Literasi Agama Lintas Budaya, Kunci Mewujudkan Perdamaian
Literasi agama lintas budaya menjembatani perbedaan. Membuka lebih banyak ”ruang pertemuan” bisa jadi langkah awal.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F10%2F2d291e41-5cd8-4580-9103-f98ce049a978_jpeg.jpg)
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Retno LP Marsudi, membuka secara resmi Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) atau International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy, yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri RI bekerja sama dengan Institut Leimena, Rabu (10/7/2024). Konferensi internasional LKLB yang diadakan selama dua hari pada 10-11 Juli 2024 akan diikuti lebih dari 160 peserta dari dalam dan luar negeri.
JAKARTA, RABU — Penyelesaian konflik membutuhkan kemauan pihak-pihak yang berkonflik untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif. Hanya, kemauan itu harus diupayakan karena tidak jatuh dari langit. Tanggung jawab ini tidak hanya ada pada pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, khususnya para tokoh agama.
Baca juga: Literasi Keagamaan Membuka Perjumpaan dengan Agama Lain
Aneka konflik yang terjadi pada dasarnya tidak bersifat keagamaan. Namun, unsur-unsur keagamaan sering kali muncul dan meningkatkan ketegangan. Untuk itu, pemahaman terhadap agama yang beragam menjadi krusial.
Hal itu dikemukakan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ketika membuka Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bertema ”Multi-faith Collaborations in an Inclusive Society” yang diadakan Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Institut Leimena, Rabu (10/7/2024).
Hadir dalam acara pembukaan Duta Besar Austria untuk Indonesia Thomas Loidl, Dubes Jordania untuk Indonesia dan ASEAN Sudqi Atallah Abd Alkader Al Omoush, Dubes Romania Dan Adrian Balanescu, Dubes Spanyol Francisco Aguilera Aranda, Dubes Uni Emirat Arab Abdulla Salem Al Dhaheri, dan Dubes Takhta Suci Vatikan untuk Republik Indonesia Mgr Piero Pioppo.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F07%2F77069990-8268-4896-a083-aac2af42ad3e_jpg.jpg)
Suasana dialog tokoh lintas iman dalam kegiatan Pesan-Tren Damai di Wihara Dewi Welas Asih, Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (7/4/2023). Kegiatan yang diinisiasi Fahmina Institute itu berkeliling rumah ibadah untuk menebarkan pesan perdamaian. Selain diskusi lintas iman, kegiatan itu juga diisi dengan buka puasa bersama.
”Dialog antaragama bagian penting dari diplomasi Indonesia. Kami memiliki 34 negara mitra dialog antaragama untuk berkolaborasi mempromosikan literasi budaya dan agama. Bahkan, untuk mengatasi situasi di Afghanistan, misalnya, kami juga melibatkan para ulama untuk terlibat dalam dialog dan membagikan kurikulum madrasah untuk membuka jalan bagi akses perempuan Afghanistan untuk pendidikan,” kata Retno.
Pendidikan menjadi kunci penting untuk menumbuhkan toleransi dan saling memahami antaragama, kepercayaan, dan budaya yang beragam. Alwi Shihab, mantan menteri luar negeri RI (1999-2001) yang juga senior fellow di Institut Leimena menekankan pentingnya pendidikan untuk menumbuhkan toleransi, mendorong empati, dan mengasah pemikiran kritis.
Baca juga: Literasi Keagamaan Rendah, Intoleransi Menguat
Pendidikan bukan hanya soal capaian akademik, tetapi juga dapat membantu membongkar prasangka, mengajarkan empati, pengertian, inklusivitas, dan dialog antargama. Memang banyak tantangannya. Salah satunya, keyakinan yang mengakar dan doktrin yang mendalam sehingga membuat orang resisten terhadap orang lain atau perbedaan. Ini biasanya terjadi karena ada ”luka batin”.
”Keterbukaan pikiran atau kesediaan untuk belajar perspektif yang berbeda bisa diperoleh melalui pendidikan. Begitu pula kemampuan memahami dan menganalisis kesamaan dan perbedaan antaragama dan keyakinan budaya. Kompetensi diri seperti itu penting. Bersedia untuk belajar dan berinteraksi dengan orang lain terlepas dari agama dan beradaptasi dengan perbedaan orang lain,” kata Alwi.

Sebanyak 35 guru dari sekolah dan madrasah berbagai jenjang dan mata pelajaran di Jawa Timur mengikuti workshop penguatan Literasi Keagaman Lintas Budaya (LKLB) yang dilaksanakan Institut Leimena di Surabaya, yang dimulai Jumat (3/5/2024) hingga Minggu. Para guru berbeda agama diajak untuk berinteraksi dan berkunjung ke rumah ibadah yang berbeda dan berdialog dengan tokoh agama guna memperkuat kompetensi memahami dan menerima keberagaman sehingga mampu berkolaborasi.
