Kolaborasi Toyota-Mazda-Subaru dan Keyakinan Toyoda Soal Mobil Futuristis
Toyota, Mazda, dan Subaru berkolaborasi melawan arus elektrifikasi global dengan membangun mesin konvensional baru.
TOKYO, SELASA — ”Lahirnya kembali mesin mobil”. Demikian raksasa otomotif Jepang, Toyota, memperkenalkan rancangan sentuhan futuristik pada mesin mobil konvensional. Mereka memastikan bahwa mesin mobil konvensional tidak akan pernah mati. Yang terjadi adalah mesin mobil konvensional itu berevolusi menjadi ”mesin yang ramah lingkungan”.
Dalam presentasi sekitar tiga jam di Tokyo, Selasa (28/5/2024), Toyota mengumumkan, mereka merancang mesin compact yang ramping dengan bahan bakar hijau, seperti hidrogen dan bioetanol, atau penggabungan mesin itu dengan motor elektrik nol emisi melalui hibrid.
Inovasi tersebut dipilih Toyota di tengah banyaknya kompetitor dalam industri otomotif yang menggenjot produksi kendaraan listrik. Produsen otomotif China, misalnya, sepenuhnya didorong untuk memproduksi semasif mungkin kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle). Di jalur ini, perusahaan China, BYD, telah merebut mahkota kendaraan listrik dari Tesla.
Baca juga: BYD Merebut Mahkota Tesla
Toyota tak ingin ikut dalam hiruk-pikuk perubahan tren menuju arus elektrifikasi. Mereka ingin tetap berjalan di jalur mazhab mesin konvensional dengan sentuhan futuristik. Bersama dua pabrikan otomotif lainnya, yakni Subaru dan Mazda, Toyota memamerkan mesin konvensional generasi baru yang akan disematkan pada produk kendaraan masing-masing.
Toyota memiliki seperlima saham di Subaru dan sekitar 5 persen saham di Mazda. ”Dengan mesin ini, masing-masing dari ketiga perusahaan bertujuan untuk mengoptimalkan integrasi dengan motor, baterai, dan unit penggerak listrik lainnya,” demikian pernyataan bersama mereka.
Mesin generasi baru ini terdiri dari dua jenis, yakni masing-masing memiliki kapasitas 1.5 l (setara dengan 1500 cc) dan 2.0 l (setara 2000 cc). Ketiga perusahaan itu meyakini, dengan menggunakan mesin 1,5 l generasi baru akan mengurangi bobot kendaraan hingga 10 persen dibandingkan dengan mesin generasi lama. Hal ini bisa berdampak pada tingkat penghematan bahan bakar.
Baca juga: China Rebut Mahkota Raja Otomotif dari Jepang
Sementara mesin 2.0 l baru, yang akan memiliki varian turbo, diyakini akan memiliki kemampuan setara dengan mesin 2.4 l turbo. Sejumlah analis menilai mesin ini berpotensi untuk digunakan pada produk-produk sedan premium atau jenis kendaraan dengan tempat duduk tiga baris (SUV).
Ketiga perusahaan itu optimistis bahwa mesin baru ini akan mendorong proses dekarbonisasi mesin pembakar internal (ICE) menjadi lebih baik karena kompatibel dengan sumber bahan bakar alternatif, seperti biofuel, e-fuel (bahan bakar sintetis), hingga hidrogen. Mesin yang compact diharapkan akan mengubah desain kendaraan secara keseluruhan yang memungkinkan posisi bonet atau hidung mobil lebih rendah dan membuatnya melaju lebih baik.
CEO Toyota Motor Corp. Koji Sato mengatakan, kemunculan mesin baru ini adalah upaya mereka memberikan pilihan pada calon konsumen kendaraan bermotor di tengah upaya global untuk mengurangi gas rumah kaca.
”Untuk mencapai netralitas karbon, kita menghadapi tantangan mengembangkan mesin yang selaras dengan lingkungan di masa depan. Ketiga perusahaan yang memiliki aspirasi yang sama akan menyempurnakan teknologi mesin,” kata Sato, dikutip dari laman Toyota Motor.
Baca juga: Honda-Nissan Bersekutu demi Saingi BYD dan Tesla
Hal senada disampaikan CEO Mazda Motor Corp Masahiro Moro. Mazda dan dua perusahaan otomotif Jepang, Toyota dan Subaru, bertekad menyempurnakan mesin pembakaran internal (ICE) meski dunia otomotif global telah memasuki era elektrifikasi. Moro juga menyebut tindakan itu adalah bagian dari upaya mereka mencari jalan terbaik (multijalur) dalam mencapai netralitas karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca.
”Mengingat kompatibilitas mesin rotari dengan elektrifikasi dan bahan bakar netral karbon, Mazda akan terus mengembangkan teknologi tersebut melalui kreasi bersama dan kompetisi untuk memastikannya dapat berkontribusi secara luas kepada masyarakat,” kata Moro.
