Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir menjadi alternatif pemenuhan energi bersih. Rusia mengembangkannya di sejumlah negara.
Oleh
B JOSIE SUSILO DARI MOSKWA, RUSIA
·3 menit baca
Salinan foto ahli fisika Amerika Serikat, J. Robert Oppenheimer tergantung pada seutas tali. Bersama dengan sejumlah salinan foto dan dokumen rahasia lain, foto Oppenheimer – pencipta bom atom – itu mengisi ruang “intelijen”, ATOM Pavillion, Moskwa, Kamis (28/3/2024). ATOM Pavillion adalah museum teknologi nuklir Rusia. Gedung modern berlantai 4, satu di atas permukaan tanah, dan tiga di bawah permukaan tanah itu menampilkan sejarah pengembangan teknologi nuklir Rusia baik untuk tujuan militer maupun tujuan damai.
Kembali kepada sejarah, sebelum temuan Oppenheimer diuji coba untuk pertama kalinya pada 16 Juli 1945 di Alamogordo, New Mexico, AS, Rusia – kala itu Uni Soviet – telah memulai kajian fisika nuklir pada paruh pertama abad ke-20. Merujuk laman resmi Badan Usaha Milik Negara Rusia yang bergerak di bidang energi nuklir, Rosatom, disebutkan, kajian awal itu ditandai dengan pendirian Laboratorium Radium (Institut Radium Khlopin) pada tahun 1921.
Selanjutnya, sejak awal era 1930an, salah satunya ditandai dengan Konferensi Nasional Fisika Nuklir ke-1 di Leningrad pada tahun 1933, kajian nuklir Soviet terus berkembang. Pada tahun 1939, para ahli fisika Soviet seperti Yakov Zeldovich, Yuliy Khariton dan Alexander Leypunsky membuktikan bahwa reaksi berantai fisi nuklir pada uranium dapat terjadi. Pada tahun 1940, Konstantin Petrzhak dan Georgiy Flyorov, peneliti di Institut Radium, menemukan fisi spontan inti berat (tanpa pemboman neutron), sebagaimana terjadi pada uranium.
Selepas Perang Dunia II dan memasuki era Perang Dingin, AS dan Soviet pun berpacu dalam perlombaan senjata, tak terkecuali senjata nuklir. Beragam arsenal strategis, termasuk rudal balistik antarbenua dibuat.
Dunia pun dibayangi kengerian. Bahkan hingga saat ini, ketika sejumlah negara seperti Korea Utara, Iran, dan China terus mengembangkan senjata serupa. Sejauh ini, belum ada satu pun negara berniat menjadi yang pertama menekan tombol pemicu senjata strategis itu. Bahkan, selepas Perang Dingin sejumlah negara khususnya AS dan Rusia meneken kesepakatan pengurangan hulu ledak nuklir. Arsenal mematikan itu akhirnya menjadi alat untuk meningkatkan daya tawar.
Tujuan damai
Akan tetapi, seperti dua sisi mata uang, selain memiliki dampak memusnahkan, energi nuklir juga menjadi jawaban atas kebutuhan energi dunia, khususnya energi bersih. Rusia, lewat Rosatom yang didirikan pada tahun 2007, menjadi salah satu pemain kunci.
Kehadiran Rosatom membuka peluang baru bagi Rusia untuk mengembangkan lebih lanjut teknologi tenaga nuklir dan ilmu pengetahuan serta perluasan jangkauannya hingga ke luar negeri. ROSATOM, saat ini, merupakan pemimpin global dalam bidang teknologi nuklir, baik untuk menghasilkan listrik hingga pengobatan.
Oleh Rusia, teknologi nuklir yang awalnya hadir dalam bentuk mengancam, kini dikembangkan menjadi sarana untuk menjawab kebutuhan manusia pada energi dan kesehatan. Di sisi lain, ekspor teknologi nuklir – dalam bentuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir – menjadi sarana bagi Rusia untuk memperkuat kerja sama antarnegara.
