Fatah-Hamas Bersatu, Tahap Paling Krusial Pembentukan Negara Palestina
Kabar bersatunya Fatah-Hamas sangat menggembirakan. Bagaimana agar perjanjian kali ini tidak gagal seperti sebelumnya?
BEIJING, RABU — Kelompok Fatah, Hamas, dan 12 faksi politik Palestina lainnya berhasil menandatangani perjanjian pembentukan pemerintahan Palestina bersatu. Hal itu dituangkan dalam Deklarasi Beijing. Seluruh dunia, kecuali Israel, menyambut gembira peristiwa bersejarah tersebut. Dunia menunggu aksi nyata penerapan perjanjian.
Deklarasi Beijing untuk Mengakhiri Perpecahan dan Menguatkan Persatuan Nasional Palestina, demikian nama kesepakatan mereka, diterbitkan di Beijing, China, pada Selasa (23/7/2024). Pemerintah China bertindak selaku penengah dalam perundingan itu. Menteri Luar Negeri China Wang Yi hadir menjadi saksi pada penandatanganan perjanjian tersebut.
Fatah diwakili pejabat seniornya, Mahmoud al-Aloul. Adapun Hamas diwakili pejabat seniornya, Mousa Abu Marzouk. Adapun ke-12 faksi, seperti dilaporkan Al Monitor, antara lain, yaitu Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine/PFLP), Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina, Partai Rakyat Palestina, Front Perjuangan Rakyat Palestina, dan Prakarsa Nasional Palestina.
Hadir pula perwakilan diplomatik dari Mesir, Aljazair, Arab Saudi, Qatar, Jordania, Suriah, Lebanon, Rusia, dan Turki dalam upacara penandatanganan kesepakatan. Kesepakatan tersebut dihasilkan dari perundingan secara intensif selama tiga hari.
Baca juga: Hari Bersejarah, Fatah dan Hamas Tanda Tangani Perjanjian Persatuan
Pada Rabu (24/7/2024), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres memberi tanggapan melalui juru bicaranya, Stephane Dujarric. ”Sekjen Guterres menyambut baik perjanjian ini sebagai awal positif dalam langkah menuju Palestina merdeka,” kata Dujarric.
Guterres mengimbau agar semua pihak yang menandatangani perjanjian itu berkomitmen mematuhinya. Mulai saat ini, dialog harus menjadi jalan keluar bagi semua persoalan. PBB mendukung solusi dua negara, yaitu adanya negara Palestina dan negara Israel hidup berdampingan secara damai. Indonesia dan Amerika Serikat juga mendukung solusi dua negara.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi melalui pernyataan tertulis mengatakan, disepakatinya Deklarasi Beijing oleh para pemangku kepentingan di Palestina merupakan langkah maju dalam mendorong rekonsiliasi dan persatuan bangsa Palestina, utamanya di tengah konflik yang berlangsung di Gaza. ”Indonesia berharap apa yang telah disepakati dapat diimplementasikan,” katanya.
”Isu persatuan selalu disampaikan Indonesia dalam setiap pertemuan dengan fraksi-fraksi di Palestina. Persatuan merupakan kunci bagi upaya mewujudkan perdamaian dan masa depan Palestina,” lanjut Retno.
Revitalisasi PLO
Wang, seperti dilansir laman Kementerian Luar Negeri China, menyebut bahwa konsensus terpenting yang dicapai dalam perundingan antarfaksi Palestina di Beijing adalah tekad mewujudkan rekonsiliasi dan persatuan di kalangan 14 faksi. Adapun hasil utama perundingan, yaitu penegasan kembali bahwa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menjadi satu-satunya perwakilan sah dari seluruh rakyat Palestina.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam taklimat media, Selasa (23/7/2024), seperti dilansir kantor berita Xinhua, mengatakan bahwa dalam Deklarasi Beijing, faksi-faksi Palestina menyepakati persatuan nasional di kalangan mereka berada dalam kerangka PLO.
Hanya dengan upaya terus-menerus membangun konsensus dan menerapkannya dalam tindakan, proses rekonsiliasi itu akan menghasilkan kemajuan yang lebih substantif dan persatuan lebih besar.
Sementara penekanan utama perundingan adalah kesepakatan untuk membentuk pemerintahan interim hasil rekonsiliasi nasional dengan fokus rekonstruksi Gaza pasca-perang Hamas-Israel. Sasaran puncak dari perundingan, yakni mendirikan negara Palestina merdeka berdasarkan resolusi-resolusi PBB.
