Kisah BJ Habibie dan Pesawat Nasional China C919
Kegigihan China membangun industri pesawat penumpang buatan Comac diawali kekaguman pada pesawat buatan BJ Habibie.
Setelah berjuang sejak 2008, China berhasil meluncurkan pesawat penumpang berkapasitas 190 penumpang, Comac C919, pada 2017. Pesawat ini dibuat oleh perusahaan Zhong Guo Shang Fei (The Commercial Aircraft Corporation of China/Comac). Saat ini, Comac mendapat pesanan hingga 1.000 unit.
Pesawat C919 pertama kali digunakan oleh maskapai China Eastern Airlines. Comac juga mendapat pesanan dari General Electric, Amerika Serikat, yang juga menjadi pemasok sebagian komponen utama C919.
Comac 919 dipromosikan besar-besaran pada ajang pameran dirgantara Singapore Airshow di Singapura, 20-25 Februari 2024. Dalam pameran ini, Comac mendapat pesanan 40 pesawat C919 dari Maskapai Tibet Air dan 10 unit pesawat ARJ21S.
Baca juga: Pesawat Komersial China Siap Saingi Boeing
Pasar Asia Tenggara pun diincar oleh pabrikan pesawat China tersebut. Mereka mengadakan promosi pesawat di lima negara ASEAN.
Kantor berita Xinhua melaporkan, pesawat C919 mengakhiri promosi keliling Asia Tenggara di Bandara Sultan Abdul Azis Shah di Selangor, dekat Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (13/3/2024). Sebelumnya, pesawat tersebut dipamerkan berkeliling ke Jakarta (Indonesia), Hanoi (Vietnam), Vientianne (Laos), dan Phnom Penh (Kamboja). Turut dipamerkan pula dalam hajatan promosi itu, yakni pesawat Comac ARJ21.
Pameran dilakukan secara statis dan dinamis, yaitu diadakan terbang keliling tidak jauh dari Bandara Sultan Abdul Azis Shah, Selangor.
Di Indonesia, maskapai swasta Trans Nusa telah mengoperasikan pesawat buatan Comac jenis ARJ-21-700 sejak 2023. Pesawat dengan kapasitas angkut 95 penumpang tersebut melayani rute penerbangan Jakarta-Bali.
Mengunjungi Indonesia
Sebelum berhasil membuat C919, pada 2007 delegasi ahli dirgantara China—yang kemudian menjadi perintis Comac—berkunjung ke pabrik PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung, Jawa Barat, untuk mempelajari teknologi dirgantara Indonesia. Ketika itu, mereka baru saja menghadiri pameran dirgantara di Melbourne, Australia.
Mereka dipimpin insinyur yang mendesain pesawat tempur J-10 Meng Long–Naga Perkasa—yang menjadi tulang punggung Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China saat ini.
”Kalau kita melihat kokpit C919, jumlah kacanya mirip N250 Gatotkaca. Mereka tertarik melihat purwarupa pesawat N250 di Bandung yang hanya menggunakan empat kaca. Menurut para insinyur Comac, Indonesia berani mengambil langkah menggunakan empat kaca alih-alih enam kaca,” kenang Adi Harsono, mantan ketua Kadin Indonesia di Shanghai yang mendampingi Delegasi Comac ke PTDI tahun 2007, dalam wawancara pada pertengahan Maret 2024.
Baca juga: C919, Jet Komersial Buatan China Terbang Perdana
Penggunaan empat kaca membuat sudut pandang pilot dan kopilot dari kokpit lebih leluasa daripada penggunaan enam kaca. Meski demikian, ada risiko semisal jika terjadi bird strike, yakni burung atau benda tertabrak pesawat di bagian kaca kokpit.
Para insinyur China kagum melihat desain pesawat yang digagas BJ Habibie dan dikerjakan para insinyur Indonesia. Pesawat rancangan Indonesia tahun 1990-an itu sudah mengadopsi teknologi fly by wire, semua serba elektronis. Perangkat buatan Honey Well asal Amerika melengkapi pengembangan pesawat kebanggaan Indonesia yang semasa itu tergolong paling modern untuk era tahun 1990-an.
Menurut Adi Harsono, delegasi Comac mendapati banyak kemiripan peralatan dan mesin-mesin produksi yang digunakan Indonesia dan China. Terlebih, Indonesia pada zaman Presiden Soeharto berhasil mengembangkan industri dirgantara dan mencetak belasan ribu insinyur dan teknisi helikopter serta pesawat terbang.
Para insinyur China kagum melihat desain pesawat yang digagas BJ Habibie dan dikerjakan para insinyur Indonesia.
Mantan Dubes RI untuk China, Soegeng Rahardjo, dalam satu percakapan mengatakan, banyak hal modernisasi China belajar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Untuk kawasan ekonomi khusus seperti Shenzhen dan kota-kota modern saat ini di China yang menjadi motor ekonomi negara itu, misalnya, dibangun dengan mengadopsi daerah ekonomi khusus Indonesia di Batam tahun 1980-an.