Saat ini, Rusia – melalui Rosatom – tengah mengembangkan PLTN di Bangladesh. Merujuk Aljazeera, Bangladesh telah menerima pengiriman bahan bakar uranium pertama dari Rusia untuk proyek senilai 12,65 miliar dollar AS itu. Moskwa turut mendanai, hingga 90 persen, proyek PLTN pertama Bangladesh di Rooppur. Dana pinjaman dari Rusia itu dapat dilunasi dalam waktu 28 tahun dengan masa tenggang 10 tahun.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA), turut mengawasi pengembangan proyek yang secara bilateral disepakati pada tahun 2011 itu. “Bangladesh merupakan kisah sukses bagi negara-negara pendatang baru dalam pengembangan tenaga nuklir, yang memajukan programnya di bawah panduan IAEA,” kata Sekjen IAEA Rafael Mariano Grossi kala itu, Kamis (5/10/2023).
Selain di Bangladesh, Rosatom juga terlibat dalam pengembangan PLTN di Turki. Merujuk Kantor Berita TASS, Rosatom terlibat dalam pembangunan PLTN Akkuyu, Turki. Total investasi Rusia dalam proyek itu mencapai angka 24 miliar dollar AS. Proyek PLTN Akkuyu ditandatangani oleh Rusia-Turki pada 12 Mei 2010. PLTN itu akan memiliki empat unit reaktor generasi 3+ yang sepenuhnya dirancang oleh Rusia. Masing-masing reaktor akan menghasilkan daya hingga 1.200 Megawatt. Nantinya setelah mencapai kapasitas penuh, PLTN itu akan menghasilkan 35 miliar kwh per tahun dan memenuhi 10 persen kebutuhan listrik Turki.
Selain di Bangladesh dan Mesir, Rosatom juga terlibat dalam pembangunan PLTN senilai 25 miliar dollar AS di Mesir. Merujuk World Nuclear News, Rosatom terlibat pula dalam pengembangan infrastruktur nuklir – reaktor modular kecil atau Small Modular Reactor – di Myanmar. Selain itu, Rosatom juga bekerja sama dengan Hongaria, China dan India mengembangkan PLTN di masing-masing negara.
Dalam perhelatan Atomexpo 2024 lalu, sejumlah negara Afrika juga memperlihatkan ketertarikannya untuk menjalin kerja sama dengan Rusia. Pascapandemi Covid-19, dunia kini berpacu menggenjot kinerja ekonomi. Kebutuhan energi meningkat, sementara komitmen untuk memenuhi target nol emisi terus mengejar. Sejumlah ahli Rosatom menyebutkan, reaktor nuklir sebagaimana yang dikembangkan Rusia, selain mampu menghasilkan listrik dalam jumlah besar, juga dapat “menahan” emisi karbon hingga 16 juta ton per tahun.
“Energi bersih atau energi terbarukan, menjadi masa depan kita bersama. Ada dua kata kunci terkait hal itu, yaitu masa depan dan bersama,” tegasDirektur Jenderal Rosatom Alexey Likhachev, Senin (25/3/2024) lalu saat membuka Atomexpo 2024 di Sochi. “Dalam hal ini saya berbicara tentang pengembangan generasi keempat teknologi fusi nuklir dan kontribusi beragam teknologi baru yang menunjang sektor energi nuklir. Kita hanya dapat mencapainya dengan kerja bersama oleh banyak negara. Di mana kita bersama-sama dapat mengembangkan sumber energi bersih dan efisien,” kata Alexey.
Berbicara setelah Alexey, Grossi mengapresiasi peran Rusia – khususnya Rosatom – dalam upaya menjawab kebutuhan energi dunia. “Dalam konteks tersebut, saya mengapresiasi peran penting Rosatom, tidak hanya bagi Rusia, tetapi juga untuk dunia,” kata Grossi.
Terkait pemenuhan kebutuhan energi bersih itu, akankah Indonesia menyusul langkah Turki, Mesir, China, Bangladesh, dan Myanmar?