Pelajaran Subsidi Pangan dari India dan Brasil
Subsidi pangan jadi ajang korupsi dan penerimanya tidak tepat sasaran. Politisi berusaha mempertahankan program itu.
Bantuan pangan untuk warga miskin diberikan pemerintah sejumlah negara. Di negara-negara yang benar-benar penghasil pangan, subsidi diberikan untuk pupuk hingga makan siang gratis.
Soal perut memang persoalan pokok di banyak negara. Di India, unjuk rasa petani berlangsung dua pekan sejak 13 Februari 2024 sampai ditangguhkan pada Jumat (23/2/2024).
Baca juga: Mengapa Eropa hingga India Dilanda Gelombang Unjuk Rasa Petani?
Sehari setelah penangguhan itu, Perdana Menteri India mengumumkan pengembangan kapasitas lumbung nasional. Dalam lima tahun ke depan, India menargetkan tambahan 70 juta ton di lumbung nasional.
Unjuk rasa terjadi hampir 1,5 bulan setelah Pemerintah India mengumumkan rencana subsidi besar-besaran pada 2024-2025. New Delhi mengalokasikan setara 26,5 miliar dollar AS per tahun untuk subsidi pangan. Dibandingkan anggaran tahun sebelumnya, subsidi pangan dan pupuk India naik hampir 3 miliar dollar AS.
Pemerintahan Modi mengumumkan kenaikan subsidi itu beberapa bulan sebelum pemilu. Para analis menduga, Modi mau merebut suara petani dan warga miskin menjelang pemilu.
Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman akhirnya memutuskan, nilai subsidi pangan lebih kecil. Subsidi 2024 mencapai 25,5 miliar dollar AS dan 24,6 miliar dollar AS di 2025. Keputusan Sitharaman sedikit di bawah usulan Kementerian Konsumen dan Pangan. Kementerian itu mengusulkan masing-masing 53 miliar dollar AS untuk subsidi pangan 2024-2025.
Baca juga: Robin Hood dan Lasswell di Pilpres 2024
Penurunan itu untuk menjaga kestabilan anggaran dan mengurangi defisit APBN. Menurut Kemenkeu, defisit pada Maret 2025 bisa di kisaran 5,1 persen setelah ada penyesuaian subsidi pangan. Sementara sejumlah analis menaksir, defisit APBN India mencapai 5,4 persen.
Banyak orang dan keluarga yang dikecualikan dalam skema ini, meski banyak yang seharusnya (berdasarkan kriteria) berhak dan layak mendapatkannya.
Tentu saja oposisi menolak pemangkasan itu. ”Pandemi Covid-19 dan GST (pajak barang dan jasa) pemerintah memukul masyarakat miskin dan usaha kecil di negara ini,” kata Manickam Tagore, anggota parlemen dari Partai Kongres.
Evaluasi program
India menerapkan Pradhan Mantri Garib Kalyan Anna Yojana (PMGKAY) Maret 2020. Sebelum itu, ada subsidi dengan penerima lebih sedikit. Program itu kurang lebih seperti bagi-bagi pangan gratis di Indonesia. Ada 800 juta warga India menerima pangan beras dan gandum.
Pakar pada Institut Perdagangan Luar Negeri India, Debashis Chakraborty dan Ripudaman Bhardwaj, menyarankan evaluasi program pangan itu. Dalam artikel di East Asia Forum, mereka menyoroti korupsi dan ketidaktepatan sasaran proyek tersebut. Teknis penyalurannya tidak efisien. Sementara penerimanya ternyata tidak benar-benar sesuai kriteria. Akibatnya, cakupan penerima tidak optimal.
Baca juga: Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19
Dalam kajian Bank Pembangunan Asia pada 2010 ditemukan, tidak ada evaluasi pada program bantuan pangan selama tujuh tahun. ADB menemukan 76 persen penerima bantuan 1999-2000 ternyata tidak sesuai kriteria. Dengan kata lain, bantuan salah sasaran.
