadap Uni Eropa sebagai suara yang diperhatikan di dunia.
Uni Eropa sama sekali tidak menunjukkan ketegasan di Gaza seperti yang ditunjukkan dalam Perang Ukraina. Di Ukraina, UE segera dan terus menyatakan ada pelanggaran hukum internasional. UE ikut mendukung sanksi pada Rusia sebagai penyerbu Ukraina.
Soal Gaza, UE terus terbelah. Sejauh ini hanya empat dari 27 negara anggota UE meminta peninjauan kerja sama UE-Israel. Menurut Irlandia, Malta, Spanyol, dan Slovenia, Israel melanggar klausul soal perlindungan HAM dalam perjanjian itu.
Di sisi lain, setidaknya tiga anggota UE konsisten menghindari kritik terhadap Israel. Adapun pernyataan pejabat UE berubah-ubah soal penerapan hukum internasional ke Israel.
Baca juga: Panggung Mantan Terjajah dan Penjajah di Sidang Genosida Lawan Israel
Sudah hampir 10 bulan sejak Israel memulai serangannya di Gaza sebagai balasan atas serangan Hamas 7 Oktober 2023. Pada Sabtu (27/7/2024), serangan Israel telah menewaskan sekitar 40.000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak. Puluhan ribu orang lainnya terluka dan ribuan masih hilang karena terjebak di reruntuhan bangunan.
Sayangnya, UE belum juga mengecam Israel atas pelanggaran hukum humaniter internasional. Padahal, Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) sama-sama sedang menyelidiki Israel atas kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida dan kelaparan.
Jaksa ICC juga telah mengajukan penerbitan perintah penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant sebagai pelaku kejahatan internasional. Permintaan juga ditujukan ke tiga petinggi Hamas, yakni Yahya Sinwar, Ismail Haniyeh, dan Mohammed Deif.
Sejauh ini, UE relatif diam dan terkesan tak mendukung keputusan ICC ini. Bahkan, permintaan ICC untuk penerbitan surat perintah penangkapan bagi Netanyahu dan Gallant telah terhenti karena sempat ditentang Inggris dan Jerman. Belakangan, Inggris berubah sikap. Perdana Menteri Inggris yang baru, Keir Starmer, mengumumkan Inggris menarik penolakannya tersebut.
Sikap EU ini sangat kontras dengan kecaman dan sanksi terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina. Padahal, dalam dakwaannya, Kepala Jaksa ICC Karim Khan telah menyebutkan berbagai bukti yang mendukung keputusan terhadap pejabat Israel dan Hamas tersebut.
Selama pengajuan tuduhan genosida oleh Israel di ICJ pada Januari 2024, pengacara HAM Irlandia, Blinne Ní Ghrálaigh, memaparkan tuduhan dengan fakta yang menggambarkan dahsyatnya penderitaan manusia di Gaza. ”Berdasarkan angka saat ini, rata-rata, 247 warga Palestina terbunuh dan berisiko terbunuh setiap hari, banyak dari mereka benar-benar hancur berkeping-keping,” ujarnya.
Tidak ada lagi bualan Eropa, bualan itu sudah selesai.
Ghralaigh mengatakan, para korban tewas di Gaza termasuk 48 ibu setiap hari. Dengan demikian, dua ibu setiap jam dan lebih dari 117 anak setiap hari tewas karena serangan Israel. Hal ini menyebabkan Unicef menyebut tindakan Israel sebagai perang terhadap anak-anak.
Seluruh generasi keluarga di Gaza musnah karena anggota keluarga itu tewas dalam serangan. Banyak anak pun menjadi anak terluka sebatang kara tanpa keluarga (WCNSF). ”Singkatan baru yang mengerikan yang lahir dari serangan genosida Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza,” kata Ghralaigh.
Data itu juga mencakup setidaknya 10 anak di Gaza diamputasi tanpa anestesi setiap hari. Hal ini karena blokade Israel terhadap makanan, bahan bakar, air, dan pasokan medis yang memadai.
Dengan pemaparan fakta memilukan itu pun, UE tetap menolak menggunakan pengaruh yang dimilikinya terhadap Israel. Padahal, UE diharapkan setidaknya menyuarakan ketidaksetujuan atas tindakan Israel di Gaza.
Baca juga: Polisi New York Serbu Columbia University, Jerman Tetap Boleh Kirim Senjata ke Israel
Lebih parah lagi, hanya beberapa hari setelah pemaparan argumen di ICJ dan kesaksian selama berjam-jam mengenai penderitaan manusia yang dahsyat di Gaza, Jerman mengumumkan akan campur tangan di ICJ untuk membela Israel. ”Pemerintah Jerman dengan tegas dan tegas menolak tuduhan genosida yang diajukan terhadap Israel di hadapan Mahkamah Internasional,” kata juru bicara Pemerintah Jerman, Steffen Hebestreit.
Memang, belakangan UE mau membahas ulah Israel. Setelah upaya lobi beberapa bulan oleh Irlandia, Spanyol, Malta, dan Slovenia, barulah UE setuju bertemu Israel guna membahas perjanjian UE-Israel. Pertemuan itu pun hanya pembahasan secara umum, tidak spesifik membahas dugaan pelanggaran HAM dengan tujuan untuk memberikan sanksi kepada Israel.
