Mencari Cara Mengantisipasi dan Mengurangi Turbulensi
Turbulensi pada Singapore Airlines dan Qatar Airways menunjukkan perlu teknologi untuk menghadapi turbulensi.
Guncangan pesawat akibat turbulensi semakin kerap. Karena semakin sulit dihindari, perlu cara menyiasati fenomena udara yang dapat mengganggu penerbangan tersebut. Perancangan pesawat hingga riset pendeteksi turbulensi terus dilakukan.
Guncangan terbaru dialami pesawat Qatar Airways pada Minggu (26/5/2024) di atas Turki. Insiden yang melukai 12 orang itu terjadi beberapa hari selepas Singapore Airlines terguncang di atas Andaman. Dalam insiden Singapore Airlines pada Selasa (21/5), dua penumpang tewas dan puluhan lain cedera.
Baca juga: Singapore Airlines Mendarat Darurat di Bangkok, 1 Penumpang Meninggal
Turbulensi yang menyebabkan guncangan itu semakin kerap. Tim peneliti University of Reading di Inggris menyimpulkan peningkatan intensitas itu. Di Atlantik Utara, intensitas turbulensi parah naik 55 persen pada periode 1979-2020. Sementara intensitas turbulensi sedang dan ringan naik masing-masing 37 persen dan 17 persen.
Biaya akibat turbulensi amat besar. Dalam kasus Singapore Airlines pekan lalu, paling tidak ada tambahan biaya penginapan di Bangkok. Selain itu, tentu ada biaya perawatan karena banyak orang cedera. Maskapai juga harus menanggung biaya perbaikan pesawat yang rusak selama guncangan.
Pada kasus-kasus lain, turbulensi bisa mengganggu jadwal penerbangan. Bukan hanya maskapai, penumpang juga dirugikan oleh gangguan jadwal itu. Selain dampak langsung, yang ditaksir bernilai miliaran dollar AS per tahun, ada dampak tidak langsung dari penundaan itu.
Antisipasi turbulensi
Sudah lebih dari seabad sejak benda yang benar-benar bisa disebut sebagai pesawat terbang dikenal manusia. Sementara turbulensi sudah ada jauh lebih lama. Para fisikawan menyebut turbulensi sebagai salah satu misteri yang belum benar-benar bisa terpecahkan.
Baca juga: Turbulensi Guncang Qatar Airways, 12 Orang Terluka
Salah satu upaya memahami turbulensi antara lain lewat bilangan Reynold. Di fisika, kajian turbulensi salah satu topik dalam mekanika fluida.
Insiden Singapore Airlines salah satu tanda, turbulensi sulit terduga. Periset University of Reading menyebut, turbulensi cuaca cerah (CAT) lebih sulit lagi diperkirakan. CAT dapat membentang selebar 160 kilometer dan sepanjang 482 km. CAT kerap terjadi pada ketinggian antara 6 km dan 12 km.
CAT dan sebagian bentuk lain turbulensi sulit ditebak walau teknologi pemantauan cuaca terus membaik. Pemantauan cuaca memang salah satu cara mengantisipasi turbulensi.
Setiap kali akan terbang, pilot menerima laporan kondisi cuaca. Selama terbang, pilot juga terus berkomunikasi dengan pengatur di darat. Komunikasi antara lain terkait kondisi cuaca.
Baca juga: Turbulensi Makin Sering Hantui Dunia Penerbangan, Dampak Perubahan Iklim
Pada 2007, Badan Antariksa Nasional (NASA) AS memulai riset untuk mendeteksi turbulensi. Riset fokus pada mendeteksi suara infrasonik, suara pada gelombang di bawah 20 hertz dan hampir mustahil didengar manusia. NASA dan sejumlah pihak mengembangkan pelantang yang bisa mendeteksi suara infrasonik.
Asumsinya, proses pembentukan turbulensi menghasilkan suara pada gelombang amat rendah. Jika suara itu bisa dilacak, maka turbulensi bisa dideteksi lalu dihindari.
NASA menyatakan, keselamatan penerbangan salah satu tujuan riset itu. Riset juga bertujuan merancang rute penerbangan yang efektif dari segi biaya dan keselamatan.
Sejauh ini, uji coba baru menggunakan pesawat kecil yang dilengkapi pelantang khusus. Data dari pesawat itu dinyatakan masih dianalisis. Belum diketahui kapan hasilnya diketahui lalu diterapkan.
Baca juga: Tips Aman Saat Turbulensi Penerbangan, Jangan Pernah Lepas Sabuk Pengaman
Pendeteksian juga dilakukan DLR Jerman. Mereka menggunakan laser ultraviolet untuk mendeteksi CAT. Caranya mengukur pantulan sinyal dari molekul hidrogen dan oksigen. Berdasarkan pantulan itu, diperiksa apakah ada keganjilan aliran udara. Jika ada keganjilan, berarti ada peluang turbulensi.
