Kaisar Jepang, Kampus Oxford, dan Nostalgia di Sungai Thames
Bagi Kaisar Naruhito-Permaisuri Masako, lawatan ke Inggris bak merajut memori-memori indah yang berserak di masa lampau.
Lawatan kenegaraan Kaisar Jepang Naruhito dan Permaisuri Masako ke Inggris selama tiga hari, Selasa-Kamis (25-27/6/2024), plus hari Jumat (28/6/2024) tak ubahnya seperti merajut kembali memori-memori yang berserak di masa lampau. Inggris adalah tempat kuliahnya, 40 tahun silam.
Dari serangkaian agenda yang dijalani Kaisar, ada tempat-tempat spesial baginya. Sebelum memulai kunjungan kenegaraan dengan disambut Raja Charles III, berziarah ke Westminster Abbey, atau mengunjungi pusat riset biologi Inggris, Kaisar Naruhito diam-diam pergi ke tempat favoritnya di London: Pintu Air Sungai Thames.
Lokasi itu bukanlah salah satu tujuan wisata utama di kota London. Namun, bagi Pangeran Naruhito waktu itu, tepian Thames menjadi tempat dia bebas bersantai. Dia tidak dikenali orang dan diatur oleh berbagai protokol, seperti halnya ketika dia berada di Jepang sebagai Putra Mahkota Kekaisaran Jepang.
Naruhito mengenang, bahagia itu sederhana: berjalan santai di tanggul dan Pintu Air Sungai Thames.
Kecintaan Naruhito pada Pintu Air Sungai Thames tumbuh semasa dia menjalani pendidikan S-2 di Universitas Oxford selama dua tahun dengan kajian bidang perdagangan di Sungai Thames abad ke-18. Dia membuat tulisan khusus tentang topik itu dalam memoar berjudul The Thames and I. Memoar ini juga merangkum kedekatan batin Pangeran Naruhito dengan Inggris dan masyarakatnya.
Baca juga: Jepang Negara Pertama Bersepakat Dagang dengan Inggris Pasca-Brexit
Ketika itu, untuk pertama pertama kali dalam hidupnya Naruhito bisa bepergian bebas. Ia terkagum-kagum pada pertolongan spontan warga yang mengembalikan dompetnya yang terjatuh hingga uang recehnya berhamburan. Ia juga terkesan dengan pengalaman bergaul di kerumunan di pub yang dikunjungi rakyat jelata di Inggris.
”Mustahil saya bepergian bebas di Jepang tanpa saya dikenali warga. Sangat penting dan berharga untuk bisa memiliki kehidupan pribadi secara bebas, seperti yang saya alami di Inggris,” kata Naruhito dalam memoarnya.
Sebelum acara-acara resmi kunjungan, dengan mengenakan topi biru, Kaisar Naruhito mengunjungi Pintu Air Thames. Tampak deretan pintu air yang dapat dioperasikan naik-turun untuk mencegah air Laut Utara masuk membanjiri sebagian kota London. Kapal yang melintas masuk dan keluar London juga harus melewati Pintu Air Thames yang dioperasikan sejak tahun 1982 itu.
Naruhito dan Permasuri Masako—juga pernah kuliah di Universitas Oxford beberapa tahun setelah Naruhito—mengakhiri lawatan sepekan di Inggris pada Jumat lalu. Di sela agenda kenegaraan, keduanya menyisihkan waktu untuk melepas rindu dengan menyambangi tempat-tempat yang sering mereka kunjungi semasa keduanya menempuh pendidikan di Inggris.
Hubungan Jepang-Inggris
Kunjungan Kaisar berlangsung saat Inggris berupaya memperkuat hubungan dengan Jepang. Direktur Program Jepang dan Korea di Universitas Cambridge, Inggris, John Nilsson-Wright mengatakan, dengan menjalin hubungan dengan Jepang, Inggris ingin menjadi negara Eropa paling berpengaruh di kawasan Indo-Pasifik.
Pada Oktober 2020, Inggris menandatangani kerja sama ekonomi strategis pertama dengan Jepang setelah keluar dari Uni Eropa pada tahun itu.
”Hubungan Inggris-Jepang sangat penting. Ini dilandasi pengalaman bersama dan kedekatan kedua bangsa. Inggris dan Jepang bertindak sebagai pendorong stabilitas dan sama-sama menjaga keseimbangan ketika saat ini terjadi perubahan politik yang menimbulkan guncangan di dunia,” kata Nilsson-Wright.
Kunjungan kenegaraan Naruhito semula direncanakan tahun 2020 sebagai kunjungan perdana setelah naik takhta Krisan. Namun, rencana itu ditunda karena pandemi Covid-19 dan wafatnya Ratu Elizabeth II. Saat Ratu Elizabeth II wafat, Naruhito menghadiri upacara pemakamannya.
