Hamas Menarik Diri dari Perundingan Gencatan Senjata di Gaza
Hamas mundur dari perundingan gencatan senjata di Gaza. Mundur, tapi tetap mau lanjut bicara jika Israel juga serius.
GAZA, SENIN —Kelompok Hamas menarik diri dari perundingan gencatan senjata di Gaza karena Israel tidak serius. Hamas menegaskan, mereka siap untuk melanjutkan perundingan hanya jika Israel serius dan sepakat melakukan pertukaran tahanan. Hal itu dikemukakan salah seorang pejabat Hamas yang mengutip pemimpin politik Hamas yang berbasis di Qatar, Ismail Haniyeh, Senin (15/7/2024).
Selama ini proses perundingan kerap diganggu oleh serangan bertubi-tubi Israel ke Gaza. Serangan itu menyebabkan banyak warga sipil menjadi korban. Terakhir, Israel mengebom sebuah sekolah yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa di pusat kamp pengungsi Nuseirat.
Baca juga: Hamas Sambut Positif, Resolusi PBB Pecah Kebuntuan Gencatan Senjata Gaza
Menurut Israel, kamp pengungsi Palestina itu menjadi tempat persembunyian anggota kelompok Hamas. Israel meyakini Hamas memanfaatkan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik lainnya untuk kepentingan militer. Padahal, warga sipil banyak yang mengungsi ke gedung sekolah karena sekolah diubah fungsinya menjadi tempat perlindungan.
Serangan tersebut terjadi sehari setelah serangan mematikan yang menargetkan komandan sayap militer Hamas, Mohammad Deif. Terkait serangan itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan tidak ada kepastian Deif sudah tewas.
Seorang pejabat senior Hamas, Sabtu lalu, membantah Deif telah terbunuh. Hamas mengatakan klaim Israel bertujuan untuk membenarkan serangan Israel. Menurut Israel, Hamas sengaja menyembunyikan kebenaran tentang nasib Deif. Namun, tidak ada konfirmasi apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Ganjalan
Menurut anggota kantor politik Hamas, Izzat El-Rashiq, serangan-serangan itu menjadi cara Israel menggagalkan upaya Arab dan Amerika Serikat mendorong serta memediasi tercapainya gencatan senjata. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan juga mengatakan Israel tidak bermaksud mengakhiri perang dan melakukan pembantaian baru setiap kali ada situasi positif menuju gencatan senjata.
Baca juga: Hamas Buka Jalan Menuju Gencatan Senjata di Gaza, Bola di Tangan Israel
Israel menyerang Jalur Gaza dari darat, laut, dan udara serta tidak ada tanda-tanda akan mereda. Militer Israel mengatakan mereka tetap melanjutkan aktivitas militernya karena mengincar anggota Hamas. Operasi militer mereka diklaim berhasil menewaskan sejumlah anggota militan.
Sebelumnya, sempat ada harapan gencatan senjata akan tercapai. Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden meyakini, kesepakatan itu akan segera tercapai. Pada pertemuan puncak Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), kedua belah pihak telah menyetujui kerangka kerja yang sudah dia tetapkan pada akhir Mei 2024. Netanyahu juga diperkirakan akan bertemu dengan para menteri terdekatnya untuk membahas isu ini.
Upaya yang dimediasi Qatar dan Mesir—dengan dukungan Amerika Serikat—sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Namun, belum juga berhasil menghentikan perang.
Panglima Angkatan Bersenjata Israel Letnan Jenderal Herzi Halevi mengatakan, tekanan militer yang terus-menerus dapat membantu menciptakan kondisi bagi kesepakatan untuk mengembalikan para sandera. Hamas juga menyandera 251 orang, 116 orang di antaranya masih berada di Gaza.
Baca juga: Hamas Setujui Gencatan Senjata, Israel Umumkan Serangan ke Rafah
Sebaliknya, Hamas menuding Israel tidak pandang bulu karena tetap menyerang zona yang dianggap aman, seperti daerah Al-Mawasi di dekat kota Khan Yunis dan Rafah yang sejak Mei lalu telah dinyatakan sebagai zona kemanusiaan yang harus aman dari militer Israel. Warga sipil diperintahkan untuk mengungsi ke sana. Namun, tetap saja ada beberapa insiden mematikan yang diduga akibat serangan Israel.
Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan, serangan Israel di Al-Mawasi dan jatuhnya korban warga sipil menjadi pengingat bahwa tidak ada seorang pun yang aman di Gaza di mana pun mereka berada. ”Warga Gaza adalah anak-anak, perempuan, dan laki-laki yang punya hak untuk hidup dan berharap akan masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Baca juga: Israel-Hamas Bukan Perang Internasional
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, setidaknya 38.584 warga Palestina tewas dan 88.881 orang lainnya terluka dalam serangan militer Israel sejak 7 Oktober 2023. Laporan tersebut menambahkan 141 warga Palestina tewas akibat serangan militer Israel di Jalur Gaza dalam satu hari terakhir. Dalam beberapa minggu terakhir, ini jumlah korban tewas yang paling banyak dalam satu hari.
Kementerian Kesehatan Gaza tidak membedakan antara kombatan dan nonkombatan. Namun, para pejabat mengatakan sebagian besar korban tewas selama perang adalah warga sipil. Israel mengatakan mereka telah kehilangan 326 tentara di Gaza dan mengatakan setidaknya sepertiga dari korban jiwa warga Palestina adalah anggota kelompok Hamas.
Wajib militer
Pemerintah Israel menyetujui rencana untuk memperpanjang wajib militer bagi laki-laki untuk sementara menjadi 36 bulan. Angka ini naik dari 32 bulan karena perang Gaza melawan Hamas membebani sumber daya manusia. Kantor PM Netanyahu mengonfirmasi bahwa pemerintah telah mendukung kebijakan itu.
Kini, usulan itu akan diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan. Jika disetujui, wajib militer selama 36 bulan itu dapat segera berlaku untuk jangka waktu lima tahun. Kebijakan itu dapat berlaku bagi tentara yang saat ini sedang aktif bertugas. Ini dapat memperpanjang rotasi mereka.
Baca juga: Israel Pastikan Akan Terus Serang Gaza sampai Akhir 2024
Jaksa Agung Israel Gali Baharav-Miara mengkritik penerapan ketentuan yang tidak setara karena ketentuan ini mengecualikan laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks. ”Ini tidak konstitusional karena menambah beban mereka yang bertugas selama bertahun-tahun. Beban tidak didistribusikan dengan merata,” ujarnya.
Sebagian besar laki-laki dan perempuan Yahudi di Israel harus bertugas di militer. Namun, sejak 1948, komunitas ultra-Ortodoks yang terpencil diberi pengecualian sehingga beberapa siswa dapat melanjutkan studi.
Namun, pada akhir Juni, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa Israel harus memasukkan laki-laki Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam dinas militer. Ini berpotensi mengganggu stabilitas koalisi Netanyahu yang mencakup partai-partai keagamaan dan ultranasionalis.
Baca juga: Israel Bunuh dan Gunakan Warga Palestina untuk Tameng Hidup di Shujaiya dan Jdaida
Faksi ultra-Ortodoks menguasai 18 dari 64 kursi koalisi. Masalah pendaftaran militer ultra-Ortodoks menyebabkan runtuhnya pemerintahan koalisi pimpinan Netanyahu sebelumnya pada 2018, yang memicu kebuntuan politik selama bertahun-tahun. Yahudi ultra-Ortodoks berjumlah sekitar 13 persen dari hampir 10 juta penduduk Israel.
Ratusan ribu tentara cadangan Israel telah dikerahkan sejak 7 Oktober ke Gaza dan Tepi Barat yang diduduki dan di sepanjang perbatasan utara dengan Lebanon. Para komandan militer telah menyerukan lebih banyak tentara jika mereka ingin mempertahankan keunggulan. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyebutnya sebagai masalah ”matematika”, bukan politik. (REUTERS/AFP/AP)