Jebakan Houthi Jerat Navy Seals dalam Konflik Tak Berkesudahan
Drone, kapal nirawak dan rudal Houthi seakan tiada habisnya. Setiap hari selama tujuh bulan, Navy Seals menghadapinya.
Kelompok Houthi tak pernah diperhitungkan sebagai kekuatan militer dunia. Namun, selama beberapa bulan terakhir, kelompok bersenjata berbasis di Yaman itu mampu menjerat pasukan khusus Amerika Serikat, Navy Seals, dalam pertempuran tak berkesudahan. Alih-alih berlaga di medan tempur global, Navy Seals harus berkutat di Laut Merah untuk menghadapi kelompok kecil tapi tangguh itu.
Padahal, selama puluhan tahun, pasukan elit itu digembleng guna menghadapi pertempuran dengan militer negara-negara adidaya dunia. Dulu Uni Soviet dan sekarang Rusia serta China. Persenjataan Angkatan Laut AS tentu juga jauh melebihi Houthi.
Namun, fakta berkata lain. Setelah tujuh bulan dihadapi Angkatan Laut AS, Inggris dan sekutunya, serangan Houthi bukannya mereda, justru kian menjadi. Bahkan, operasi militer pimpinan AS melawan Houthi itu sekarang sudah dianggap sebagai pertempuran laut paling keras yang harus dihadapi Navy Seals sejak Perang Dunia II berakhir.
“Ini adalah pertempuran berkepanjangan yang pernah dialami Angkatan Laut AS sejak Perang Dunia II, tidak diragukan lagi,” kata Bryan Clark, mantan awak kapal selam Angkatan Laut AS dan peneliti senior di Institut Hudson seperti dilaporkan Associated Press, Sabtu (15/6/2024).
Sepanjang Jumat (14/6/2024) saja, serangan kapal dan pesawat nirawak (drone) Houthi mengenai tiga kapal komersial. Serangan ini mengakibatkan satu awak kapal MV Verbena terluka parah.
Dalam pernyataannya, Houthi mengatakan serangan ke tiga kapal itu sebagai pembalasan atas kejahatan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza. "Dan sebagai tanggapan atas agresi Amerika-Inggris terhadap negara kami," katanya seperti dilaporkan BBC.
Baca juga: Tidak Boleh Ada Monopoli Lautan
Serangan Houthi di Laut Merah dimulai pada 19 November 2023. Sasaran pertamanya adalah Galaxy Leader, kapal kargo milik perusahaan yang salah satu pemiliknya adalah pengusaha Israel. Sejak itu, serangan Houthi tak berhenti. Hanya di bulan Ramadhan saja, serangan mereka mereda. Tuntutannya, Israel menghentikan serangan dan menarik seluruh pasukan dari Gaza.
Setiap hari, Houthi meluncurkan rudal, drone atau jenis serangan lainnya di jalur pelayaran internasional di Laut Merah, Teluk Aden, dan Selat Bab el-Mandeb. Koridor ini merupakan jalur sempit antara Afrika dari Semenanjung Arab. Sempitnya jalur membuat serangan terhadap kapal yang melalui koridor ini bisa dilakukan dengan mudah.
Aksi Houthi ini telah menciptakan krisis Laut Merah. Rantai pasok dunia terdisrupsi. Biaya angkut perdagangan dunia melambung sehingga berkontribusi pada inflasi global. Sebagai pihak yang paling dirugikan, dipimpin AS, negara-negara Barat menurunkan tim gabungan tepat pada 11 Januari 2024.
Selama tujuh bulan, pertempuran dengan Houthi itu membuat Navy Seals harus menghadapi drone, kapal nirawak, dan rudal yang seakan tiada habisnya. Lebih dari 50 kapal menjadi sasaran. Volume pengiriman barang di koridor Laut Merah-Terusan Suez di Mediterania pun turun drastis.