Menunda-nunda
Sementara itu, fatwa hukum terbaru ICJ menegaskan kembali yurisprudensi bahwa pendudukan Israel atas tanah Palestina adalah ilegal. Fatwa hukum itu juga menyarankan agar Israel memindahkan pemukim Yahudi dari wilayah Palestina dan membayar ganti rugi kepada warga Palestina.
Tanggapan UE soal fatwa hukum ICJ itu juga ambigu, yaitu mendukung tapi perlu kajian mendalam. Wakil diplomatik UE yang dipimpin oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Josep Borrell mengatakan, fatwa hukum ICJ itu sebagian besar konsisten dengan posisi UE. Di sisi lain, ia juga menyatakan, fatwa hukum ICJ itu perlu dianalisis lebih menyeluruh, termasuk implikasinya terhadap kebijakan UE.
”Di dunia dengan pelanggaran hukum internasional yang terus-menerus dan terus meningkat, adalah tugas moral kita untuk menegaskan kembali komitmen kita yang teguh terhadap semua keputusan ICJ secara konsisten, terlepas dari subyek yang dipertanyakan,” tulisnya.
Baca juga: Irlandia, Norwegia, dan Spanyol Akui Negara Palestina
Pernyataan tersebut mungkin tidak mencerminkan posisi tiap-tiap negara anggota UE. Negara Hongaria, Republik Ceko, dan Austria, misalnya, telah berulang kali menolak kritik terhadap Israel.
Sementara itu, Ursula von der Leyen, yang memulai masa jabatan kedua sebagai Presiden Komisi UE, baru-baru ini menyerukan diakhirinya perang dalam pidatonya di Parlemen Eropa. ”Saya ingin menjelaskan dengan sangat jelas, pertumpahan darah di Gaza harus dihentikan sekarang,” katanya.
Menurut dia, terlalu banyak anak-anak, wanita, dan warga sipil yang kehilangan nyawa akibat serangan Israel terhadap serangan Hamas. ”Orang-orang Gaza tidak tahan lagi. Kemanusiaan tidak tahan lagi,” katanya menambahkan.
Namun, bagi para kritikus UE, pernyataan itu sudah terlambat. ”Negara-negara di belahan bumi selatan tidak akan mendengarkan Eropa yang mengklaim sebagai penegak hukum,” kata mantan negosiator Israel, Daniel Levy, kepada media Eropa, Euronews, edisi 26 Juli 2024.
Baca juga: Pengakuan terhadap Palestina Jadi Alat Menekan AS
Menurut Levy, dalam konteks perang di Gaza, Eropa tampak lemah. ”Tidak ada lagi bualan Eropa, bualan itu sudah selesai. Eropa telah menunjukkan bahwa mereka tidak tertarik pada hal-hal itu. Jadi, hari ini, Eropa tampak lebih lemah dan kurang mendapat dukungan, dan orang tidak akan mau diceramahi oleh Uni Eropa,” katanya.
Terkait Gaza, kata Levy, UE telah gagal menegaskan bahwa mereka telah menegakkan hukum internasional dan supremasi hukum. Akibatnya, mereka telah kehilangan banyak dukungan di mayoritas global, terutama negara-negara di belahan bumi selatan.
Ia membandingkan sikap UE dengan perang di Ukraina. Selama tahun pertama perang Ukraina, ada banyak pembicaraan tentang mengapa seluruh dunia tidak bersama UE, bagaimana UE memperoleh suara mengambang global itu. ”Pendekatan terhadap Gaza yang dipimpin oleh Ursula von der Leyen telah membuat klaim itu mustahil,” ujarnya.
Perubahan Inggris
Pada Jumat (26/7/2024), Kantor Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyatakan negaranya tidak akan campur tangan dalam permintaan ICC untuk menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.
Pernyataan ini membalik sikap Inggris sebelumnya, di bawah kepemimpinan mantan Perdana Menteri Rishi Sunak. ”Ini adalah usulan dari pemerintah sebelumnya yang tidak diajukan sebelum pemilihan. Saya pastikan bahwa pemerintah tidak akan melanjutkannya posisi lama,” kata juru bicara Starmer.
Israel bukan anggota ICC sehingga Netanyahu dan Gallant tidak menghadapi risiko langsung dituntut, bahkan saat surat perintah penangkapan diterbitkan. Namun, ancaman penangkapan dapat mempersulit mereka bepergian ke negara-negara anggota ICC.
Keputusan Starmer membuat Inggris berbeda pendapat dengan AS. Kantor Starmer menegaskan keputusan tersebut didasarkan pada keyakinan kuat pada pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum di dalam negeri dan di internasional.
Starmer, mantan pengacara hak asasi manusia, menghadapi tekanan dari partainya untuk mengambil sikap tegas terhadap krisis Gaza. Terutama karena jumlah korban tewas dan jumlah korban luka terus meningkat.
London juga telah diwarnai aksi protes besar-besaran yang mengecam tindakan Israel di Gaza. Seiring meluasnya protes mengecam serangan Israel di Gaza, insiden antisemit juga dilaporkan meningkat di Inggris.
Starmer awalnya menolak menyerukan gencatan senjata di Gaza. Tapi, akibat penolakan itu, Partai Buruh kehilangan dukungan. Partai tersebut masih dalam tahap pemulihan dari skandal yang melibatkan tuduhan antisemitisme terhadap pimpinan pendahulu Starmer, Jeremy Corbyn. (AP/AFP/REUTERS)