Hari Bersejarah, Fatah dan Hamas Tanda Tangani Perjanjian Persatuan
Deklarasi Beijing menetapkan pemerintahan Palestina Bersatu demi kemerdekaan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Setelah bertahun-tahun berada di dua sisi berbeda, dua faksi utamaPalestina, yaitu Fatah dan Hamas, akhirnya menandatangani perjanjian. Mereka sepakat untuk mengedepankan kepentingan rakyat Palestina dibandingkan persaingan politik. Kejadian bersejarah ini dimediasi oleh Pemerintah China.
Merujuk berita media nasional China terafiliasi pemerintah, CCTV, perjanjian ini diteken pada Selasa (23/7/2024). Kedua pihak berkomitmen untuk Palestina yang bersatu. Akan tetapi, belum ada keterangan lebih lanjut mengenai pembentukan pemerintahan gabungan Hamas dan Fatah.
Selama ini, Fatah merupakan bagian dari Otoritas Palestina yang memerintah di Tepi Barat. Hamas memenangi pemilihan umum di Jalur Gaza pada 2006. Setelah menguasai wilayah Gaza, Hamas meniadakan pemilihan umum. Kedua kelompok tidak akur karena memiliki pola perjuangan yang berbeda. Hamas condong kepada penggunaan senjata sehingga membuat situasi keamanan di Gaza dan hubungan dengan Israel semakin antagonis.
Di Beijing, Fatah, Hamas, dan 12 faksi politik Palestina bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Perundingan dimulai sejak Sabtu (20/7/2024). Perjanjian itu dinamakan Deklarasi Beijing untuk Mengakhiri Perpecahan dan untuk Menguatkan Persatuan Palestina. Terdapat delapan poin di dalam deklarasi.
”Ini momen bersejarah di dalam langkah memerdekakan Palestina,” kata Wang Yi.
Pernyataan bersama pascapenandatanganan perjanjian mengatakan bahwa pemeritahan bersatu akan didirikan di tanah Palestina sesuai yang sebelum dicaplok Israel per 1967. Perjanjian menyebutkan Fatah dan Hamas melakukan upaya rekonsiliasi setelah perjanjian tahun 2011 dan 2022 yang penerapannya banyak masalah karena perbedaan pandangan. Perjanjian dan pernyataan bersama itu tidak menyinggung perbedaan pemikiran Fatah dan Hamas.
Fatah memilih mengedepankan perundingan damai dengan Israel, terutama berlandaskan perjanjian Ramallah dengan Tel Aviv di tahun 1990. Persepsi Fatah ini sejalan denga banyak negara yang mengupayakan solusi dua negara, yaitu Palestina yang merdeka dan ada pula Israel. Sebaliknya, Hamas selalu menolak keberadaan negara Israel.
”Pemerintahan terbentuk akan memiliki otoritas atas Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Jerusalem. Pemerintah mempersatukan semua lembaga di seluruh wilayah guna menyiapkan pemilihan umum,” demikian tercantum di dalam salah satu poin deklarasi.
Poin lain menyatakan agar semua pihak tegas menolak segala upaya pengusiran ataupun pemindahan warga Palestina dari wilayah Palestina. Semua pihak menegaskan permukiman Israel di lahan Palestina adalah ilegal. Hal ini sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hasil sidang Majelis Umum PBB, dan keputusan Mahkamah Internasional.
Ini momen bersejarah di dalam langkah memerdekakan Palestina.
Petinggi Hamas, Musa Abu Marzuk, mengatakan bahwa hari itu menjadi pintu menuju awal baru Palestina. Era ini dimulai dengan persatuan nasional bangsa Palestina. Hanya dengan persatuan jalan menuju kemerdekaan bisa tercapai.
Penerapan
Perang antara Hamas dan Israel di Gaza telah berlangsung sejak Oktober 2023. Sebanyak 38.848 warga tewas dengan perempuan dan anak-anak sebagai korban terbanyak. Mesir dan Qatar berusaha menjadi penengah di dalam perundingan gencatan senjata Hamas dengan Israel, tetapi tidak ada titik terang tercapai karena kedua belah pihak saling menolak persyaratan.
Israel menginginkan Hamas melepas 116 sandera, sementara Hamas meminta Israel membebaskan semua tahanan politik Palestina, termasuk tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya oleh Israel. Hal ini ditolak oleh Tel Aviv. Faktor lain ialah Israel menolak apabila unsur Hamas masuk ke dalam Otoritas Palestina ataupun badan yang diakui internasional sebagai pemerintahan de facto Palestina. Oleh sebab itu, adanya penandatanganan perjanjian Fatah dan Hamas ini diduga semakin membuat rumit masalah karena Hamas semakin terlibat lebih jauh.
”Ini kemajuan, tetapi sekaligus sulit untuk ditaksir karena perjanjian ini tidak menentukan tenggat penerapan dan cara penerapan kesepakatan,” kata pakar isu Palestina Hani Al-Masry.
Juru bicara Fatah, Jamal Nazzal, mengatakan, landasan perjanjian itu ialah komitmen Otoritas Palestina mengikutsertakan pihak-pihak yang sebelumnya tidak terlibat di dalam pemerintahan. Ia mengakui tantangan berat yang akan mereka hadapi. Akan tetapi, para penanda tangan deklarasi optimistis semua bisa diterapkan begitu gencatan senjata terwujud.
Sementara itu, melansir media NBC, Direktur Program Timur Tengah Centre for Strategic and International Studies di Amerika Serikat Jon Alterman menerangkan ini situasi pelik. AS dan terutama Israel kemungkinan besar keberatan dengan masuknya Hamas ke dalam postur pemerintahan bersatu.
”Namun, lebih gawat lagi apabila Hamas tidak dilibatkan sama sekali. Situasi ini memerlukan diplomasi yang gencar dan lihai,” ujarnya.
Israel Katz, Menteri Luar Negeri Israel, langsung mengeluarkan tanggapan begitu deklarasi diumumkan. Ia mengatakan Israel tidak akan mengakui pemerintahan yang mencakup Hamas karena kelompok militan ini akan dihancurkan oleh Tel Aviv.
Peran China
Penandatanganan deklarasi ini menambah prestasi China sebagai penengah pihak-pihak berkonflik. Beijing sudah berhasil melakukannya dengan Taliban pada tahun 2022 pascakudeta Afghanistan. Memang, menurut para pakar hubungan internasional, Beijing masih harus menambah jam terbang dan lebih giat menawarkan solusi damai yang berbobot apabila ingin disebut sebagai mediator yang mumpuni.
Masih kepada NBC, Duta Besar Otoritas Palestina untuk China Fariz Mehdawi mengatakan, menjadi penengah bagi Beijing adalah hal yang tidak merugikan (nothing to lose). ”Ini bagian dari diplomasi yang baik dan kami menghargainya,” ucapnya. (AP/AFP/Reuters)