Semakin panas
Tidak kunjung mereda, sejumlah pihak justru melihat indikasi pertempuran di Laut Merah akan semakin panas. “Saya rasa orang-orang tidak benar-benar memahami betapa seriusnya tindakan yang kami lakukan dan betapa kapal-kapal tersebut terus berada dalam ancaman,” kata Laksamana Pertama Eric Blomberg, Komandan USS Laboon, salah satu kapal perang AS yang ditempatkan di Laut Merah.
Pertempuran berat dengan Houthi telah meninggalkan tanda di USS Laboon. Cat di sekitar palka pod rudalnya terbakar. Hal ini karena seringnya frekuensi penembakan yang harus diluncurkan dari Kapal perusak kelas Arleigh Burke itu.
Demikian juga para pelautnya. Setiap kali Houthi mulai menyerang, mereka hanya punya beberapa detik saja untuk mengonfirmasi peluncuran, berunding dengan kapal lain, dan akhirnya bisa melepaskan tembakan untuk mencegat rudal yang bisa bergerak melampaui kecepatan suara itu.
“Setiap hari, setiap jaga. Beberapa kapal kami telah berada di sini selama tujuh bulan lebih, dan melakukannya tiap hari,” kata Kapten David Wroe, perwira yang mengawasi kapal perusak berpeluru kendali.
Baca juga: Houthi Lancarkan Serangan Terbesar di Laut Merah, DK PBB Bersidang
Sebagai gambaran, tembakan Houthi pada 9 Januari memicu rangkaian tembakan terkoordinasi dari USS Laboon, jet tempur F/A-18 dari kapal induk USS Dwight D Eisenhower dan rangkaian tembakan dari kapal-kapal lain. Aksi itu mampu mencegah serangan Houthi. Sebanyak 18 drone, dua rudal jelajah anti-kapal, dan sebuah rudal balistik berhasil ditembak jatuh.
Sebelumnya, Angkatan Laut AS pernah mengalami “Perang Tanker” sekitar tahun 1980an di Teluk Persia. Bedanya, sebagian besar pertempuran itu menghadapi kapal yang menabrak ranjau. Sementara serangan Houthi merupakan serangan langsung.
Clark mengatakan, saat ini merupakan awal era baru di mana Houthi mampu meluncurkan serangan yang tak semuanya bisa dihentikan AS. Dampak serangan juga telah sangat merusak. "Jika dibiarkan, Houthi akan menjadi kekuatan yang jauh lebih mampu, kompeten, dan berpengalaman,” kata peneliti senior di Institut Hudson itu.
Selama ini, kapal induk USS Dwight D Eisenhower tampaknya lebih menjaga jarak dari pertempuran. Sementara kapal perusak seperti USS Laboon, menghabiskan sebagian besar waktu di luar Yaman, tepatnya di zona pertemepuran, yang dalam istilah Angkatan Laut AS disebut zona kontak senjata.
Pertempuran laut di Timur Tengah selalu berisiko Tinggi. Pada tahun 1987, sebanyak 37 orang tewas saat kapal perang AS, USS Stark, dihantam serangan rudal dari jet tempur Irak. Kapal fregat itu ditembak saat sedang patroli di Teluk Persia selama perang Iran-Irak. Tahun 2000, sebabnyak 17 awak kapal USS Cole tewas dalam serangan bom bunuh diri al-Qaeda. Kapal diserang saat mengisi bahan bakar di Aden, kota pelabuhan di Yaman.
Ini adalah pertempuran paling berkepanjangan yang pernah dialami Angkatan Laut AS sejak Perang Dunia II, tidak diragukan lagi.
Laksamana Muda Marc Miguez, Komandan Gugus Tempur Kapal Induk Dwight D. Eisenhower mengatakan, Angkatan Laut AS telah menghancurkan satu drone pembawa bom bawah air yang diluncurkan oleh Houthi. Sebuah senjata yang sangat canggih untuk dimiliki kelompok bersenjata skala kecil.
Miguez mengatakan, Iran terus mempersenjatai kelompok Houthi, meskipun sanksi PBB telah menghalangi pengiriman senjata kepada mereka. “Saat ini kami memiliki keyakinan yang cukup tinggi bahwa Iran tidak hanya memberikan dukungan finansial, namun mereka juga memberikan dukungan intelijen,” kata Miguez.
