Adaptasi pada UU Deforestasi UE, Cara Taktis Vietnam Memenangi Pasar Eropa
Alih-alih menolak, Vietnam memilih beradaptasi dengan UU Deforestasi Uni Eropa untuk memenangi pasar kopi di Eropa.
Le Van Tam memulai bisnis kopi dari nol. Dia memulainya dengan menanam kopi jenis robusta pada sebidang tanah di luar kota Buon Ma Thuot, wilayah dataran tinggi sekitar 1.300 kilometer selatan Hanoi, Vietnam, sejak tahun 1995. Hampir tiga dekade dia menjalani kegiatan ini sehingga sudah paham seluk-beluk perdagangan kopi global.
Selama bertahun-tahun, Tam memfokuskan diri pada kuantitas, bukan kualitas. Untuk meningkatkan hasil panennya, dia menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah besar.
Mulai tahun 2019, Tam berubah 180 derajat. Pestisida dan bahan-bahan kimia ditinggalkannya. Ia beralih ke produk organik setelah bekerja sama dengan Le Dinh Tu dari Aeroco Coffee, eksportir kopi organik. Sasaran pemasaran kopi mereka adalah Eropa dan Amerika Serikat.
Pengolahan kebun kopinya kini lebih ”hijau” dan berkelanjutan. Kini, kebun kopinya bak hutan meski sinar matahari masih bisa menerobos lebatnya dedaunan dan menyinari tanah di sekeliling tanaman miliknya.
Baca juga: Hancurkan Hutan Lebih Luas dari Kebun Sawit Indonesia, Uni Eropa Usulkan Pemulihan
Pun kebunnya tak melulu ditanami tanaman kopi. Tanaman kopi robusta milik Tam tumbuh berdampingan dengan pohon asam yang mengirimkan nitrogen ke dalam tanah dan memberi dukungan bagi tanaman lada hitam.
Tam mengubah pola pikirnya. Alih-alih menyingkirkan rumput-rumput di sekeliling tanaman kopinya, ia memandang rumput sebagai tanaman yang membantu menjaga kelembaban tanah serta mencegah hama. Tumpang sari yang dijalankannya juga telah menambah penghasilan Tam.
Tam mengatakan, hasil produksi tanaman kopinya tidak meningkat. ”Tapi, nilainya meningkat,” kata Tam.
Masifnya pertanian kopi di Vietnam yang berkembang sejak tahun 1990-an membuat produk ini menyumbang hingga sepersepuluh nilai ekspor Vietnam. Tahun 2000, Vietnam menjadi produsen kopi terbesar kedua di dunia.
UU Deforestasi Eropa
Gonjang-ganjing mengenai penerapan UU Deforestasi yang telah disahkan Uni Eropa (UE) tahun lalu membuat banyak negara resah. Ini karena UE mensyaratkan produk-produk impor pertanian adalah produk yang bersumber atau ditanam di kebun. Dengan kata lain, produk itu tidak dipanen di atas lahan yang diperuntukkan sebagai hutan.
Mulai 30 Desember 2024, berdasarkan UU Deforestasi UE (EUDR), Uni Eropa akan melarang penjualan produk yang dipanen di atas lahan hasil deforestasi ke negara-negara Uni Eropa. Kopi adalah salah satu produk pertanian yang disasar UU itu, bersama dengan kakao, kedelai, kelapa sawit, kayu, karet, hingga hasil ternak.
Mulai 30 Desember 2024, berdasarkan UU Deforestasi UE (EUDR), Uni Eropa akan melarang penjualan produk yang dipanen di atas lahan hasil deforestasi ke negara-negara Uni Eropa.
Menurut undang-undang tersebut, entitas bisnis atau pengusaha perorangan tidak boleh menjual produk mereka ke Eropa jika mereka tidak bisa membuktikan bahwa produk yang dihasilkan tidak terkait dengan penggundulan atau perusakan hutan.
