Demokrasi memiliki kekurangan, tetapi rasanya hanya sistem itu yang memastikan rakyat dapat berpartisipasi.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO
·3 menit baca
Sebagian besar negara di dunia menerapkan sistem demokrasi dalam mengelola politik domestik mereka. Tentu saja, derajatnya berbeda-beda. Sejumlah lembaga mengeluarkan ukuran untuk melihat derajat demokrasi tersebut. Salah satunya adalah Indeks Demokrasi yang dikeluarkan Economic Intelligent Units atau EIU. Hasil pengukuran terbaru dapat dilihat pada Indeks Demokrasi EIU 2023 yang melihat status negaarnegara sepanjang tahun lalu.
Pengukuran Indeks Demokrasi EIU 2023 meliputi dimensi-dimensi dalam sistem demokrasi. Ada lima dimensi yang diukur: (1) proses pemilu dan pluralisme; (2) berfungsinya pemerintahan; (3) partisipasi politik; (4) budaya politik; (5) dan kebebasan sipil. Nilai total diperoleh dengan menjumlahkan skor dari tiap dimensi, lalu dibagi lima.
Nilai total itu digunakan untuk menempatkan negara-negara ke dalam empat tingkatan, yakni demokrasi penuh (skor lebih dari 8); demokrasi cacat (lebih dari 6 hingga sama dengan 8); rezim hibrida (lebih dari 4 hingga 6); serta rezim otoriter (kurang dari atau sama dengan 4).
Norwegia berada di rangking pertama dengan skor 9,81. Indonesia berada di urutan ke-56 dengan skor 6,53. Rangking Indonesia menurun dua tingkat dibandingkan tahun 2022. Dengan nilai 6,53, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy).
Ada berbagai pendapat mengenai Indeks Demokrasi EIU dan indeks-indeks lain. Pendapat itu bisa berupa kritik ataupun dukungan. Meski demikian, upaya itu rasanya tetap perlu diapresiasi.
Indeks Demokrasi EIU 2023 berusaha melihat penerapan demokrasi di sebuah negara secara luas. Demokrasi, pertama-tama, tidak cukup hanya dilihat berdasarkan pelaksanaan pemilu, tetapi juga harus berdasarkan budaya politik.
Budaya politik penting bagi legitimasi dan keberlanjutan demokrasi. Budaya pasif dan apatis tak sejalan dengan demokrasi. Di sisi lain, mengingat proses pemilu secara berkala ”membelah” masyarakat menjadi pemenang dan pecundang, diperlukan budaya demokrasi yang kuat, yakni kesediaan partai yang kalah bersama pendukungnya untuk menerima hasil pemilu (Economist Intelligence, Democracy Index 2023: Age of Conflict).
Secara intrinsik, tak mudah membangun demokrasi dan membuatnya diterima secara luas oleh masyarakat. Ada tiga paradoks yang secara ”alamiah” terpasang di dalam sistem demokrasi. Paradoks-paradoks ini membuat penerapan demokrasi menghadapi tantangan (Larry Diamond, ”Three Paradoxes of Democracy”, Journal of Democracy, 1990)
Paradoks pertama ialah konflik versus konsensus (conflict vs consensus). Dalam paradoks ini, ada ketegangan di dalam sistem demokrasi karena demokrasi tak hanya harus membangun kompetisi di antara kekuatan politik (partai), tetapi juga harus menciptakan konsensus. Seberapa jauh kompetisi berlangsung dan di titik mana, konsensus dikedepankan.
Paradoks kedua adalah keterwakilan versus kemampuan memerintah (representativeness vs governability). Dalam paradoks ini ada tarik-menarik antara menghimpun sebanyak mungkin perwakilan kekuatan politik masyarakat (partai) dan jalannya pemerintahan. Demokrasi harus mencerminkan keterwakilan, tetapi tingkat keterwakilan yang terlalu tinggi dapat membuat pemerintahan tidak berdaya.
Paradoks ketiga berkaitan dengan persetujuan versus efektivitas (consent vs effectiveness). Paradoks ini terjadi karena demokrasi mensyaratkan persetujuan dari orang yang diperintah (rakyat). Di sisi lain, pemerintahan yang efektif tak bisa terus-terusan meminta persetujuan. Jika pemerintahan dinilai tidak efektif, rakyat akan lelah dengan demokrasi. Sistem otoriter bisa dilihat sebagai solusi.
Tahun ini, negara berpenduduk besar, India dan Amerika Serikat, menggelar pemilu. Beberapa bulan lalu, Indonesia mengadakan pemilu legsilatif serta pemilihan presiden. Upaya membangun koalisi yang dilakukan pemenang bisa dilihat sebagai langkah memastikan pemerintahan mendatang efektif. Pertanyaannya, seberapa banyak partai seharusnya diikutkan dalam koalisi pemerintah agar check and balances dapat tetap terwujud?
Demokrasi memiliki kekurangan, tetapi rasanya hanya sistem itu yang memastikan rakyat dapat berpartisipasi.