Para korban kecelakaan Lion Air JT610 pada 2018 bisa saja dilibatkan dalam sidang gugatan terhadap Boeing di AS.
Oleh
KRIS MADA, IWAN SANTOSA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lion Air dan keluarga korban kecelakaanpesawat Lion Air JT610 pada 2018 mendapat peluang menggugat Boeing. Hal itu menyusul keputusan Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang menggugat pidana Boeing atas kecelakaan JT610 dan Ethiopian Airlines 2019.
Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia Anggia Rukmasari mengatakan, hak dan kewajiban pengangkut dan penumpang udara internasional diatur dalam Konvensi Montreal. Untuk penerbangan dalam negeri, diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara.
Mengacu pada ketentuan-ketentuan itu, sebagian kompensasi sudah diberikan kepada korban kecelakaan Lion Air JT610 pada Oktober 2018. ”Dari kacamata hukum, ruang kompensasi penumpang sudah terpenuhi, kecuali bagi yang belum settle (menerima perdamaian),” ujarnya, Senin (1/7/2024), di Jakarta.
Mereka yang belum berdamai dapat saja mengajukan gugatan. Berkas dapat diajukan selepas kasus pidana yang sekarang membelit Boeing selesai diputus pengadilan AS. ”Agar lebih kuat,” kata Anggia.
Lion Air juga dapat menggugat Boeing. Jika terbukti bersalah di AS, Boeing dapat digugat soal menyediakan produk cacat.
Anggia juga menyebut para korban kecelakaan Lion Air JT610 bisa saja dilibatkan sebagai saksi memberatkan dalam sidang gugatan di AS.
Gugatan pidana
Kejaksaan AS telah merekomendasikan Departemen Kehakiman AS menggugat Boeing atas kecelakaan JT610 dan Ethiopian Airlines. Pesawat 737 MAX 8 dalam dua penerbangan itu jatuh dan seluruh penumpang serta awaknya tewas. Penyelidikan menyimpulkan ada kesalahan sistem kendali yang mengakibatkan kecelakaan itu.
Departemen Kehakiman AS dilaporkan memberi dua opsi kepada Boeing, yaitu mengaku bersalah atau disidang dalam gugatan pidana. Jika mengaku bersalah, Boeing harus membayar denda dan diawasi pihak ketiga hingga tiga tahun mendatang.
Keputusan dibuat setelah penyidik menyimpulkan Boeing gagal memenuhi kewajiban dari kesepakatan pada 2021. Saat itu Boeing dan Departemen Kehakiman AS menyetujui kesepakatan penundaan penuntutan (DPA). Kesepakatan berlaku sampai 7 Januari 2024.
Dalam kesepakatan itu, Boeing setuju membayar kompensasi dan denda total 2,5 miliar dollar AS. Boeing juga mengakui menyembunyikan data untuk evaluasi keamanan dan keselamatan produknya. Penyembunyian itu bertujuan menipu otoritas AS. Boeing pun setuju akan memperbaiki sistem kendali mutu mereka. Jika semua itu dipenuhi, Boeing tidak akan digugat.
Hanya dua hari sebelum DPA berakhir, salah satu pesawat Boeing yang dioperasikan Alaska Airlines bermasalah. Salah satu bagian di badan pesawat lepas di tengah penerbangan.
Dalam penyelidikan beberapa bulan terakhir diketahui, panel itu lepas karena kendali mutu keamanan produk Boeing tidak berjalan baik. Bahkan, Boeing gagal dalam puluhan uji keamanan oleh otoritas penerbangan AS. Hal itu berarti Boeing melanggar DPA. Dampaknya, Boeing bisa digugat.
Departemen Kehakiman AS dilaporkan telah menghubungi keluarga korban soal rencana gugatan ke Boeing. Keluarga dilaporkan marah saat diberi tahu Boeing kembali ditawari kesepakatan. Tawaran itu dipandang kegagalan meminta pertanggungjawaban Boeing.