Penumpang Meningkat, Industri Penerbangan 2024 Raup Laba Rp 495 Triliun
Amerika Utara masih menjadi sumber pendapatan utama. Asia menunjukkan tren konsumsi penerbangan yang menjanjikan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Terlepas dari berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah maskapai, penerbangan global diperkirakan berkembang positif sepanjang tahun 2024. Asosiasi Perhubungan Udara Internasional (IATA) bahkan memperkirakan secara umum industri penerbangan menuai laba hingga 30,5 miliar dollar AS (sekitar Rp 495 triliun) tahun ini.
Hal tersebut diungkapkan dalam rapat umum IATA di Dubai, Uni Emirat Arab, Senin (3/6/2024). Sebanyak 300 maskapai anggota IATA atau setara 80 persen maskapai di dunia hadir dalam pertemuan itu. ”Ada perkembangan yang menggembirakan, terutama di Asia,” kata Direktur Utama IATA Willie Walsh.
Walsh menerangkan, pendapatan kotor industri penerbangan pada 2024 diperkirakan 1 triliun dollar AS. Dari jumlah tersebut, laba bersihnya sebanyak 30,5 miliar dollar AS. Angka ini melebihi capaian laba penerbangan 2023, yakni 27,4 miliar dollar AS.
Pada 2023, industri penerbangan masih berusaha bangkit setelah selama tiga tahun dihantam pandemi Covid-19. Pengetatan keluar-masuk negara, bahkan penutupan perbatasan oleh sejumlah negara, membuat perjalanan internasional secara umum nyaris tiada. Sebagai gambaran, pada tahun 2020 kerugian industri penerbangan mencapai 140 miliar dollar AS.
Peningkatan pendapatan dipicu peningkatan jumlah penumpang sebesar 3,2 persen dibandingkan pada tahun 2023. Sebaliknya, pengangkutan kargo melalui udara turun 17,5 persen. Selama pandemi Covid-19, pengiriman kargo merajai transportasi udara. Pesawat-pesawat penumpang sampai beralih fungsi mengangkut barang.
Pada 2024, maskapai penerbangan memperkirakan setidaknya 5 miliar orang akan melakukan perjalanan udara. IATA menyebut, jumlah itu mengalahkan rekor penerbangan sebelum pandemi Covid-19. ”Tak diragukan, penerbangan vital bagi ambisi dan kemakmuran individu dan perekonomian. Memperkuat profitabilitas dan ketahanan keuangan sangat penting,” ujar Walsh.
Secara umum, wilayah Amerika Utara masih menjadi sumber pendapatan nomor satu industri penerbangan. Nilai laba dari Amerika Utara sebesar 14,9 miliar dollar atau setengah dari laba global. Akan tetapi, pasar Asia menunjukkan tren positif. China merupakan salah satu negara di Asia yang memberi keuntungan bagi industri ini.
Rantai pasok
Meskipun begitu, IATA tetap mewanti-wanti masalah yang akan terjadi. Kendala di rantai pasok tetap ada. Perusahaan dirgantara Boeing kesulitan memenuhi pemesanan pesawat Boeing 737 MAX.
Selain itu, pada awal 2024 Boeing tersandung sejumlah masalah. Beberapa di antaranya insiden jendela darurat copot kala pesawat mengangkasa, turbin jet terbakar, dan roda pesawat patah ketika mendarat.
Saingan utama Boeing, Airbus, juga mengalami kendala. Perusahaan pembuat mesin mereka, Pratt and Whitney, kesulitan berproduksi secara cepat. Walhasil, ratusan jet Airbus diperkirakan tidak bisa terbang pada akhir tahun 2024.
Selain persoalan kendala mesin ataupun sarana pesawat, ada pula persoalan keamanan. Pekan lalu, pesawat Singapore Airlines dari London, Inggris, yang menuju Singapura terkena turbulensi hebat di atas perairan Laut Andaman. Pesawat harus mendarat darurat di Bangkok, Thailand.
Satu penumpang meninggal akibat serangan jantung dan 26 penumpang masih dirawat di rumah sakit. Mereka mengalami cedera antara lain gegar otak dan patah tulang akibat terhantam barang-barang yang berhamburan di dalam kabin ketika turbulensi terjadi. Singapore Airlines adalah salah satu maskapai terbaik di dunia.
Terlepas dari persoalan itu, secara umum, bepergian dengan pesawat tetap moda transportasi yang paling aman dibandingkan dengan angkutan lain. ”Teknologi pesawat saat ini amat baik dan aman. Berbagai permasalahan yang terjadi itu kasuistis, bukan kendala pada maskapai atau pesawat pada umumnya,” kata dosen Keselamatan Penerbangan Universitas Dirgantara Embry-Riddle, Amerika Serikat, Anthony Brickhouse, kepada media NPR edisi 12 Maret 2024.
Institut Teknologi Massachusetts (MIT) memiliki kajian keamanan penerbangan. Berdasarkan penelitian MIT periode 2018-2022, risiko penumpang tewas akibat insiden di pesawat secara global adalah 1 berbanding 13,4 juta. Pada periode 1968-1977 risikonya adalah 1 berbanding 350.000.
Jeff Guzetti, Direktur Guzetti Aviation Risk Discovery, firma kajian risiko penerbangan, menjelaskan kepada NBC bahwa pelatihan pilot dan awak kabin juga sangat intensif. ”Awak kabin tujuan utamanya bukan untuk menyuguhkan makanan, melainkan menjaga keamanan selama penerbangan,” ujarnya. (AFP/Reuters)