”Kunci dalam proses rekonsiliasi Palestina ini adalah memperkuat konfidensi, menjaga arah yang tepat, dan membuat kemajuan secara bertahap,” kata Wang.
”Hanya dengan upaya terus-menerus membangun konsensus dan menerapkannya dalam tindakan, proses rekonsiliasi itu akan menghasilkan kemajuan yang lebih substantif dan persatuan lebih besar,” lanjut Wang.
Komitmen pada peta 1967
Dalam delapan poin Deklarasi Beijing dikatakan bahwa pemerintahan Palestina bersatu memiliki otoritas di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Jerusalem sebagai ibu kota negara sesuai dengan peta sebelum tahun 1967 ketika Israel mencaplok Palestina melalui perang. Hal itu juga tertuang dalam pernyataan bersama 14 faksi seusai penandatanganan kesepakatan.
Seluruh faksi yang hadir—termasuk Hamas—menyatakan komitmen mereka pada berdirinya negara Palestina di atas perbatasan wilayah tahun 1967. Meski secara resmi Hamas tidak mengakui Israel dan piagam berdirinya juga secara langsung menyerukan penghancuran Israel, kesediaan Hamas menerima terbentuknya negara Palestina di wilayah perbatasan 1967 merupakan perubahan penting.
Kesediaan Hamas pada komitmen itu pernah disampaikan anggota Biro Politik Militer Hamas, Khalil al-Hayya, dalam sebuah wawancara pada April 2024. Dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press di Istanbul, Turki, ia menyatakan, Hamas siap meletakkan senjata bila kemerdekaan Palestina terwujud dengan wilayah sesuai dengan perbatasan 1967.
Baca juga: Hamas Siap Akui Israel dan Letakkan Senjata
Selama ini Hamas menolak mengakui keberadaan Israel dengan cara apa pun. Dengan menerima perbatasan 1967, secara tidak langsung Hayya menerima keberadaan Israel. Sebab, meski wilayahnya berbeda dengan saat ini, Israel sudah ada pada 1967.
Husam Badran, pejabat Biro Politik Hamas di Qatar, menyebut kesepakatan di Beijing sebagai ”langkah maju yang positif menuju persatuan nasional Palestina”.
Baca juga: Momentum Pas Satukan Fatah-Hamas
Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning dalam taklimat media, Selasa (23/7/2024), seperti dilansir kantor berita Xinhua, Deklarasi Beijing juga menyebutkan kesiapan para pihak dalam membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional interim, melaksanakan rekonstruksi di Gaza, serta mempersiapkan dan menggelar pemilu sesegera mungkin sesuai dengan undang-undang pemilu yang ditetapkan.
Para faksi-faksi Palestina menekankan pentingnya langkah-langkah praktis dalam membentuk dewan nasional Palestina yang baru. Mereka dengan bulat sepakat mengaktifkan kerangka Kepemimpinan Bersatu dalam mengambil keputusan-keputusan politik. Mereka juga sepakat menyusun mekanisme kolektif guna menjalankan deklarasi dan menyusun kerangka waktu untuk implementasi proses tersebut.
Beberapa pertanyaan
Namun, ada beberapa pertanyaan pascaterbitnya Deklarasi Beijing. Pasalnya, selama ini Fatah dan Hamas berbeda pendapat. Fatah yang kemudian unsurnya terlibat erat membentuk Otoritas Palestina di Tepi Barat mendukung solusi dua negara. Sebaliknya, Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza sejak memenangi pemilihan umum 2006 menginginkan negara Israel dihilangkan.
Selain itu, tidak ada detail dalam Deklarasi Beijing mengenai bagaimana dan kapan pemerintahan persatuan Palestina akan dibentuk. Hanya disebutkan, pemerintahan tersebut akan dilakukan ”berdasarkan kesepakatan di kalangan faksi-faksi”. Tidak ada pula jaminan dari faksi-faksi, kecuali komitmen dan janji.
”Memang ada peluang... tetapi peluang itu tidak besar karena tidak ada kerangka waktu spesifik dalam pelaksanaannya,” kata Hani al-Masry, pakar dalam urusan rekonsiliasi Palestina.
Selain itu, walaupun mendukung solusi dua negara, AS dan negara-negara Barat tidak akan menerima pemerintahan Palestina yang melibatkan Hamas di dalamnya. AS dan Inggris menggolongkan Hamas ke dalam kelompok teroris.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengemukakan bahwa AS berkomitmen mendukung solusi dua negara bagi Palestina. Washington mengharapkan Otoritas Palestina berwenang atas semua wilayah Palestina. ”Akan tetapi, AS tidak bisa menerima pemerintahan Palestina yang mengandung unsur Hamas,” ujarnya.
