Mobil Listrik Xiaomi dan Ambisi China Menyalip Barat
Mobil listrik Xiaomi diklaim lebih kencang dari Tesla dan Porsche. Cermin ambisi China menyalip industri otomotif Barat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BEIJING, KAMIS — Xiaomi, perusahaan teknologi raksasa asal China, merilis mobil listrik yang diklaim bisa berakselerasi lebih kencang dari Tesla dan Porsche. Hal itu menjadi cermin ambisi China yang ingin menyaingi industri mobil listrik Amerika Serikat dan Eropa.
Mobil listrik Xiaomi yang dinamai SU7 mulai dapat dipesan di China pada Kamis (28/3/2024). CEO Xiaomi Lei Jun belum mau mengungkap harga SU7 secara pasti. Namun, dia menyebut SU7 akan menjadi mobil listrik terbaik di harga kurang dari 500.000 yuan atau sekitar Rp 1,09 miliar.
SU7, yang namanya diambil dari kependekan speed ultra, diklaim mampu berakselerasi lebih cepat dari Tesla dan Porsche. Sedan itu juga disebut bisa dikendarai sejauh 800 kilometer setiap kali mengisi daya. Sebagai perbandingan, daya jangkau Tesla model S hanya 650 km.
Saat ini, Xiaomi adalah produsen telepon pintar terbesar ketiga di dunia. Menurut Presiden Xiaomi Lu Weibing, ada 20 juta orang yang menggunakan ponsel pintar buatan mereka.
”Saya kira para pembeli (mobil listrik) yang pertama juga akan berasal dari kalangan pengguna ponsel (buatan kami). Itu memang menjadi strategi kami,” kata Weibing.
Pendiri konsultan Sino Auto Insights, Tu Le, menilai, Xiaomi membutuhkan waktu satu atau dua tahun untuk belajar dan mengejar sukses. Pengetahuan teknologi di Xiaomi akan menguntungkan dalam pembuatan perangkat lunak di mobil listrik. Masalahnya, mereka masih harus belajar menjadi perusahaan otomotif yang sesungguhnya.
CreditSights, perusahaan riset keuangan, menyatakan, divisi mobil listrik Xiaomi bisa menjual 60.000 mobil pada tahun pertama. Akan tetapi, Xiaomi diperkirakan belum akan mendapat keuntungan pada dua tahun pertama. Sebab, perusahaan itu harus menanggung biaya besar untuk promosi dan pemasaran.
Menurut rencana, mobil listrik Xiaomi akan diproduksi oleh unit di grup BAIC. Perusahaan otomotif milik negara China itu memiliki kapasitas produksi hingga 200.000 kendaraan per tahun.
Beberapa hari sebelum Xiaomi merilis SU7, BYD mengumumkan rekor keuntungan tahunan terbesar. Pada 2023, BYD meraih keuntungan 4,2 miliar dollar AS, meningkat dari tahun sebelumnya 2,3 miliar dollar AS. Hal itu membuat BYD menjadi perusahaan mobil listrik terbesar di dunia, menggeser Tesla.
Dihadang AS dan Eropa
Produksi mobil listrik China yang meningkat secara drastis akhirnya bergesekan dengan kebijakan AS. Washington ingin mendorong perusahaan otomotif AS mendominasi pasar dalam dan luar negeri.
Tidak mudah melakukan itu. Mobil listrik berukuran kecil buatan China biasanya dijual 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 174,5 juta per unit, jauh lebih murah dari produk serupa buatan AS.
Melansir The New York Times, China mengharuskan perusahaan otomotif AS menggunakan software lokal bila ingin memasarkan produknya di negeri itu. Pemerintah AS menyebut hal itu sebagai praktik dagang yang tidak adil.
Lael Brainard, yang mengepalai penasihat ekonomi Presiden AS, menyatakan Pemerintah AS berencana menerapkan peraturan serupa kepada perusahaan otomotif China. Perangkat lunak mobil China disebut bisa terhubung ke ponsel pengguna, juga ke infrastruktur dan kendaraan lain di dekatnya.
Hal itu dikhawatirkan bisa digunakan China mengumpulkan informasi. ”Kami akan terus mencari kebijakan yang tepat agar perusahaan otomotif AS dan pekerja otomotif dalam negeri tetap menjadi yang paling kompetitif di dunia,” kata Brainard.
Situasi geopolitik China-AS yang semakin panas membuat perusahaan mobil listrik China mengincar negara-negara Eropa sebagai pasar utama. Mengutip Financial Times, pasar mobil listrik di Eropa masih dikuasai Tesla, BMW, dan Renault. Namun, mobil dari merek-merek itu diproduksi di China.
Sebelum era mobil listrik, Eropa selalu mengekspor lebih banyak mobil ke China. Situasi kini berubah, dan pembeli mulai meninggalkan mobil buatan Eropa. Merek-merek asal China merebut 8 persen pangsa pasar mobil listrik Eropa.
Hal itu mulai membuat perusahaan otomotif Eropa menjadi resah. Pada Februari 2024, Presiden Asosiasi Pembuat Otomotif Eropa (ACEA) Luca de Meo meminta subsidi dan kebijakan yang lebih berpihak untuk industri mobil listrik Eropa.
Di luar AS dan Eropa, ekspor mobil listrik China bertumbuh jauh lebih cepat dari yang sebelumnya diprediksi pengamat ekonomi dunia. Kini, mobil listrik China mendominasi Asia Tenggara dengan menguasai dua pertiga penjualan. (AP/AFP/REUTERS)