Aturan baru ini berupaya mengurangi risiko pembalakan liar dan perusakan hutan besar-besaran. Untuk menjual produk-produk tersebut di Eropa, perusahaan-perusahaan besar harus memberikan bukti yang menunjukkan bahwa produk-produk tersebut berasal dari lahan yang hutannya belum pernah ditebang sejak tahun 2020. Syarat bagi entitas bisnis perorangan atau kecil dipermudah. Mereka memiliki waktu hingga Juli 2025 untuk menyiapkan segala sesuatunya.
Deforestasi merupakan sumber emisi karbon terbesar kedua setelah bahan bakar fosil. Berdasarkan laporan lembaga Word Wild Fund tahun 2021, Eropa menempati peringkat kedua setelah China dalam jumlah deforestasi yang disebabkan oleh impor pada 2017.
”Jika bisa diterapkan dengan baik, EUDR ini bisa membantu mengurangi deforestasi, terutama jika standar ketat untuk menelusuri asal produk ini menjadi sebuah normal baru,” kata Hellen Bellfield, Direktur Kebijakan Global Canopy.
Baca juga: Uni Eropa Coba Tekan Indonesia lewat EUDR
Namun, potensi kegagalan juga terbuka. Produsen bisa saja mengalihkan penjualan produk mereka yang tidak memenuhi syarat ke negara atau kawasan lain tanpa mengurangi laju deforestasi.
Nasib petani kecil
Potensi lain adalah ribuan petani kecil yang tidak memiliki akses terhadap teknologi dan aturan ini akan terpinggirkan. Bellfield mengatakan, hal ini akhirnya berujung pada kesiapan negara atau entitas bisnis yang lebih besar merespons aturan baru ini.
Dia mengatakan, negara harus membantu para petani kecil dengan membangun sistem nasional untuk memastikan ekspor mereka dapat dilacak. Jika tidak, konsumen di Eropa mungkin akan membeli dari lahan pertanian besar yang dapat membuktikan bahwa mereka telah mematuhinya.
Situasi ini terjadi terhadap para petani kopi Etiopia. Pesanan kopi Etiopia terus menurun. Begitu juga dengan Peru. Di negara Amerika Latin ini, lembaga negaranya tidak memiliki kapasitas untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan mengenai kopi dan kakao yang ditanam di wilayah Amazon Peru. Bahkan, menurut penelitian Amazon Business Alliance dan USAID, sebagian petani bahkan tidak memiliki sertifikat tanah.
Sementara di Vietnam, tantangan yang dihadapi lebih cenderung pada kondisi alam, bukan masalah teknologi ataupun administrasi. ”Akan ada pemenang dan pecundang,” kata Bellfield.
Adaptif atau terempas
Tam dan Tu, mitra ekspornya, telah bersiap-siap menghadapi pemberlakuan aturan itu. Secara bisnis, mereka telah siap dan adaptif. Sekalipun biayanya lebih tinggi, kata Tu, mereka bisa mendapatkan harga yang lebih baik untuk kopi berkualitas tinggi.
”Kami harus memilih kualitas tertinggi. Kalau tidak, kami akan selalu menjadi buruh,” kata Tu sambil menyeruput secangkir kopi kesukaannya di pabrik pengolahan kopi milik perusahaannya yang bersebelahan dengan lahan pertanian Tam.
Baca juga: Larangan Sawit, Bahasa Cinta Uni Eropa atau Politik Dagang?
Di tempat tersebut, puluhan truk mengantre menurunkan buah kopi yang masih merah, baik robusta maupun arabika, yang datang dari perkebunan lain. Di pabrik ini, proses pengeringan hingga produk akhir, biji kopi yang sudah disangrai, dilakukan.
Tu sudah memiliki sertifikat dari lembaga internasional untuk keberlanjutan yang memungkinkannya lolos dari hadangan EUDR. Tapi, menurut David Hadley, Direktur Program Dampak Aturan Preferred by Nature di Kosta Rika, mungkin perlu ada penyesuaian kewajiban administrasi di setiap negara.
Menteri Pertanian Vietnam Le Minh Hoang mengatakan, menghadapi EUDR, para petani Vietnam tidak boleh merugi karena Eropa adalah pasar kopi terbesarnya. Menurut data Pemerintah Vietnam, 40 persen produk kopi Vietnam dikirim ke sejumlah negara Eropa.