Ashraf Abouelhoul, spesialis pada isu-isu Palestina dan redaktur pelaksana koran Mesir, Al-Ahram, mengatakan, deklarasi-deklarasi rekonsiliasi di kalangan faksi-faksi Palestina sebelumnya tidak dapat diimplementasikan dan tidak ada kelanjutannya tanpa persetujuan AS.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, telah mengeluarkan pernyataan menolak Deklarasi Beijing. ”Komitmen Israel menghancurkan Hamas tidak bisa ditawar,” ujarnya.
Baca juga: Fatwa Hukum ICJ Perkuat Diplomasi Indonesia untuk Perjuangkan Palestina
Pemerintah Israel melalui Knesset (parlemen) mengeluarkan keputusan menolak mengakui negara Palestina merdeka. Mereka juga menolak ada Otoritas Palestina yang berwenang atas Jalur Gaza. Tel Aviv ingin mereka yang mengatur Gaza.
Tantangan berat
Pertanyaan lain ialah seberapa lama perjanjian ini bisa bertahan mengingat perbedaan prinsip antara Fatah dan Hamas sangat mendasar. Keduanya pernah meneken pakta rekonsiliasi di Mesir pada tahun 2011, tetapi gagal diterapkan. Setelah itu, ada pakta rekonsiliasi lagi pada 2022 di Aljazair dan gagal pula diterapkan.
Baca juga: Fatah-Hamas Kembali Upayakan Rekonsiliasi di China
Juru Bicara Fatah Jamal Nazzal mengatakan, semua pihak menyadari tantangan berat yang mereka hadapi, tetapi mereka juga optimistis. Pemerintahan bersatu Palestina bisa terwujud apabila gencatan senjata bisa tercapai. Hingga saat ini belum ada kepastian gencatan senjata.
Sementara petinggi Hamas, Mousa Abu Marzouk, menekankan kembali kesungguhan Hamas untuk persatuan Palestina karena itu satu-satunya cara kemerdekaan bisa diraih. ”Hari ini kami menandatangani kesepakatan untuk persatuan nasional dan kami menyebut langkah untuk menyelesaikan perjalanan ini adalah persatuan nasional,” kata Abu Marzouk dalam konferensi pers di Beijing.
Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Prakarsa Nasional Palestina, salah satu dari 14 faksi penanda tangan Deklarasi Beijing, mengatakan, kesepakatan di Negeri Tirai Bambu lebih maju daripada kesepakatan-kesepakatan serupa antarfaksi Palestina sebelumnya.
Kepada Al Jazeera, ia menjelaskan, ada empat elemen penting dalam Deklarasi Beijing: pembentukan pemerintahan persatuan nasional interim, pembentukan kepemimpinan Palestina bersatu sebelum pemilu-pemilu ke depan, pemilu bebas untuk membentuk Dewan Nasional Palestina, dan pernyataan bersatu dalam menghadapi serangan-serangan Israel saat ini.
Barghouti menyebut langkah menuju pembentukan pemerintahan persatuan sangat penting. Sebab, langkah itu ”memblokir upaya Israel menciptakan struktur kolaborasi guna menghadang kepentingan-kepentingan Palestina”.
Baca juga: Dua Pilihan untuk Netanyahu: Bebaskan Sandera lewat Gencatan Senjata atau Mundur
Namun, pakar Timur Tengah di lembaga kajian Crisis Group, Tahani Mustafa, meragukan Deklarasi Beijing bisa membawa perubahan. Ia menganggap penandatanganan itu tidak lebih hanya promosi dari segi hubungan masyarakat. Apalagi, baik Hamas maupun Fatah sama-sama tidak dirugikan. Justru, yang paling diuntungkan dari perjanjian ini adalah China karena reputasi mereka sebagai mediator semakin solid.
Analisis lain mengatakan, terlepas keterlibatan Hamas di dalam pemerintahan bersatu, Otoritas Palestina sendiri sebenarnya sudah kehilangan dukungan di Tepi Barat. Presiden Mahmoud Abas terus menurun kepopulerannya karena rakyat muak dengan pemerintahan yang dinodai beragai kasus kolusi dan nepotisme. Apabila di pemerintahan Palestina bersatu ini pemainnya orang-orang lama, rakyat tidak terlalu antusias. (AP/AFP/Reuters)