Dari sudut pandang Hanoi, kunjungan Putin menunjukkan bahwa Vietnam menjalankan kebijakan luar negeri yang seimbang.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·2 menit baca
HANOI, SENIN – Sempat mengundang tanda tanya, kini kunjunganPresiden Rusia, Vladimir Putin ke Vietnam dipastikan. Seorang pejabat negara itu mengatakan, Putin dijadwalkan tiba di Hanoi pada Rabu (19/6/2024) dan meninggalkan Vietnam pada Kamis (20/6/2024). Sebelumnya, Putin akan mengunjungi Korea Utara pada Selasa (18/6/2024) dan meninggalkan negara itu untuk menuju Vietnam pada Rabu.
Kunjungan ini merupakan kunjungan Putin kedua ke Vietnam setelah sebelumnya ia mengunjungi negara itu pada tahun 2017. Kunjungan kali ini merupakan jawaban atas undangan Ketua Partai Komunis Vietnam Nguyen Phu Trong. Sementara kunjungan ke Korea Utara merupakan undangan dari Pemimpin Korut, Kim Jong Un. Kunjungan ke Korut merupakan kunjungan pertama Putin ke negara itu.
Selama berada di Vietnam, Putin juga akan dijamu oleh mitranya, Presiden Vietnam, To Lam. Sejumlah pihak mengatakan, isu bilateral seperti penguatan hubungan ekonomi dan komersial akan menjadi agenda pembicaraan mereka. Selain itu, mereka juga akan membahas sejumlah isu sensitif seperti isu penjualan senjata dan energi.
Menurut Carl Thayer, seorang pakar senior bidang keamanan Vietnam pada Akademi Angkatan Bersenjata Australia, isu penjualan senjata menjadi agenda lantaran Rusia merupakan pemasok utama senjata bagi Vietnam. Isu energi juga akan menjadi salah satu isu sensitif yang akan dibahas. Sebagaimana diketahui, sejumlah perusahaan Rusia saat ini beroperasi di ladang-ladang gas dan minyak Vietnam. Ladang gas dan minyak itu berada di wilayah Laut China Selatan, kawasan dimana Vietnam memiliki sengketa wilayah dengan China.
Isu yang tak kalah menarik adalah isu pembayaran untuk perdagangan luar negeri. Saat ini baik Vietnam maupun Rusia tengah berupaya melakukan transaksi menyusul sanksi yang dikenakan Amerika Serikat pada Rusia.
Kecaman
AS yang akhir-akhir ini aktif mendekati Vietnam, merasa tidak nyaman dengan rencana kunjungan Putin ke Hanoi. Washington mengecam Hanoi. Tahun lalu, AS meningkatkan hubungan dengan Vietnam, dan menjadikan Vietnam sebagai salah satu mitra dagang utama.
Dalam sebuah pernyataan, juru bicara Kedutaan Besar AS di Hanoi mengatakan, tidak ada negara yang boleh memberi Putin platform untuk mempromosikan agresinya dan membiarkannya menormalisasi kekejamannya. "Jika Putin dapat bepergian dengan bebas, itu dapat menormalkan pelanggaran terang-terangan Rusia terhadap hukum internasional," kata Juru Bicara Kedutaan AS di Hanoi menambahkan.
Pada bulan Maret tahun lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berpusat di Den Haag mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk presiden Rusia atas dugaan kejahatan perang di Ukraina. Uni Eropa (UE) yang juga merupakan mitra ekonomi utama Vietnam lainnya, tidak berkomentar terkait kunjungan Putin itu. Namun, bulan lalu UE menyatakan ketidakpuasan atas keputusan Hanoi yang menunda pertemuan dengan utusan UE terkait sanksi kepada Rusia.
Para pejabat mengaitkan penundaan itu dengan persiapan kunjungan Putin ke Vietnam. Sementara Kementerian Luar Negeri Vietnam tidak mengeluarkan tanggapan apapun terkait reaksi-reaksi itu.
Ian Storey, peneliti senior pada ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berpusat di Singapura mengatakan, dilihat dari sudut pandang Hanoi, kunjungan Putin tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Vietnam menjalankan kebijakan luar negeri yang seimbang yang tidak memihak salah satu negara besar.