Periset DLR menyebut sistem mereka bisa mendeteksi turbulensi dalam jarak hingga 14 km. Sejak 2014, DLR mencoba memperpanjang jangkauan deteksi menjadi 32 km dari pesawat.
Cara lain mengantisipasi turbulensi melalui perancangan pesawat. Kerangka pesawat dirancang agar tahan terhadap dampak turbulensi. Pesawat modern dirancang untuk bisa bertahan rata-rata hingga 40 tahun. Usia pakainya bisa jadi lebih pendek jika semakin kerap dipakai atau kurang dirawat.
Kerangka pesawat juga dirancang agar bisa menahan beban hingga 1,5 kali bobot maksimumnya. Saat terjadi turbulensi, tekanan pada badan pesawat bisa meningkat. Kenaikan tekanan bisa terjadi, baik oleh hal-hal yang terlempar di dalam kabin maupun ruang bagasi. Tekanan dapat pula terjadi kala pesawat turun atau naik mendadak selama turbulensi.
Teknologi pengurang
Penguatan atau peningkatan badan pesawat untuk menghadapi turbulensi menjadi fokus Turbulence Solutions. Perusahaan rintisan dari Austria itu menawarkan alat yang tidak hanya mendeteksi turbulensi.
Pendiri dan pemimpin Turbulence Solutions, Andras Galffy, mengatakan, perusahaannya menciptakan anti-turbulensi. Pilot dengan pengalaman lebih dari 10 tahun itu menyebut, perusahaannya memasang perangkat di sayap.
Perangkat itu membuat sayap pesawat dapat mengatur laju arus udara sedemikian rupa. Dengan demikian, laju angin turbulensi melewati sayap dan badan pesawat tidak ubahnya angin biasa.
Baca juga: Belajar dari Kasus Turbulensi, Singapore Airlines Ubah Kebijakan Sajian Makanan
Galffy menggunakan perbandingan yakni alat peredam bising pada penyuara telinga yang mengaktifkan kontra kebisingan untuk meredam suara bising di luar. “Kami mengaktifkan kontra turbulensi untuk melawan gerakan liar yang tiba-tiba. Ini seperti burung terbang dengan posisi kepala lurus dan hanya menggunakan penyesuaian pada kepak sayap untuk menghadapi arus udara atau angin yang berubah tiba-tiba,” kata Galffy.
Perubahan pada sayap tersebut berjalan cepat di udara. Sensor tekanan yang dipasang Galffy mengantisipasi turbulensi. Perangkat tersebut terpasang semester jauhnya di depan sayap pada bagian badan yang mengukur tekanan udara yang menghadang.
Informasi yang diterima sensor diteruskan pada alat kontraturbulensi. Teknik ini mengurangi 80 persen guncangan akibat turbulensi. “Ibaratnya kopi anda tidak akan tumpah lagi dalam penerbangan. Kami tidak mengurangi turbulensi, melainkan mencegah terjadinya turbulensi,” kata Galffy.
Pada kondisi tanpa alat anti turbulensi, pilot biasanya mengangkat pesawat untuk mencegah tekanan udara mendorong turun ke bawah. Cara tersebut akan menimbulkan guncangan ringan hingga berat.
Baca juga: Memahami ”Clear-Air Turbulence” dan Bahayanya dari Sudut Pandang Pilot
Teknologi yang diperkenalkan Turbulence Solutions saat ini baru digunakan pada pesawat ringan. Namun, sasaran utamanya adalah mengembangkan teknologi tersebut untuk pesawat-pesawat kecil yang tidak bisa terbang tinggi seperti pesawat berbadan lebar. Karena tidak bisa terbang tinggi, pesawat kecil lebih rentan terkena turbulensi karena lebih sering terjadi pada ketinggian rendah.
Meski demikian, Galffy mengatakan, pihaknya juga mengembangkan teknologi serupa untuk pesawat jet penumpang badan besar di sekitar tahun 2030. "Maskapai penerbangan sangat berminat pada teknologi ini demi kenyamanan penumpang," ujarnya.
Beberapa tahun lalu, riset fokus mengembangkan pesawat yang bisa menghemat bahan bakar. Seiring peningkatan turbulensi, maskapai dan pihak terkait fokus mencari cara menghadapinya. ”Kami berharap dapat menyediakan teknologi bebas turbulensi bagi dunia penerbangan,” kata Galffy.
Paul Williams dari tim University of Readings menyebut, berbagai teknologi terus dikembangkan untuk mengurangi dampak turbulensi. Ikhtiar Turbulence Solutions bisa salah satu temuan penting untuk penguatan pesawat
Meski demikian, ada beberapa kendala sebelum penumpang pesawat terbang dapat menikmati penerbangan mulus tanpa guncangan. Salah satunya yaitu kemampuan struktur pesawat yang ada saat ini untuk diperlengkapi alat anti turbulensi. Pertanyaan lain adalah seberapa kuat alat tersebut mampu menghadapi kekuatan turbulensi. (AFP/REUTERS)