Chang'e-6, Lompatan Besar China di Bulan dan Antariksa
Wahana China, Chang'e-6, sukses ke Bulan. Wahana Boeing, Starliner, kembali gagal meluncur.
BEIJING, MINGGU — China kembali melakukan lompatan penting di Bulan. Chang'e-6, wahana nirawak China, mendarat di sisi terjauh atau kutub selatan Bulan.
Wahana antariksa itu mendarat pada Minggu (2/6/2024). Kecuali China, belum ada negara lain bisa merambah kutub selatan Bulan. Chang'e melakoni misi 53 hari mulai 3 Mei 2024.
Baca juga: China Luncurkan Wahana Penjelajah ke Bagian Terjauh di Bulan
Dilaporkan Xinhua, Chang'e-6 diterbangkan roket Longmarch-5 dari Wenchang, Hainan. Roket itu mengantar Chang'e mendekati Bulan pada 10 Mei 2024.
Dari lokasi pengantaran, Chang'e-6 harus turun 200 kilometer agar lebih dekat ke Bulan. Tujuannya, mencari permukaan Bulan yang bisa didarati. ”Kami perlu prosedur kontrol yang tepat untuk menempatkan wahana itu pada lintasan yang sudah ditentukan,” kata Huang Wu, pejabat di China Aerospace Science and Technology Corporation kepada stasiun televisi milik pemerintah China, CCTV.
Setelah itu, Chang’e-6 harus cepat mengurangi kecepatan ke Bulan. Kecepatannya harus menjadi nol dalam waktu 15 menit. Untuk itu, dibutuhkan pendorong dalam jumlah besar, setengah dari seluruh berat wahana tersebut.
Pengumpulan contoh
Setelah mendarat, Chang'e-6 bertugas mengumpulkan contoh tanah dan batu di permukaan Bulan. Sejumlah uji coba lain juga dijadwalkan sampai Rabu (5/6/2024). Wahana itu ditargetkan mengumpulkan contoh material hingga dua kilogram.
Baca juga: China Setelah Mars
Kalau sudah selesai, wahana itu harus kembali ke Bumi. Tantangan selanjutnya hadir karena Chang'e-6 akan meluncur dari sisi terjauh Bulan. Bagian ini tidak menghadap ke Bumi.
Kini, setelah Chang’e-6 mendarat dengan selamat, akan dilakukan pengambilan sampel tanah dan bebatuan Bulan serta eksperimen lain di zona pendaratan. Contoh material itu diharapkan meningkatkan pemahaman pada proses pembentukan Bulan.
Penerbangan kembali ini rumit. Dengan posisi membelakangi Bumi, tantangan terberatnya ada pada komunikasi dan operasional robot. Berhasil mendarat ke sisi itu saja sudah luar biasa. Sebab, potensi kegagalannya amat tinggi.
”Mendarat di sisi jauh Bulan itu sangat sulit karena susah komunikasi. Ada proses otomasi, tetapi itu juga sulit terutama di lintang tinggi karena ada bayangan panjang yang bisa membingungkan pendarat,” kata Neil Melville-Kenney, petugas teknis di Badan Antariksa Eropa yang bekerja dengan China pada salah satu muatan Chang'e-6.
Baca juga: China Akan Terbangkan Astronotnya ke Bulan Sebelum 2030
Ilmuwan kadang menyebut kutub selatan sebagai sisi gelap Bulan. Disebut demikian karena tidak pernah terlihat dari Bumi. Padahal, sisi itu tetap terkena sinar matahari.
Sisi itu kawahnya dalam dan lebih sedikit tertutup lava purba. Sementara sisi utara atau bagian terdekat Bulan ke Bumi kawahnya lebih dangkal.
China mencurahkan sumber daya yang sangat besar ke program luar angkasanya selama 10 tahun terakhir. Target-targetnya ambisius dan seakan berlomba dengan Amerika Serikat dan Rusia. Sebelum misi Chang’e-6, China sudah membangun stasiun ruang angkasa yang diberi nama Tiangong atau ”istana surgawi”.
Sebelum Chang'e-6, China mengirimkan Chang'e-5 pada 2020. Wahana itu mendarat di sisi terdekat Bulan dengan Bumi. Tugasnya sama, mengumpulkan contoh material di permukaan Bulan.
Baca juga: Lompatan Teknologi Antariksa China
Selain itu, China mengirimkan robot penjelajah ke Bulan dan Mars. Di Tiangong, China secara rutin menempatkan taikonot, sebutan astronot China.