Baca juga: Dunia Gagal Atasi Akar Masalah Perubahan Iklim
Upaya untuk menyesuaikan diri dengan aturan kawasan tujuan telah dilakukan jauh hari. Hanya enam minggu setelah EUDR disetujui, pada Juni 2023, Kementerian Pertanian Vietnam mulai berupaya mempersiapkan provinsi-provinsi penghasil kopi untuk menghadapi peralihan tersebut.
Hanya enam minggu setelah EUDR disetujui, pada Juni 2023, Kementerian Pertanian Vietnam mulai berupaya mempersiapkan provinsi-provinsi penghasil kopi untuk menghadapi peralihan tersebut.
Pemerintah Vietnam telah meluncurkan rencana nasional yang mencakup basis data lokasi tanaman kopi dan mekanisme agar informasi tersebut dapat dilacak.
Kementerian Pertanian Vietnam dalam pernyataannya pada Agustus 2023 juga menyebut bahwa mereka telah lama mempromosikan pertanian berkelanjutan. Dalam kacamata mereka, aturan seperti EUDR tidak bisa dihindari. Bahkan, dalam pandangan pemerintah, keberadaan EUDR mempercepat proses transformasi, tidak hanya soal teknologi administrasi pertanian, tetapi juga praktik dalam pertanian agar lebih hijau dan berkelanjutan.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Memastikan setengah juta petani kecil Vietnam mampu mengumpulkan dan menyediakan data sesuai persyaratan EUDR tidak akan mudah. Loan Le dari International Economics Consulting mengatakan, banyak petani akan kesulitan memanfaatkan gawai pintar untuk menentukan koordinat geolokasi kebun-kebun mereka.
Eksportir kecil juga perlu menyiapkan sistem untuk mencegah produk lain yang tidak bersertifikasi bercampur dengan kopi yang telah memenuhi standar persyaratan EUDR, termasuk dokumen yang membuktikan bahwa mereka patuh pada aturan penggunaan lahan nasional Vietnam, perlindungan lingkungan, hingga aturan ketenagakerjaan.
Baca juga: Dunia Sepakati Akselerasi Aksi Iklim Bersama
Ujungnya adalah digitalisasi rantai nilai kopi yang panjang, mulai dari produksi hingga pengumpulan dan pengolahannya, yang bebas dari kesalahan dokumentasi dan pencatatan.
Wajah kontras Brasil-Etiopia
Selain Vietnam, Brasil—produsen kopi terbesar dunia—memiliki kesiapan lebih baik. Bellfield mengatakan, selain karena lahan kopinya jauh dari hutan dan memiliki rantai pasok yang relatif lebih baik, sepertiga petani kopi Brasil sudah memiliki sertifikasi pengolahan kopi berkelanjutan.
Uni Eropa masih memberikan tenggang waktu bagi para petani kecil untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru itu. UE bekerja sama dengan negara-negara yang terimbas aturan itu untuk ”memungkinkan transisi” sambil ”memberikan perhatian khusus” pada kebutuhan petani kecil dan masyarakat adat. Tinjauan pada tahun 2028 juga akan melihat dampaknya terhadap petani kecil.
Sementara Etiopia, negara yang sepertiga pendapatannya berasal dari kopi, tergolong lambat bereaksi. Gizat Worku, Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Etiopia, mengatakan, rencana aksi nasional yang diluncurkan pada Februari 2024 dinilai gagal mengumpulkan data dari jutaan petani kopi kecil dan meneruskannya pada calon pembeli. Sumber daya jadi kendala.
Giza mengatakan, pesanan kopi Etiopia menurun karena keraguan mengenai kemampuan negara tersebut untuk mematuhi EUDR. Beberapa pedagang sedang mempertimbangkan untuk beralih ke pasar lain, seperti Timur Tengah atau China, di mana kopi Etiopia, berkembang pesat. Tapi, tetap saja, memindahkan pasar tidak mudah. ”Peraturan ini akan berdampak luar biasa,” kata Gizat. (AP)