”Mereka prinsipnya membangun kerja sama dan tidak melakukan intervensi politik,” kata Soegeng menceritakan cara kerja sama China dengan negara mitra.
Ketika itu sempat muncul gagasan kerja sama RI-China. Apalagi, ada pengalaman dan kapasitas perakitan di PTDI yang juga merakit beberapa bagian pesawat penumpang, salah satunya Airbus.
Berdasar pengalaman ke berbagai tempat, termasuk ke Indonesia, Comac pun memulai riset pesawat penumpang besar China tahun 2008.
Produksi Comac, yang kemudian diberi nama C919, dimulai pada Desember 2011 dengan purwarupa pertama selesai tahun 2015. Dalam laman resmi Comac disebutkan, penerbangan perdana (maiden flight) berhasil dilakukan pada 5 Mei 2017.
Comac C919 dibuat dengan konfigurasi 158 hingga 192 tempat duduk penumpang. Jarak terbang yang dapat ditempuh adalah 4.075 hingga 5.555 kilometer.
Comac mendapat pasokan perlengkapan dari industri dirgantara Amerika Serikat, seperti General Electric, Honey Well untuk avionic dan sistem tenaga tambahan (APU), serta sistem roda pendarat dan pengatur suhu kabin buatan Liebherr.
Dalam situs Modern Airliners disebutkan, Kota Shanghai menjadi pusat rancang bangun C919. Seperti halnya Airbus dan Boeing, berbagai komponen C919 dibuat oleh berbagai perusahaan di seantero China.
Pembuatan sayap, ekor, bilah kemudi, panel, dan rangka sayap, misalnya, dibuat di Kota Xi’an. Adapun sebagian badan pesawat dibuat di Provinsi Jiangxi, sedangkan komponen-komponen tersebut dikirim ke Pabrik Comac di dekat Bandar Pudong, Shanghai.
Sementara mesin atau power plant, yang mengandalkan pasokan dari General Electric, direncanakan diganti dengan mesin buatan dalam negeri yang kemungkinan diambil dari riset mesin jet tipe CJ1000. Proyek mesin jet China itu dikerjakan dalam kurun 2021-2025. Diperkirakan waktu total riset adalah 15 tahun.
Kemandirian menjadi kata kunci pengembangan jet China. Setelah diproduksi dan diikuti promosi besar-besaran, pesawat China digadang mengisi persaingan duopoli jet penumpang kelas menengah Boeing 737 dan Airbus A320.
Kunjungan balasan Habibie
Kembali ke kunjungan delegasi Comac ke Bandung tahun 2007. Kunjungan itu dibalas dengan kunjungan Presiden BJ Habibie ke pabrik Comac di Shanghai, China, pada suatu petang pada September 2013. Saat itu, Presiden Habibie mengagumi purwarupa C919.
Dalam pidato berbahasa Inggris di hadapan para eksekutif dan teknisi Comac, Habibie berpesan bahwa membuat pesawat nasional harus ada dukungan pemerintah yang kuat dan biaya besar. Sebab, tidak mudah menjalankan proyek dirgantara dan butuh kehati-hatian.
Adi Harsono mengatur kunjungan tersebut seusai peluncuran buku biografi Habibie dalam bahasa Mandarin di Beijing, China. Adi menuturkan, Habibie saat itu mengatakan bahwa proyek pesawat nasional Indonesia dibunuh lembaga keuangan dunia seiring krisis tahun 1997-1998. ”They killed my project,” kata Habibie di hadapan para pekerja Comac.
Habibie menceritakan, bagaimana 16.000 teknisi dirgantara Indonesia akhirnya tercerai-berai karena berbagai proyek industri dirgantara terhenti.
Baca juga: Boeing dan Comac China Banjir Pesanan di Singapore Airshow
Menurut Adi, apa yang dikatakan BJ Habibie itu benar. Tidak mudah membangun industri dirgantara. Walau sudah menyerahkan beberapa unit pesanan ke Maskapai China Eastern, kini Comac masih harus mengejar penyelesaian pesanan.
Adi Harsono menduga, lambatnya penyelesaian pesanan tidak terlepas dari tindakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melancarkan perang dagang sejak 2017 sehingga mengganggu rantai pasokan industri China. Sebagai gambaran, mesin dan perlengkapan elektronis C919 diimpor dari General Electric dan Honey Well, AS.
Sejauh ini, kapasitas produksi pabrikan Comac untuk varian C919 adalah 52 unit tiap tahun. Menurut Adi, hal itu membuka peluang untuk kerja sama perakitan C919 di PTDI Bandung demi memperbanyak kemampuan produksi Comac tiap tahun.
”Sangat menarik kalau di badan pesawat C919 ada bendera China dan bendera Indonesia. Sama seperti di pesawat Airbus ada gambar bendera-bendera negara Uni Eropa yang terlibat proyek Airbus,” ujar Adi.
Melihat kegigihan China dalam membangun industri dirgantara dan adanya pengalaman Indonesia lewat PTDI, tentunya ini peluang saling berbagi keuntungan melalui kerja sama kedua negara.