Baru Sehari Mencapai Kesepakatan, China-Filipina Berseteru Lagi
Filipina dan China menyebut ada kesepakatan soal dangkalan yang selama ini jadi obyek sengketa. Sehari kemudian berubah.
MANILA, SENIN — Baru sehari setelah dikabarkan mencapai kesepakatan soal perairan dangkal yang disengketan di Laut China Selatan, Pemerintah China dan Filipina kembali berseteru. Keduanya bersikukuh pada posisi masing-masing.
Kabar terjadinya kesepakatan antara Manila dan Beijing dilaporkan terjadi pada Minggu (21/7/2024). Kesepakatan dicapai setelah serangkaian pertemuan antara perwakilan dua pemerintah di Manila. Dalam pertemuan itu, menurut laporan kantor berita Associated Press, terjadi pertukaran nota diplomatik.
Baca juga: ASEAN dan Kelindan Baru di Halaman Depan
Dua pejabat Filipina yang mengetahui perundingan tersebut mengonfirmasi terjadinya kesepakatan tersebut. Filipina melalui Kementerian Luar Negeri mengumumkan terjadinya kesepakatan itu meski tidak memberikan rincian isi dan substansi kesepakatan.
”Kedua belah pihak mengakui perlunya meredakan situasi di Laut China Selatan dan mengelola perbedaan melalui dialog, konsultasi, serta sepakat bahwa perjanjian tersebut tidak akan merugikan posisi masing-masing di LCS,” kata Departemen Luar Negeri Filipina.
Tak lama setelah pengumuman dikeluarkan oleh Filipina, Kementerian Luar Negeri China juga menyebutkan telah berdiskusi dengan Filipina. Kemenlu China menyebut secara spesifik perundingan kedua pihak dilakukan untuk menangani situasi di Ren’ai Jiao atau yang dikenal di Filipina sebagai Ayungin. Pernyataan itu menyatakan adanya kesepakatan sementara Beijing dan Manila soal pasokan kebutuhan hidup.
Langsung berubah
Namun, semua itu berubah pada Senin (22/7/2024) setelah pernyataan Kemenlu China. Juru bicara Kemenlu China, Mao Ning, mengatakan, Ren’ai Jiao adalah bagian dari Nansha Qundao. China mengklaim wilayah itu dan perairan sekelilingnya.
Baca juga: Babak Baru Klaim Kedaulatan di Laut China Selatan
Mao mengatakan, Filipina telah melanggar kedaulatan wilayah China karena meletakkan kapal perangnya di wilayah tersebut. ”Kami terus menuntut agar Filipina menarik kapal perangnya dan memulihkan kondisi Ren’ai Jiao yang tidak menampung personel atau fasilitas apa pun,” kata Mao.
Beijing juga menolak jika Filipina mengirimkan bahan bangunan ke kapal tersebut dan membangun fasilitas tetap atau pos terdepan permanen. ”China sama sekali tidak akan menerimanya dan akan dengan tegas menghentikannya sesuai dengan hukum dan peraturan untuk menegakkan kedaulatan China dan juga kode perilaku di Laut China Selatan,” kata Mao.
Pernyataan itu segera ditanggapi Manila. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr memberikan pernyataan di hadapan Kongres tentang posisi Manila dalam perselisihan tersebut. ”Dalam menghadapi tantangan atas kedaulatan wilayah, kami akan menegaskan hak dan kepentingan kami dengan cara yang adil dan damai seperti yang selalu kami lakukan,” kata Marcos.
Baca juga: Asia Tenggara Pikul Dampak Terberat akibat Konflik AS-China
Marcos menyatakan, meski ada perbedaan dalam memandang perjanjian yang telah disepakati beberapa hari sebelumnya, Filipina tetap akan melaksanakan substansi kesepakatan itu dengan itikad baik. ”Kami mendesak China untuk melakukan hal yang sama,” katanya.
Juru Bicara Kemenlu Filipina Teresita Daza, dikutip dari kantor berita Filipina, menyebut, mereka menolak pemberian informasi pada China tentang bahan-bahan yang akan dikirimkan kepada pasukan penjaga wilayah yang disengketakan. Daza mengatakan, hal ini tidak berubah berdasarkan perjanjian baru meskipun ada pernyataan dari China.
”Prinsip-prinsip dan pendekatan yang tertuang dalam perjanjian tersebut dicapai melalui serangkaian konsultasi yang cermat antara kedua belah pihak yang membuka jalan bagi konvergensi gagasan tanpa mengorbankan posisi nasional,” kata Daza.
Semakin pelik
Persoalan mengenai siapa pemilik sah dangkalan atau beting tersebut hingga kini belum ada ujungnya. Tiga negara, yakni China, Filipina, dan Vietnam, diketahui mengklaim dangkalan itu masuk dalam wilayah teritorialnya. Klaim terakhir dikeluarkan Vietnam pekan lalu.
Baca juga: UNCLOS Instrumen Penyelesaian Konflik yang Masih Relevan
Vietnam menyebut dangkalan atau Beting Second Thomas Shoal itu sebagai bagian dari Kepulauan Truong Sa, yang masuk dalam wilayah teritorialnya. Sementara Filipina menyebut beting itu sebagai Beting Ayungin, yang masuk dalam gugusan Kepulauan Palawan. China, di sisi lain, menganggap dangkalan itu sebagai Ren’ai Jiao, bagian dari gugusan pulau Nansha Qundao.
Meski ada klaim antara Vietnam dan Filipina, tidak pernah ada kontak insiden fisik antara aparat keamanan kedua negara. Kedua negara, yang merupakan anggota ASEAN, sepakat untuk menempuh cara damai untuk merundingkan klaim teritorial atas wilayah tersebut.
Situasi berbeda dihadapi Filipina. Angkatan Laut dan nelayan Filipina sering kali menjadi bulan-bulanan Pasukan Penjaga Pantai China saat tengah berlayar menuju Beting Ayungin.
Insiden terburuk antara kedua negara terjadi pada pertengahan Juni, tidak lama setelah Filipina mengajukan ulang klaimnya atas wilayah tersebut. Perahu motor milik Pasukan Penjaga Pantai China menabrak dan menaiki dua kapal yang ditumpangi personel Angkatan Laut Filipina yang hendak mengirimkan bantuan perbekalan, amunisi, dan senjata api.
Baca juga: Insiden Senjata Filipina-China Nyaris Berujung Konflik di Laut China Selatan
Beberapa senjata api dan kapal milik AL Filipina disita dan kemudian dirusak menggunakan parang dan tombak. Personel AL Filipina juga mengalami luka-luka akibat insiden tersebut, termasuk kehilangan salah satu anggota tubuhnya.
Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner Jr menuntut agar seluruh perlengkapan milik AL Filipina dikembalikan. ”Mereka menaiki perahu kami secara ilegal dan menyita peralatan kami,” kata Brawner. ”Mereka sekarang seperti bajak laut dengan tindakan seperti ini.”
Sebaliknya, China menyebut tindakan personel mereka sudah tepat karena Filipina-lah yang melanggar kedaulatan teritorial mereka. ”Penjaga Pantai China mengambil tindakan penegakan hukum profesional dengan menahan diri, yang bertujuan menghentikan misi pasokan ilegal oleh kapal-kapal Filipina dan tidak ada tindakan langsung yang diambil terhadap personel Filipina,” kata Jubir Kemenlu China Lin Jian, tak lama setelah insiden itu terjadi.
(AP/AFP/Reuters)