Hantu Jiji dan Cara Taiwan Berdamai dengan Gempa
Taiwan punya sistem terbaik dalam mitigasi bencana gempa. Sistem ini mencegah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar.
Warga Taiwan masih merasakan kengerian saat teringat gempa di Nantou, 25 tahun silam, yang merenggut ribuan nyawa. Namun, kenangan pahit itu pula yang melecut otoritas di wilayah tersebut menjadi salah satu yang terdepan soal mitigasi bencana gempa.
”Ada gempa superbesar. Mirip (gempa) 21 September 1999,” demikian pesan masuk lewat aplikasi messenger di telepon genggam Laraswati Ariadne Anwar, wartawati Kompas, Rabu (3/4/2024) pagi.
Pesan itu datang dari suaminya, Fengsheng Su (43), yang sedang berada di Taipei, Taiwan. Adapun Ariadne, yang akrab disapa Dane, tinggal di Jakarta. Dane pernah tinggal di Taichung pada 2008-2013 untuk menamatkan S-2 di National Chung Hsing University (NCHU).
Rabu pagi itu, Taiwan diguncang gempa bermagnitudo 7,2. Pusat gempa diketahui berada di Hualien, sekitar 120 kilometer dari Taipei. Hingga pukul 19.00 WIB, tercatat sembilan orang tewas dan lebih dari 900 orang luka-luka.
Baca juga: Taiwan Terguncang Gempa Terbesar dalam 25 Tahun
Saat gempa mengguncang, Su sedang bersiap berangkat kerja dari apartemennya di kawasan Neihu. Menurut dia, guncangan tersebut amat kuat dan berlangsung selama beberapa detik.
Meski demikian, Su tidak panik dan menelepon Dane untuk mengabarkan bahwa semua dalam keadaan baik. Setelah itu, ia berangkat kerja dan melanjutkan aktivitas seperti biasa.
Dane mengatakan, orang Taiwan memang sudah ”kenyang” diguncang gempa. Saat tinggal di Taichung dulu, ia hampir setiap bulan merasakan apartemennya di lantai 16 bergoyang sampai mengayun karena gempa.
Taiwan terletak di zona cincin api, garis patahan seismik yang mengelilingi Samudra Pasifik. Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), sejak 1980, Taiwan telah diguncang sekitar 2.000 kali gempa bermagnitudo di atas 4,0. Pada gempa kali ini, USGS mencatat bermagnitudo 7,4.
”Orang Taiwan nyantai aja karena udah kenyang gempa. Tapi, untuk orang yang belum biasa, pendatang seperti aku, (gempa) itu bikin trauma,” kata Dane.
Baca juga: Cerita Mahasiswa Indonesia tentang Detik-detik Gempa Besar Mengguncang Taiwan
Douglas Aspinall (43), warga negara Belize yang sedang menempuh studi biologi jenjang S-3 di NCHU, Taichung, merasakan hal serupa dengan Dane. Jarak antara Taichung dan pusat gempa di Hualien sekitar 90 kilometer.
”Perasaan kami sangat terguncang,” ujar Aspinall seusai mengalami gempa terbesar selama tinggal sekitar lima tahun di Taiwan.
Gempa kali ini merupakan yang terparah di Taiwan dalam 25 tahun terakhir. Sebelumnya, pada 21 September 1999, gempa bermagnitudo 7,6 mengguncang Nantou. Bencana itu mengakibatkan lebih dari 2.400 orang tewas dan 100.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Baca juga: Gempa Taiwan Dipicu Salah Satu Sesar Paling Aktif di Dunia
Bencana di Nantou dikenal warga sebagai gempa ”chi-chi” atau ”jiji”. Pada 2002, Pemerintah Taiwan membangun museum taman bumi untuk mengedukasi warga tentang patahan Chelungpu yang menjadi penyebab gempa jiji.
Mitigasi terbaik
Seismolog dan Guru Besar di Missouri University of Science and Technology, Stephen Gao, mengatakan, kesiapan Taiwan menghadapi gempa merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Mereka menerapkan regulasi bangunan yang ketat, sistem peringatan dini mumpuni, dan telah melakukan sosialisasi mitigasi secara masif.
”Langkah-langkah mitigasi bencana itu telah berkontribusi secara signifikan mengurangi kerusakan dan korban jiwa akibat gempa,” kata Gao.
Sejak 1974, gedung-gedung di Taiwan dibangun dengan menerapkan persyaratan tahan gempa (seismic force requirements/SFR). Regulasi itu beberapa kali ditingkatkan pada 1980-an dan 1990-an. Kemudian, tiga bulan setelah gempa jiji, pemerintah juga menambahkan larangan membangun gedung di jalur patahan.
”Setahu aku, gedung-gedung tinggi yang dibangun di atas tahun 1999 lebih tahan gempa. Gedung yang roboh kena gempa biasanya bangunan-bangunan tua,” kata Dane.
Teknologi tahan gempa di Taiwan salah satunya diterapkan di menara Taipei 101 yang tingginya mencapai 508 meter. Bangunan itu memiliki bola besi seberat 660 ton yang digantung di antara lantai 92 dan 87.
Bola pendulum yang dikenal sebagai tuned mass damper itu berfungsi meredam guncangan gempa. Gerakan pendulum yang berlawanan dengan arah guncangan gempa akan menjaga gedung pencakar langit tetap stabil.
Simak juga: Reportase Langsung Gempa Taiwan
Pemerintah Taiwan terus-menerus merevisi level ketahanan bangunan dari gempa yang ditetapkan sebagai persyaratan bagi bangunan baru ataupun yang sudah ada. Hal ini, tentu saja, meningkatkan biaya konstruksi bangunan di sana. Manfaat aturan yang ketat itu baru terasa ketika terjadi gempa-gempa besar seperti saat ini.
Otoritas di Taiwan juga memberikan subsidi bagi warga yang mau memeriksa ulang ketahanan bangunan mereka dari guncangan gempa. Ada ganjaran, tentu ada pula hukuman bagi mereka yang tidak mematuhi aturan.
Pada 2016, gempa melanda wilayah pantai barat laut Taiwan. Kala itu, hanya ada satu gedung yang runtuh, yakni sebuah bangunan berlantai 17, menewaskan puluhan orang. Lima orang yang terlibat dalam pembangunan gedung itu diganjar hukuman penjara karena abai dengan standar ketahanan dari gempa.
Pemerintah Taiwan amat sering memberikan pelatihan mitigasi bencana kepada warga. Latihan-latihan menghadapi gempa digalakkan di sekolah-sekolah dan tempat-tempat kerja.
”Langkah-langkah ini secara signifikan meningkatkan ketangguhan Taiwan menghadapi gempa bumi, membantu upaya mitigasi dalam mengantisipasi kemungkinan dampak buruk dan jatuhnya korban jiwa,” kata Gao.
Selain itu, Taiwan memiliki sistem peringatan dini yang dihubungkan penyedia layanan telekomunikasi ke telepon genggam warga. Media dan pengelola jaringan telepon seluler secara rutin mengirimkan peringatan dan skenario penyelamatan saat terjadi gempa.
Menurut Dane, sistem peringatan dini berfungsi memandu warga saat terjadi bencana. ”Kalau ada gempa gede, aplikasi itu bakal nyuruh orang keluar rumah dan nunjukin lokasi aman buat evakuasi,” ucap Dane. (AP)