Penghancuran Buku di Gaza, Penghancuran Budaya Palestina
Serangan Israel menarget sejumlah perpustakaan dan pusat kebudayaan Gaza mengulang genosida budaya Nazi di masa lalu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
Jauh dari perhatian orang banyak, sedikitnya 13 perpustakaan di Gaza hancur akibat serangan Israel. Beberapa di antaranya Perpustakaan Masjid Agung Omari, Perpustakaan Kota Gaza, dan Pusat Kebudayaan El Shawa. Buku-buku bersejarah musnah bersama para pustakawan dan pengarsip yang menjaganya.
Pemerintah Gaza menyebut, pesawat tempur Israel sengaja menarget pusat-pusat kebudayaan, bangunan bersejarah, sekolah, dan universitas untuk menghapus ingatan serta ikatan Bangsa Palestina. Israel dituding melakukan kejahatan perang dan genosida budaya.
Fernando Baez, dalam bukunya, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, memandang tujuan pemusnahan buku adalah menghapuskan warisan dan gagasan suatu kebudayaan secara keseluruhan. Cara ini telah dilakukan sejak masa Sumeria Kuno, 4.000 tahun sebelum Masehi.
Dengan menghancurkan buku, Israel mengulangi tindakan yang pernah dilakukan Nazi. Pada 10 Mei 1933, mahasiswa sejumlah kampus di Jerman membakar 25.000 buku yang tidak sesuai paham Nazi. Aksi ini menjadi awal dari serangkaian penghancuran buku oleh rezim Nazi.
Edward Said, kritikus sastra asal Palestina dan profesor di Columbia University, melihat penindasan terhadap Palestina sebagai sebuah ironi besar. Israel, korban antisemit dan Holocaust, kini berbalik menjadi pemangsa Palestina. Palestina menjadi korban dari korban.
Selain menghancurkan sejumlah pusat kebudayaan di Gaza, Israel juga berusaha membungkam kebenaran dengan mengincar jurnalis. Data dari Committee to Protect Journalists (CPJ) menunjukkan sedikitnya 90 jurnalis Palestina terbunuh. Dibanding konflik lain, perang Israel-Hamas pada 7 Oktober-31 Desember 2023 merupakan periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada 1992.
Penyair Gaza dan penulis The New Yorker, Mosab Abu Toha, disiksa dan ditelanjangi tentara Israel saat akan mengungsi ke Mesir pada 19 November 2023. Toha mendirikan Perpustakaan Edward Said untuk menyediakan bacaan berbahasa Inggris bagi warga Gaza pada 2017.
”Kemerdekaan ada di dalam pikiran. Buku membuat Anda bisa membebaskan diri dengan hidup di dunia imajinasi yang tidak ada batasnya. Saya memilih merdeka lewat tulisan dan perkataan,” kata Abu Toha kepada Al Jazeera.
Sastra memiliki tempat yang istimewa bagi warga Palestina. Banyak orang terinspirasi sajak berjudul Jika Aku Mati yang ditulis Refaat Alareer pada 2011. Alareer yang juga mengajar Sastra Inggris di Islamic University of Gaza terbunuh serangan udara Israel pada 6 Desember 2023.
”Jika nanti aku mati/engkau harus tetap hidup/untuk menceritakan kisahku,” pesan terakhir Alareer lewat sajaknya.
Warga di Gaza dan sejumlah kota di AS menerbangkan layang-layang putih sebagai penghormatan kepada sang penyair. Layang-layang itu juga menjadi simbol harapan dan pesan damai agar perang segera berakhir.
”Lihatlah layang-layang yang engkau buat, terbang tinggi di langit/berharap ada malaikat di atas sana/saat pulang nanti menyemai kasih,” sajak Alareer mengajak warga Gaza tidak putus berharap.