Hamas-Fatah Bertemu di China, Pemerintahan Persatuan Palestina Semakin Berpeluang Terbentuk
Peluang rekonsiliasi faksi-faksi Palestina membesar, sementara dukungan penghentian Perang Gaza terus meluas.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
BEIJING, SABTU — Perwakilan Hamas dan Fatah siap berunding di China. Mereka tiba di China dengan peluang membahas pemerintahan persatuan Palestina.
Anggota Biro Politik Hamas Khalil al-Hayya mengatakan, Hamas telah menerima tanggapan Israel soal proposal gencatan senjata. Proposal itu dikirimkan Hamas ke Israel melalui Mesir dan Qatar pada 13 April 2024. ”Kami sedang mempelajarinya,” kata Al-Hayya, Sabtu (27/4/2024).
Sebelumnya, Al-Hayya menyatakan, Hamas siap membentuk pemerintahan persatuan Palestina. Hamas juga siap meletakkan senjata dan menerima Palestina merdeka dengan wilayah sesuai dengan kondisi 1967.
Sejak 2017, Hamas beberapa kali menyatakan siap menerima Palestina merdeka dengan wilayah sesuai dengan kondisi 1967 dan bukan sebelum 1948. Dengan kata lain, secara tidak langsung, Hamas mau mengakui Israel. Sebab, Israel diproklamasikan pada 1948, lalu menempati sebagian wilayah mandat Palestina.
Sementara itu, Moussa Abu Marzouk memimpin delegasi Hamas menuju China pada Sabtu dini hari. Adapun Azzam al-Ahmed memimpin delegasi Fatah ke China. Menurut Reuters, mereka akan merundingkan teknis pembentukan pemerintahan persatuan Palestina. Lokasi dan waktu pasti pertemuan tidak diungkap.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin tidak menampik atau membenarkan rencana pertemuan itu. ”Kami mendukung penguatan kewenangan Otoritas Nasional Palestina dan mendukung semua faksi Palestina mencapai rekonsiliasi,” ujarnya.
Hal yang jelas, Utusan Khusus China Wang Kejian telah menemui Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh. Dalam pertemuan di Qatar pada 19 Maret 2024 itu, Haniyeh menyampaikan kepada Wang bahwa perang harus berakhir.
Perluasan dukungan
Dari Australia dan Eropa dilaporkan, dukungan sivitas akademika pada penghentian Perang Gaza terus meluas. Di Sydney dan Melbourne, mahasiswa sejumlah universitas membuat tenda solidaritas untuk menuntut penghentian Perang Gaza.
Mahasiswi University of Sydney, Yasmine Johnson, menyebut bahwa pengunjuk rasa antara lain meminta pengelola universitas berhenti menginvestasikan dana abadi ke Israel. Investasi itu dipandang salah satu modal Israel untuk terus menduduki serta menyebu Tepi Barat dan Gaza.
Sementara di Paris, pengunjuk rasa menduduki Science Po. Universitas elite Perancis itu diguncang unjuk rasa penolak Perang Gaza sejak beberapa hari lalu. Para pengunjuk rasa mendirikan tenda di lapangan utama universitas berusia 1,5 abad tersebut.
Seperti di Australia, pengunjuk rasa di Science Po juga menuntut divestasi dana kampus dari Israel. Menurut rektorat Science Po, pengunjuk rasa dan rektorat serta dekanat sepakat melanjutkan pembahasan divestasi itu secara akademis.
Rektorat dan dekanat juga setuju membatalkan semua rencana sanksi ataupun sanksi yang telah dijatuhkan kepada para peserta unjuk rasa. Rektor Science Po Jean Basseres membuat pernyataan tertulis soal itu.
Kesepakatan dan janji itu membuat pengunjuk rasa di Science Po berangsur membubarkan diri. Sementara di sejumlah universitas lain di Perancis, unjuk rasa masih berlangsung.
Para mahasiswa sejumlah universitas Jerman juga berunjuk rasa. Mereka memprotes dukungan penuh Jerman kepada Israel. Dukungan itu salah satu penyebab Perang Gaza terus berlangsung.
Ancaman univesitas
Di George Washington University (GWU) di Amerika Serikat, sejumlah mahasiswa pengunjuk rasa menerima ancaman dari rektorat dan dekanat. Jika terus ikut berunjuk rasa, nilai sejumlah mata kuliah akan dibatalkan. Sebagian malah diancam dikeluarkan dari asrama universitas.
Ancaman itu membuat sejumlah pengunjuk rasa meninggalkan lokasi demonstrasi. Sementara sebagian mahasiswa, bersama sejumlah dosen GWU, tetap berunjuk rasa. Mereka menuntut divestasi dana abadi kampus dari berbagai lembaga Israel.
Adapun Senat Columbia University meminta keterangan Rektor Columbia University Nemat Minouche Shafik. Senat tidak bisa menerima keputusan Shafik memanggil polisi untuk membubarkan unjuk rasa penolak Perang Gaza.
Keputusan itu dinilai sebagai bentuk pemberangusan kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat. Rektorat Columbia University dinyatakan tidak menghormati tata kelola dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan di kampus.
Serbuan polisi ke kampus juga terjadi di University of Colorado. Polisi menangkap para pengunjuk rasa yang meminta kampus menarik investasi dari berbagai lembaga Israel. Pengunjuk rasa juga mendesak Perang Gaza diakhiri. (AFP/REUTERS/AP)