Mengulik Siasat Houthi Yaman Menghantamkan Pesawat Nirawak ke Israel
Dilindungi pertahanan udara berlapis, Israel gagal mencegah pesawat nirawak Houthi menghantam Tel Aviv.
Oleh
IWAN SANTOSA, KRIS MADA
·4 menit baca
Hanya satu pesawat nirawak dengan dampak langsung ledakan amat terbatas. Walakin, serangan pada Jumat (19/7/2024) ke Tel Aviv mengagetkan Israel dan sekutunya. Bagaimana mungkin Houthi bisa menembus pertahanan udara Israel yang digadang-gadang sebagai salah satu pertahanan yang tercanggih dan terkuat di Bumi?
Warga di lokasi serangan, kawasan Jaffa, tidak pernah menduga pesawat nirawak lawan Israel bisa mencapai Tel Aviv. ”Saya kehilangan kepercayaan kepada tentara,” kata Yossi Nevi, warga Israel yang mengungsi dari Kiryat Shmona sejak Perang Gaza 2023 meletus.
Wajar ia ragu. Pertahanan udara Israel berlapis. Selain Iron Dome yang menggunakan rudal, Israel punya Iron Beam yang mengandalkan laser. Selain itu, ada beragam artileri pertahanan udara dioperasikan Israel.
Para sekutu Israel juga membantu mengamankan langit Israel. Kapal perang Amerika Serikat dan sekutunya senantiasa siaga penuh menangkis serangan udara ke Israel.
Meski demikian, tetap saja pertahanan itu jebol oleh pesawat nirawak berpeledak. Televisi Al Arabiya dan media yang dekat dengan Houthi, Al Mayadeen, menyebut pesawat itu berasal dari Yaman.
Media-media Israel juga serta-merta menyebut Houthi melepaskan pesawat itu. Sementara media sosial diriuhkan foto dan video di Jalan Ben Yehuda, lokasi serangan.
Lokasi ledakan berjarak 100 meter dari bekas Kedutaan Besar AS untuk Israel. Gedung itu kini jadi Konsulat Jenderal AS di Tel Aviv. Karena itu, Duta Besar AS untuk Israel Jack Lew terkejut oleh serangan tersebut.
Hanya 80 kilometer dari sisi utara Gaza, Tel Aviv belum tersentuh serangan lawan-lawan Israel dalam sembilan bulan ini. Sejak dulu, Tel Aviv selalu jadi sasaran utama dan simbolis. Selama Perang Teluk 1991, Saddam Hussein mencoba menembakkan rudal scud ke Tel Aviv.
Sejak Perang Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, puluhan pesawat nirawak diarahkan ke Tel Aviv. Semua dicegat. Militer Israel, IDF, mencatat Houthi mengarahkan 200 pesawat nirawak berpeledak ke Israel sejak November tahun lalu.
Kelompok perlawanan di Palestina, Irak, dan Suriah juga menembakkan ribuan roket dan rudal serta melepaskan pesawat nirawak berpeledak ke Israel. Ashdod dan Haifa paling sering disasar. Hampir semua dijatuhkan.
Kejadian buruk
Pada Jumat (19/7/2024) pagi, ada satu pesawat yang mengejutkan. IDF, dalam pernyataan pada Minggu (21/7/2024), mengungkap kronologi serangan itu. Menurut televisi Al Arabiya, ada serangan lain pada Jumat dini hari itu. Amerika Serikat mencegat satu rudal dan tiga roket Houthi ke Israel.
IDF, sebagaimana dilaporkan The Jerusalem Post dan Times of Israel, mengakui serangan itu kejadian buruk. ”Penyelidikan awal menunjukkan jatuhnya target udara menyebabkan ledakan di Tel Aviv dan tidak ada sirene diaktifkan. Kejadian ini sedang diselidiki secara menyeluruh. Keamanan Israel sedang beroperasi di lokasi. Angkatan Udara meningkatkan patroli. Tidak ada perubahan panduan pertahanan,” demikian pernyataan IDF.
Angkatan Udara Israel tidak menampik, ada obyek terdeteksi radar sekitar tujuh menit sebelum ledakan. Hanya sebentar saja, lalu menghilang dari radar.
Fakta itu menjadi salah satu sasaran penyelidikan. Pada jam-jam menjelang kejadian, ada banyak kedipan di radar pertahanan udara Israel. Sebagian berujung pada obyek yang dijatuhkan Israel dan sekutunya.
Kini, ada dua operator melihat layar radar. Hal itu untuk mencegah kemungkinan salah satu operator abai pada obyek yang terdeteksi di radar.
Juru bicara IDF, Laksamana Muda Daniel Hagari, menyebut, Houthi memodifikasi pesawat untuk menyerang Tel Aviv. ”Ini adalah kekeliruan manusia, bukan karena kecanggihan senjata penyerang. Kami sedang menyelidiki kenapa tidak diambil tindakan mencegat drone tersebut,” ujarnya.
Juru bicara Houthi, Yahya Saree, menyebut pesawat nirawak yang diluncurkan ke Tel Aviv merupakan model baru. Houthi menamainya Jaffa, sesuai nama lama Tel Aviv. Houthi mengklaim modifikasi juga membuat pesawat itu tidak terdeteksi di radar Israel.
Rute berliku
IDF mengidentifikasi pesawat itu sebagai Samad 3 yang telah dimodifikasi. Sebab, Samad 3 dibuat Iran dengan jangkauan 1.500 kilometer saja. Sementara penyelidikan IDF, yang antara lain menggunakan rekaman citra satelit dan sadapan radar negara tetangga, menemukan pesawat itu terbang setidaknya 2.600 km selama 16 jam.
Samad 3 terbang dengan kecepatan maksimum 100 kilometer per jam selama menuju Isrel. Pesawat itu meninggalkan Yaman dan mengarah ke barat. Setelah mendekati Sudan, pesawat itu belok ke utara hingga mencapai perbatasan Sudan-Mesir.
Dari sana, pesawat terus terbang rendah dengan rute berkelok-kelok sembari lanjut ke utara dan mencapai Sinai. Di Sinai, pesawat berbelok ke Timur menuju Laut Tengah. Bahkan, pesawat telah melewati Tel Aviv sebelum mendadak putar balik ke selatan.
Rute berliku itu membuat Israel dan sekutunya terkecoh. Pesawat itu diduga bolak-balik terdeteksi di radar Israel dan sekutunya. Walakin, karena terbang rendah dan berkelok-kelok, pesawat itu malah diabaikan.
Rotem Meital yang memimpin Asgard Systems menawarkan analisis lain. Pemimpin produsen persenjataan Israel itu menyebut, ada tiga tahapan menanggapi ancaman dari udara.
”Pertama mendeteksi ancaman dan mengeluarkan peringatan dini. Tahap kedua, mengelompokkan informasi, memahami apakah sistem benar-benar mendeteksi ancaman, dan memastikan jenis ancaman. Apakah itu pesawat nirawak, peluncur. Dalam kasus ini, sepertinya pesawat yang cukup besar,” tuturnya.
Sementara tahap ketiga adalah pencegatan. Caranya dengan perangkat elektronik atau dengan proyektil. Perangkat elektronika bisa untuk mengacaukan sistem navigasi atau sekalian memutus komunikasi obyek dengan pengendali, sementara proyektil bisa saja dengan rudal atau senapan antiserangan udara. Proyektil merupakan cara lama yang kini berwujud Iron Dome. (AFP/REUTERS)