Kunjungan kenegaraan diawali pada Selasa (25/6/2024) dengan sambutan dari Raja Charles III dan Permaisuri Camilla. Mereka kemudian bersama-sama menumpang kereta kencana Kerajaan Inggris ke Istana Buckingham.
Selanjutnya, Kaisar Naruhito meletakkan karangan bunga di taman makam pahlawan tak dikenal di Westminster Abbey, sebelum kembali ke Istana Buckingham untuk menghadiri jamuan makan malam.
Baca juga: Tidak Ada Kepastian bagi Jepang di AUKUS
Setelah agenda kunjungan kenegaraan tuntas, Naruhito dan Masako menyempatkan diri menyambangi almamater mereka, Kampus Universitas Oxford. Kampus ini menjadi bagian dari kenangan indah masa muda mereka.
Di Kampus Merton, Naruhito—yang terlahir sebagai Hironomiya Naruhito—disapa dengan sebutan Hiro oleh teman kuliahnya dan pihak kampus. Naruhito dalam memoar Thames and I mengakui, dia juga menyukai nama sapaan tersebut.
Salah satu tempat favorit Naruhito di Kampus Merton adalah Ruangan Tengah Bersama. Di tempat ini mahasiswa-mahasiswi S-2 meluangkan waktu seusai jam kuliah untuk menikmati kudapan dan kopi sambil mengobrol.
Salah satu tempat favoritnya di Kampus Merton adalah Ruangan Tengah Bersama. Di tempat ini mahasiswa-mahasiswi S-2 meluangkan waktu seusai jam kuliah untuk menikmati kudapan dan kopi sambil mengobrol.
”Waktu-waktu tersebut, bergaul bersama sesama mahasiswa dan mahasiswi Oxford, walau hanya sebentar, sangat berpengaruh dalam hidup saya,” demikian Naruhito menulis penggalan dua tahun hidupnya di Inggris.
Pertemanan abadi
Di antara mahasiswa yang bergaul dengan Naruhito adalah Keith George asal West Virginia, Amerika Serikat. Ia menempuh pendidikan hukum. Ia tinggal di sebelah kamar asrama Naruhito.
George, ketika itu berusia 22 tahun, dengan jenaka menceritakan persahabatannya dengan Pangeran Naruhito ibarat pangeran dan orang udik miskin dari Pegunungan Appalachia.
George masih menyimpan foto mereka berdua yang diambil fotografer Associated Press, Peter Kemp, saat George dan Naruhito pertama kali bertemu di Kampus Oxford. Dalam foto itu, keduanya mengenakan pakaian putih dan seragam Oxford. Dalam foto kenangan tersebut, terlihat mereka tertawa lepas.
”Itu foto asli tanpa rekayasa. Saat pertama kali kami bertemu, tentu saya sadar, dia seorang putra hahkota yang akan menjadi kaisar Jepang. Namun, selanjutnya setelah saling mengenal, apakah kami akan menjadi sahabat, ternyata kami berteman baik sampai sekarang,” kata George mengenang pertemuan dan persahabatannya dengan Naruhito.
Pertemanan itu awet dan berlanjut hingga kini.
Inggris di tahun 1980-an adalah perwujudan impian seorang Naruhito muda tentang masyarakat yang merawat sejarah, budaya, sekaligus maju ke masa depan. Dalam memoarnya, Naruhito mencatat koeksistensi antara para akademisi dan busana tradisional dari abad silam dan kaum muda Inggris dari komunitas punk.
”Saya rasa, pemandangan tersebut menggambarkan keindahan dan kebebasan bagi dia (Naruhito),” kata George yang kerap menemani Naruhito.
Nostalgia di Sungai Thames
Naruhito mempelajari perniagaan sungai sejak kanak-kanak. Tetapi, di Jepang dia tidak bebas bepergian ke tempat-tempat umum karena berbagai aturan istana. Tidak aneh jika kemudian di Inggris dia mempelajari Sungai Thames sebagai fokus penelitiannya.
Baca juga: Jepang Gandeng Italia-Inggris Kembangkan Jet Tempur Bersama
Sejarah mencatat, Inggris merupakan salah satu pusat modernisasi dan pengembangan maritim Jepang sejak era modernisasi atau Restorasi Meiji paruh kedua 1800-an. Kebiasaan makan kari di Jepang pun diadopsi dari tradisi Angkatan Laut Inggris yang mempekerjakan juru masak India dan juru masak Kanton, China, di armada kapal perang Inggris.
”Kenangan hidup saya bersama Sungai Thames kembali lagi. Saya mengumpulkan data sejarah Thames, pemandangan indah di tepian sungai, dan hari-hari saya dengan lari pagi di sana selalu menyegarkan setelah belajar berhari-hari, belajar dengan keras,” kata Naruhito kepada wartawan di Jepang sebelum berangkat ke Inggris.
Mengingat kembali riset yang dilakukannya 40 tahun silam, Naruhito serasa membuka kembali nostalgia dan kebahagiaan masa lalu. (AP)