Beijing berambisi mengirimkan taikonot ke Bulan pada tahun 2030. Sementara Amerika Serikat berhasrat mendaratkan lebih cepat, yakni pada tahun 2026. AS mengandalkan misi Artemis 3 untuk proyek itu. AS menggandeng Kanada, Jepang, dan Uni Eropa. Sejumlah perusahaan swasta terlibat di proyek itu.
Misi batal
Penerbangan ke antariksa tidak mudah. Buktinya, misi mengirimkan dua astronot ke Stasiun Antariksa Internasional (ISS) dengan CSR-200 Starliner kembali gagal. Wahana milik Boeing itu mendadak batal terbang beberapa menit sebelum lepas landas.
Badan Antariksa Nasional (NASA) belum bisa memastikan kapan peluncuran akan kembali dilakukan. Ada dugaan misi akan dilakukan pada Minggu siang waktu Florida atau Senin pagi WIB. Ada juga kemungkinan peluncuran pada Selasa dan Rabu pekan ini. NASA menyebut, pembatalan ini memberi tim waktu tambahan untuk memeriksa masalah.
”Kami sudah hampir berangkat. Saya tahu ini mengecewakan, tapi kami tetap semangat. Memang, seperti ini penerbangan luar angkasa,” kata Manajer Program Kru Komersial NASA Steve Stich.
Baca juga: Kapsul Starliner Siap Diluncurkan ke Luar Angkasa
Sistem pembatalan komputer menilai ada yang tidak beres dengan kapsul Starliner. Ini merupakan upaya kedua peluncuran Boeing. Misi ini mengalami serangkaian masalah teknis, bahkan selama 11 jam sebelum lepas landas.
Misi ini menjadi tonggak penting bagi Boeing saat mereka berupaya ikut berbisnis dengan NASA yang kini didominasi oleh SpaceX. Kapsul Starliner yang berbentuk seperti permen karet itu sebenarnya sudah dalam posisi siap diluncurkan dari Kennedy Space Center NASA, Florida, AS, dan bertengger di atas Atlas V.
Dua astronot NASA, Barry Wilmore (61) dan Sunita Williams (58), juga sudah siap sejak beberapa jam sebelum proses peluncuran. Namun, ketika hitungan mundurnya sudah tersisa waktu 3 menit dan 50 detik, sistem komputer memicu perintah pembatalan otomatis yang menghentikan rangkaian peluncuran. Setelah gagal, kedua astronot kembali ke rumah dan harus dikarantina sambil menunggu jadwal peluncuran berikutnya.
Kepala Eksekutif ULA Tory Bruno menjelaskan, penyebab utamanya ada pada masalah perangkat keras atau komunikasi jaringan di antara tiga komputer yang mengontrol sistem peluncuran otomatis. Upaya pertama Boeing untuk mengirim Starliner tanpa awak ke ISS pernah dilakukan pada 2019. Itu juga gagal karena gangguan perangkat lunak dan masalah teknis lain.”
Baca juga: Peluncuran Misi Berawak Starliner Ditunda akibat Roket Bermasalah
Percobaan kedua pada 2022 berhasil dan ini membuka jalan bagi misi uji berawak pertama. Uji coba misi berawak pertama pada 6 Mei lalu gagal juga dan dihentikan hanya dua jam sebelum waktu peluncuran. Penyebabnya, katup tekanan yang rusak.
Menghentikan hitungan mundur peluncuran atau penundaan peluncuran hingga berminggu-minggu itu bukan hal yang aneh dalam industri luar angkasa. Apalagi pada misi luar angkasa yang menerbangkan manusia.
Boeing membutuhkan misi ini berhasil untuk memulihkan nama baiknya setelah serangkaian kecelakaan terjadi belakangan ini. Namun, proyek Starliner ini saja sudah membuatnya kerepotan. Program ini sudah terlambat beberapa tahun dari jadwal dan biayanya membengkak hingga 1,5 miliar dollar AS.
Sebaliknya, SpaceX malah berkembang pesat menjadi layanan taksi luar angkasa yang dapat diandalkan NASA. SpaceX menyediakan satu-satunya cara untuk meluncurkan awak ISS ke orbit dari AS. NASA melihat Starliner sebagai alternatif transportasi lain yang juga bisa membawa astronot ke dan dari ISS serta ke Bulan.
Harapannya juga bisa membawa ke Mars melalui program Artemis. Dalam rencana awal, setelah diluncurkan, Starliner diperkirakan tiba di ISS setelah terbang selama 24 jam. Kedua astronot yang dibawa akan berada di ISS selama satu minggu sebelum akhirnya kembali ke Bumi dengan Starliner lagi. (REUTERS/AFP/AP)