Di Rusia, Hamas-Fatah Bahas Pemerintahan Persatuan Palestina
Analis meyakini dialog yang difasilitasi Kremlin tidak akan efektif. Perbedaan pandangan antarfaksi besar.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Kremlin menjadi tuan rumah pertemuan beberapa kelompok politik Palestina, termasuk Hamas dan Fatah, yang dimulai pada Kamis (29/2/2024). Pertemuan itu untuk membahas pembentukan pemerintahan persatuan Palestina dan rencana pembangunan kembali Gaza pascaperang.
Beberapa pekan terakhir, mengutip kantor berita Rusia, TASS, Pemerintah Rusia mencoba mengintensifkan posisinya sebagai penengah konflik di Gaza antara Hamas dan Israel. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov mengonfirmasi, pertemuan itu memang direncanakan dan berlangsung setidaknya hingga akhir pekan ini.
Laporan media Jerman, Deutsche Welle, menyebut, Rusia tak hanya mengundang Hamas dan Fatah. Mereka juga mengundang beberapa faksi lain, seperti Jihad Islam dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), untuk berdialog.
”Tujuan Moskwa adalah membantu berbagai kekuatan Palestina agar sepakat menyatukan barisan secara politik,” kata Bogdanov, dikutip dari laman kantor berita Turki, Anadolu. Rusia juga punya kepentingan karena tiga warganya termasuk dalam sandera Hamas.
Pertemuan ini menyusul gonjang-ganjing politik internal Palestina setelah mundurnya Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh, Senin (26/2/2024). Beberapa pihak menilai mundurnya Shtayyeh sebagai bagian dari tekanan Washington yang ingin mengubah wajah pemerintahan di Palestina, termasuk potensi menghilangkan peran Hamas atau kelompok perlawanan di tubuh pemerintahan baru.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki, Rabu (28/2/2024), mengatakan, Hamas harus memahami perlunya membentuk pemerintahan teknokratis baru di wilayah Palestina daripada koalisi yang mengakomodasi semua kelompok. Dia meyakini, para petinggi Hamas bisa memahami hal itu. ”Saat ini bukan waktunya untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional,” katanya di Geneva, Swiss.
Itulah mengapa saya pikir Hamas harus memahami hal ini dan saya yakin mereka mendukung gagasan pembentukan pemerintahan teknokratis.
Dia menambahkan, jika Hamas masih memaksa terlibat dalam pemerintahan baru, potensi boikot terhadap pemerintahan Palestina tersebut akan sangat besar. Hal ini berpotensi pada berkurangnya keterlibatan sejumlah negara dalam proses pembangunan kembali Gaza dan wilayah Palestina lainnya.
Maliki, yang berada di Geneva untuk menghadiri pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mengatakan, hal terpenting saat ini adalah menyelamatkan warga Palestina dan menghentikan perang. Saat situasinya sudah tepat, perwakilan politik setiap faksi di Palestina bisa bertemu kembali dan membahas rencana masa depan negara itu.
”Itulah mengapa, saya pikir Hamas harus memahami hal ini dan saya yakin mereka mendukung gagasan pembentukan pemerintahan teknokratis, terdiri dari para ahli dan individu yang berkomitmen mengambil kendali dan tanggung jawab dalam masa transisi menuju situasi yang stabil dan pada akhirnya kita mungkin bisa memikirkan pemilu,” kata Maliki.
”Dan, setelah pemilu, hasilnya akan menentukan jenis pemerintahan yang akan memerintah negara Palestina nantinya,” tambahnya.
Fungsi mediator
Rusia diketahui memiliki kedekatan dengan sejumlah negara Timur Tengah, termasuk Israel dan Palestina, khususnya dengan kelompok Hamas. Kedekatan itu membuahkan pembebasan Roni Krivoi, warga Rusia pemegang paspor Israel, yang disandera pascaserangan 7 Oktober 2023. Saat ini masih ada tiga warga Rusia yang disandera Hamas.
Meski demikian, sejumlah analis meyakini, dialog yang difasilitasi oleh Kremlin tidak akan efektif. ”Rusia tidak memiliki peta jalan untuk menyelesaikan masalah Palestina, terutama Gaza,” kata analis Timur Tengah, Ruslan Suleymanov, dikutip dari laman Deutsche Welle.
Suleymanov menilai, tujuan utama Kremin sebagai fasilitator dialog antarkelompok politik Palestina tidak lebih dari memperlihatkan bahwa Moskwa memiliki pengaruh terhadap faksi-faksi Palestina, khususnya pengaruh geopolitik. Apalagi, dialog ini dilaksanakan menjelang pemilihan presiden Rusia yang akan berlangsung bulan depan.
Pandangan itu diamini Hugh Lovatt, peneliti kebijakan senior pada Program Timur Tengah dan Afrika Utara Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa. ”Pertemuan ini cara untuk memperlihatkan Rusia memiliki kapasitas diplomatik, memainkan peran langsung mendukung persatuan nasional Palestina,” katanya.
Dia tak cukup yakin hasilnya akan positif, merujuk pertemuan yang pernah terselenggara di Aljazair dan Kairo. Menurut Lovatt, perbedaan pandangan antarfaksi Palestina sangat besar.
Nasib Fatah
Popularitas Fatah, kelompok politik Palestina yang berkuasa di Tepi Barat, menurun drastis. Ini terjadi terutama setelah Otoritas Palestina yang dipimpinnya tak jua berhasil mendapatkan hasil konkret: kemerdekaan rakyat Palestina dan status negara berdaulat. Sebaliknya, jalan yang ditempuh Hamas serta kelompok perlawanan lain terus meroket.
Pengunduran diri Shtayyeh disayangkan sejumlah pihak. Sebaliknya, mayoritas warga Palestina menghendaki Presiden Mahmoud Abbas mundur dari jabatannya. Keinginan ini tergambar dari hasil survei oleh Pusat Kajian Kebijakan dan Survei Palestina (PSR) pada Desember 2023. Isinya menyebut, 88 persen warga ingin Abbas mundur dari jabatannya. Angka ini naik 10 persen dibandingkan survei yang dilakukan tiga bulan sebelumnya.
Di Tepi Barat yang dikuasai oleh Otoritas Palestina (PA) dan Fatah, bahkan 92 persen warga menyerukan pengunduran diri tokoh berusia 80 tahun itu karena dianggap korup, otokratis, dan tidak efektif. Survei juga menemukan, 60 persen warga mendukung pembubaran otoritas Palestina. Di Tepi Barat, koordinasi keamanan yang dilakukan PA dan Israel untuk melawan Hamas memperburuk citra dirinya dan organisasi yang dipimpinnya.
”Para pemimpin berpengaruh punya terlalu banyak kepentingan pribadi terkait dengan Otoritas Palestina, tidak bisa mengambil risiko menentang Abbas,” kata seorang pejabat senior Fatah.
Sosok yang diharapkan bisa memperbaiki nama Fatah dan PA adalah Marwan Barghoutti, pemimpin Brigade Al-Aqsa. Barghoutti dipandang sebagai Nelson Mandela-nya Palestina. Dia diterima di semua kelompok, termasuk Fatah dan Hamas. Akan tetapi, dia kini tengah menjalani hukuman seumur hidup di penjara Israel. (AFP/REUTERS)