Retno juga menekankan kebebasan setiap agama harus dijamin secara hukum. Ia pun menegaskan, sebagaimana kebebasan beragama, keberagaman pun harus dijamin dan dihormati. Jangan sampai perbedaan agama menimbulkan fanatisme dan ketegangan. Untuk itu, Indonesia aktif bekerja sama dengan komunitas internasional pada tiga agenda, yakni penguatan toleransi. Jika ini tidak dilakukan, polarisasi sosial dapat meningkat menjadi ketegangan atau bahkan konflik.
Berperan di panggung dunia
Basis serupa juga diperlukan untuk mengelola perbedaan di kawasan. Menurut Retno, ASEAN juga tidak kebal terhadap isu ini. Tanpa toleransi yang kuat, ASEAN tidak akan mampu bertahan. Dengan mengedepankan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia menumbuhkan toleransi lintas agama dan lintas budaya.
Baca juga: Perjuangkan Literasi Keagamaan di Tengah Intoleransi
Prinsip ini, lanjut Retno, harus dipegang teguh dalam menavigasi kompleksitas urusan global. Dalam beragam forum internasional, Indonesia terus mendorong inklusivitas. Keyakinan yang beragam harus dilihat sebagai aset untuk advokasi perdamaian. Ketika pihak-pihak dari berbagai latar belakang berpartisipasi dalam dialog yang konstruktif, solusinya akan semakin tajam.
Oleh karena itu, Indonesia melibatkan para pemimpin agama global. Membina kolaborasi multi-agama menjadi alasan Indonesia memperjuangkan Negara Palestina, mendorong gencatan senjata segera dan permanen di Gaza, menyediakan bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, dan melanjutkan proses solusi dua negara.
Retno mengakui upaya perdamaian masih mendesak dan sulit dilakukan karena permasalahan global yang dihadapi sangat kompleks. Yang paling memprihatinkan adalah konflik yang lebih terbuka menewaskan lebih banyak orang di seluruh dunia.
Mulai dari perang di Ukraina hingga situasi di Afghanistan dan Palestina dan ini mempertanyakan eksistensi solidaritas dan kemanusiaan. Di Gaza, lebih dari 37.000 orang tewas, kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. ”Semua kekejaman harus dihentikan. Manusia dan kemanusiaan harus ditempatkan sebagai prioritas utama,” kata Retno.
Agama bagian dari solusi
Kepala Satuan Tugas Dialog Budaya dan Dialog Antarbudaya Antaragama di Kementerian Federal Eropa dan Urusan Internasional Republik Austria Alexander Rieger mengatakan banyak upaya diplomasi yang sering gagal karena sisi keberagaman tidak dilibatkan. Kalau tidak ingin agama dan keberagaman menjadi persoalan, agama dan keberagaman harus menjadi bagian dari solusi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F17%2Fd6e55417-8a98-4423-b189-13f3844f43d3_jpg.jpg)
Sejumlah guru beragama Kristen dan Muslim di Surabaya berdialog dengan salah seorang pendeta di Gereja Kristen Abdiel Gloria di Surabaya, Sabtu (4/5/2024). Lewat kegiatan mengunjungi rumah ibadah yang berbeda, para guru diperkuat pemahamannya pada literasi keberagamaan lintas budaya (LKLB) guna memperkuat toleransi dan kolaborasi dengan penghargaan pada keberagaman. Program LKLB bagi guru dari berbagai agama dan mata pelajaran di Indonesia digagas Institut Leimena.
Austria mempraktikkan itu karena di Austria ada 16 agama dan keyakinan yang diakui. ”Negara melayani pendidikan agama di sekolah dan mendukung pendidikan lintas agama dan budaya. Ini tidak mudah karena kami juga punya 2 juta orang yang tidak terafiliasi agama dan kepercayaan apa pun. Agar saling memahami, kami juga sering ada dialog lintas agama juga,” ujarnya.
Baca juga: Memperkuat Diplomasi lewat Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Praktik di Austria itu, kata Cole Durham Jr, Founding Director, International Center for Law and Religion Studies, Bringham Young University, Law School yang juga Ketua Forum Lintas Agama G20, membuktikan perspektif agama dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif.
Pendidikan mengenai keberagaman agama dan budaya ini dapat membuat orang lain memahami keyakinan orang lain tanpa konflik. Garda terdepan dari pendidikan itu adalah para guru yang harus siap mengajarkan keberagaman agama dan budaya.
Selain guru, peran orangtua juga sangat penting. Dalam sesi dialog, keterlibatan orangtua ini diangkat para peserta. Direktur Eksekutif World Faiths Development Dialogue Katherine Marshall mengatakan mengajak dan melibatkan orangtua dan keluarga dalam pendidikan lintas agama budaya akan lebih efektif.