Sementara CEO Subaru Corp. Atsushi Osaki menyebut, di satu sisi mereka juga akan terus menyempurnakan teknologi elektrifikasi kendaraan buatannya. Di sisi lain, mereka juga akan terus menyempurnakan mesin serta bahan bakar yang bisa mendorong netralitas karbon di masa depan.
Baca juga: Mobil Listrik, Kuda Troya China di Era Multipolar
”Ke depan, ketiga perusahaan yang memiliki aspirasi yang sama akan terus memajukan upaya mencapai keunggulan berkelanjutan dalam manufaktur mobil Jepang,” kata Osaki.
”Setiap perusahaan ingin menang, tetapi kami akan mampu (menang) lebih cepat jika kami bekerja bersama-sama,” ujar Sato.
Keyakinan Toyoda
Keputusan tiga perusahaan untuk mengembangkan mesin konvensional ini mengulangi keyakinan mantan CEO Toyota Akio Toyoda. Toyoda, saat berbicara pada Toyota Group Vision Briefing di Nagoya, Jepang, Februari 2024, menyebut penjualan kendaraan listrik berbasis baterai tidak akan terlalu besar.
Dia menilai, mesin hibrida dan mesin berbahan bakar hidrogen akan menguasai 70 persen pasar kendaraan bermotor global di masa akan datang. Penjualan kendaraan listrik, menurut dia, hanya akan sebesar 30 persen dari pasar otomotif global.
”Tidak peduli seberapa besar kemajuan yang dicapai (kendaraan baterai-listrik), saya pikir mereka hanya akan menguasai 30 persen pangsa pasar. Kemudian, 70 persen sisanya adalah kendaraan listrik hibrida dan kendaraan sel bahan bakar hidrogen. Dan saya pikir mobil bermesin pembakaran internal pasti akan tetap ada,” kata Toyoda.
Toyoda mengatakan, tidak mudah bagi banyak negara untuk segera beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik berbasis baterai. Setiap negara memiliki kesulitan masing-masing. Dia mengibaratkan tantangan setiap negara seperti mendaki gunung untuk mencapai netralitas karbon atau mereduksi gas rumah kaca yang dihasilkan kendaraan bermotor.
Baca juga: Mobil Listrik China Mulai Resahkan OPEC dan Industri Otomotif Lama Dunia
Toyoda juga menyebut, masih ada satu miliar jiwa penduduk dunia tinggal di wilayah yang tingkat penetrasi listriknya rendah. Hal itu yang membuat Toyota memutuskan untuk tetap berada di jalurnya, mengembangkan mesin konvensional yang lebih ramah lingkungan sembari mencoba mengembangkan berbagai teknologi mesin kendarana bermotor.
Toyota telah menghadapi kritik dari kelompok pegiat lingkungan hidup dalam beberapa tahun terakhir karena menolak tren industri yang mengubah seluruh lini modelnya ke kendaraan listrik. Toyota malah bersikeras untuk terus mengembangkan teknologi hibrida dan hidrogen di samping kendaraan listrik.
Toyota sendiri hanya memiliki satu jenis kendaraan listrik berbasis baterai (BEV), yakni bZ4X, yang saat ini sudah dipasarkan di seluruh dunia. Toyota memilih memperbanyak pilihan pada kendaraan hibrid, yang masih menggunakan bahan bakar fosil dan juga menggunakan motor listrik sebagai penggerak alternatif.
Sementara untuk kendaraan berbahan bakar hidrogen, Toyota masih terus menyempurnakan teknologi yang telah disematkan di Toyota Mirai sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2014.
Toyota menjual sekitar 2,4 juta kendaraan pada Januari-Maret dan hampir dua perlimanya merupakan kendaraan hibrida bensin-listrik. Kendaraan hibrida plug-in, sel bahan bakar, dan kendaraan listrik bertenaga baterai hanya menyumbang 2,9 persen.
Begitu juga dengan Mazda yang sejauh ini baru mengeluarkan beberapa model kendaraan hibrida, yakni MX-30, CX-60 dan CX-90. Sementara Subaru sudah mengeluarkan BEV-nya, yakni Subaru Solterra.
Baca juga: Hama Wing, Pencarian Sumber Energi Baru
Chief Technology Officer Toyota Motor Corp. Hiroki Nakajima menolak mengatakan kapan Toyota akan meluncurkan model yang dilengkapi mesin tersebut.
Takahiro Fujimoto, profesor bisnis pada Waseda University, Tokyo, Jepang, meyakini, kendaraan listrik menjadi solusi utama dalam mengurangi emisi. Akan tetapi, masih ada beberapa celah titik lemah, seperti besarnya emisi yang dikeluarkan dalam pembuatan baterai litium-ion, komponen utama kendaraan listrik.
”Setidaknya, saya percaya, proliferasi dan inovasi BEV (kendaraan listrik berbasis baterai) jelas dibutuhkan. Namun, argumen logisnya tidak sama seperti mengatakan bahwa yang kita butuhkan hanya BEV,” kata Fujimoto.
Di Jepang sendiri, misalnya, para komuter biasa menggunakan kereta, yang bisa menjadi pilihan transportasi lebih baik secara ekologis. (AP/REUTERS)