Misi Iran di PBB mengatakan bahwa Teheran menggunakan cara cerdas dalam menggagalkan strategi AS. Cara Teheran ini telah memperkuat (Houthi) sekaligus tetap patuh pada resolusi PBB.
Sejauh ini serangan AS dan sekutunya tak juga mampu menghentikan serangan Houthi. Padahal, serangan sekutu sudah meliputi serangan udara, darat, dan laut. Salah satu serangan udara Sekutu menyasar fasilitas Houthi di Yaman. Target dari serangan itu adalah stasiun radar, lokasi peluncuran, dan gudang senjata. Pada 30 Mei 2024, serangan udara AS dan Inggris yang menyasar fasilitas Houthi menewaskan setidaknya 16 orang.
Kapten Marvin Scott, komandan skadron udara AS di Laut Merah mengatakan, para pilot di Kapal Induk Dwight D. Eisenhower juga telah meluncurkan lebih dari 350 bom dan menembakkan 50 rudal ke Houthi.
Tak tinggal diam, Houthi membalas dengan berhasil menembak jatuh beberapa drone canggih AS, MQ-9 Reaper. “Houthi juga memiliki kemampuan rudal permukaan ke udara. Meskipun sudah berkurang, tapi masih ada. Kami harus selalu siap untuk ditembak oleh Houthi," kata Scott.
Rumit
Dampak ikutan perang Israel-Hamas di Laut Merah itu telah menciptakan kerumitan tersendiri. Kegelisahan mulai muncul di antara para tentara AS. Beberapa dari mereka mulai mempertanyakan kebijakan pemerintahnya yang tak juga memerintahkan serangan lebih keras pada Houthi. Gedung Putih tampaknya memang belum membahas konflik Houthi seserius perang Israel-Hamas di Jalur Gaza.
Alasannya bisa beragam. Salah satunya AS tengah meredakan ketegangan dengan Iran. Terutama setelah Teheran menggelar serangan udara ke Israel. Ditambah pula, sekarang Teheran juga memperkaya uranium hingga mendekati tingkat yang setara dengan senjata nuklir.
Sementara itu, Houthi juga punya kepentingan sendiri. Sejak 1990-an, Kelompok Houthi berjuang melawan koalisi pimpinan Saudi yang kemudian meluas menjadi perang. Perang itu menewaskan 150.000 orang, termasuk warga sipil dan menciptakan salah satu bencana kemanusiaan terburuk di era modern.
Baca juga: Houthi Kembali Jatuhkan MQ-9 Reaper AS
Pertarungan langsung AS melawan Houthi pun bisa jadi direstui kelompok Syiah Zaydi. Kelompok ini begitu membenci Israel dan AS. Secara terbuka melawan AS dan memihak Palestina membuat Houthi meraih simpati sebagian besar kalangan Timur Tengah.
Sementara itu Arab Saudi terkesan diam. Ada dugaan, negara ini justru tengah mengupayakan kesepakatan damai dengan Houthi. Laporan juga menunjukkan beberapa negara meminta AS untuk tak menyerang Houthi di wilayah mereka.
Di sisi lain, kehadiran Gugus Tempur Kapal Induk Dwight D Eisenhower di perairan internasional di Timur Tengah pun menjadi semakin penting. Penempatannya telah diperpanjang. Sejak ditempatkan di sana, yaitu sepekan setelah Perang Israel-Hamas pecah 7 Oktober 2023, awaknya hanya menerima satu kali merapat ke pelabuhan.
Sementara itu, dengan anjloknya volume pengiriman barang, pendapatan Mesir dari Terusan Suez turun hingga hanya setengahnya. Padahal, pendapatan itu merupakan merupakan sumber utama devisa bagi perekonomian Mesir.
Jalur pelayaran yang dulunya ramai itu sekarang sepi. Beberapa bangkai kapal yang rusak oleh serangan Houthi dibiarkan mengapung tanpa nyawa diayun arus Laut Merah.
(AP)