Di dunia yang semakin beragam, mengelola keberagaman itu problematik dan sulit karena situasi dunia yang semakin tegang dan semakin banyak perbedaan. ”Kita juga perlu fokus pada tokoh agama untuk membicarakan isu pendidikan lintas agama dan budaya. Kita juga harus belajar terus itu dan mencari model-model yang baik,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F17%2Fc8d91915-b2ad-4297-a67c-9b38095d46a0_jpg.jpg)
Sejumlah guru beragama Kristen di Surabaya mengunjungi Masjid Jenderal Sudirman untuk memahami agama Islam dari perspektif pemuka agama Islam, Sabtu (4/5/2024). Lewat kegiatan mengunjungi rumah ibadah yang berbeda, para guru diperkuat pemahamannya pada literasi keberagamaan lintas budaya (LKLB) guna memperkuat toleransi dan kolaborasi dengan penghargaan pada keberagaman. Program LKLB bagi guru dari berbagai agama dan mata pelajaran di Indonesia digagas Institut Leimena.
Renee Hattar, Director of the Royal Institute for Inter-Faith Studies di Jordania, berbagi pengalamannya. Pendidikan lintas agama, budaya, tradisi, dan keberagaman bisa dilakukan dengan berkolaborasi dengan pemerintah dan komunitas-komunitas lokal, seperti sekolah, pusat kegiatan masyarakat, pusat budaya, atau tempat ibadah seperti gereja dan masjid.
Baca juga: Ketika Guru Diajak Menjadi Agen Toleransi
Anak-anak perlu diajak untuk mengikuti program yang dibuat di pusat-pusat kegiatan itu. ”Yang pertama kita lakukan adalah memperkenalkan pusat-pusat kegiatan tersebut karena banyak yang tidak tahu. Setelah itu kerja bersama komunitas misalnya dengan membuat pelatihan dan ajak warga untuk membuat inisiatif. Kolaborasi itu kunci penting,” ujarnya.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan untuk mewujudkan kehidupan harmonis, setiap orang harus mau saling kenal dan mau bekerja sama. Toleransi saja tidak cukup. Perlu ada pengakuan terlebih dahulu agar kemudian bisa menghasilkan kerja sama.
Setiap orang harus mengakui bahwa setiap individu adalah berbeda. Setelah mengakui, langkah selanjutnya adalah menghormati, menerima, dan mengakomodasi. ”Kita harus bisa melintasi batas-batas kita. Untuk bisa melakukan itu, kita harus tulus,” ujarnya.

Seorang wanita berjalan melewati mural anti-AS di luar gedung yang dulunya menampung kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran, yang sekarang dijuluki museum ”Den of Spies”, Rabu (25/10/2023). Tanggal 4 November adalah peringatan 44 tahun pengambilalihan kedutaan besar AS di Teheran. Dalam peristiwa tersebut mahasiswa Islam ditangkap dan sebanyak 52 diplomat AS disandera selama 444 hari. Krisis ini memicu terputusnya hubungan diplomatik dan menimbulkan saling permusuhan selama beberapa dekade.
Selain ketulusan, David Saperstein, United States Ambassador at Large for International Religious Freedom (2014-2017), juga menilai setiap orang harus melindungi lingkungan dan ciptaan Tuhan. Jika manusia gagal melakukannya, ini juga berarti kegagalan moral. Fungsi agama penting untuk menegakkan perdamaian dan mengakhiri konflik, perang, dan perpecahan. Literasi keagamaan seperti yang sudah dilakukan selama ini menjadi upaya menjembatani perbedaan.
”Sejak tragedi 9/11 di AS, sudah banyak upaya untuk, misalnya, mengatasi Islamfobia dan kami juga ikut membantu melindungi warga Islam di sana. Di sekolah-sekolah agama di gereja, masjid, dan sinagoga di AS ada juga kursus-kursus pelatihan tentang agama-agama lain. Kita harus bisa menemukan tema-tema yang sama di semua agama seperti nilai-nilai perdamaian,” ujarnya.
Baca juga: Muhammadiyah dan Tantangan Kebinekaan
Dialog sudah banyak dan lama dilakukan, tetapi tetap saja ada prasangka, kesalahpahaman, dan stereotipe negatif di masyarakat kita. Anggota Dewan Pengarah Badan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Amin Abdullah mengakui itu memang susah sekali dihilangkan.
Untuk mengatasi hal itu atau setidaknya mengurangi prasangka, ”ruang-ruang perjumpaan” harus lebih diperbanyak. Bentuk ”ruang perjumpaan” itu seperti memperkenalkan sejak dini tentang agama dan keyakinan yang berbeda. Itu kenapa pendidikan dan tenaga pendidik seperti guru atau juga tokoh-tokoh agama menjadi garda terdepan.