Pada 2004-2005, ada perbaikan sedikit. ADB menemukan, penerima tidak sesuai kriteria mencapai 70 persen. Dengan kata lain, mayoritas subsidi salah sasaran.
Meski salah sasaran, Chakraborty dan Bhardwaj menemukan ada indikasi pemerintah India malah didesak meneruskan program itu. Bahkan, ada desakan agar subsidi diperluas ke hampir seluruh warga India.
Padahal, dengan skema sekarang saja, APBN India sudah tertekan. Defisit 5,1 persen yang ditargetkan pemerintah masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata sebelum pandemi. Dulu, defisit anggaran India 3,3 persen.
Baca juga: Menuju Kebijakan Sosial Progresif
Chakraborty dan Bhardwaj menyebut, manfaat subsidi pangan terancam hilang seiring peningkatan harga aneka bahan pangan. Padahal, melanjutkan subsidi membuat beban belanja pemerintah terus naik.
Sementara Departemen Ilmu Sosial dan Humaniora Institute Teknologi India malah menemukan dugaan korupsi. Dalam penelitian di Punjab, Uttar Pradesh, dan Haryana pada Januari 2023, tim periset menemukan pengakuan mengejutkan.
Para penerima mengaku hanya mendapatkan 29,64 kilogram pangan. Padahal, alokasi bantuan per penerima untuk 55 kg pangan. Tidak ada penjelasan ke mana selisih bantuan pangan tersebut.
Tim juga menemukan perbedaan data penerima. Dalam survei disimpulkan, jumlah rata-rata anggota keluarga di lokasi riset adalah 6,4 orang di Uttar Pradesh. Sementara Punjab dan Haryana masing-masing 4,6 orang dan 5,3 orang.
Baca juga: Transformasi Sistem Kesejahteraan Sosial
Ternyata, acuan data penyaluran adalah 3,4 orang di Uttar Pradesh dan Punjab. Sementara di Haryana ditetapkan 4,9 orang. ”Banyak orang dan keluarga yang dikecualikan dalam skema ini, meski banyak yang seharusnya (berdasarkan kriteria) berhak dan layak mendapatkannya,” demikian tertulis di laporan survei.
Lebih mengejutkan lagi, diduga oknum pedagang dan penyalur menilap bantuan. Para oknum itu membuat daftar berisi data dan cap sidik jari jempol jutaan orang. Seharusnya, orang-orang di daftar itu menerima bantuan. Ternyata, bantuan tidak disalurkan kepada mereka.
Lebih luas
Produsen pangan lain, Brasil, juga punya program subsidi pangan. Di Brasil, kebijakan itu kini disebut Bolso Familia. Brasil membuat kebijakan itu, dengan beragam nama, sejak masa pemerintahan Fernando Henrique Cardoso. Di era pertama Luiz Inacio Lula da Silva, kebijakan itu disempurnakan.
Baca juga: Bersama Brasil dan Kongo, Indonesia Tegaskan Lagi Penurunan Emisi di Sektor Kehutanan
Dulu, Lula menyebut program itu upaya agar seluruh warga Brasil bisa makan tiga kali sehari dengan layak. Lula mau, kecukupan pangan warga tidak bergantung pada sumbangan asing. ”Brasil perlu memberantas kelaparan, kemiskinan ekstrem, dan pengucilan sosial. Perang yang kita lakukan bukan untuk membunuh, tetapi untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya kala itu.
Dalam pemeriksaan awal ditemukan 44 juta warga dengan penghasilan kurang dari 80 real per bulan. Dalam laporan Kementerian Pengembangan Agrikultur Brasil 2011, jumlah orang miskin itu setara 28 persen populasi Brasil. Mayoritas orang miskin tinggal di perdesaan dan kota kecil. Sebagian kecil lagi tinggal di kota besar.
Pemerintah Lula menganggarkan 70 miliar real atau setara 6 persen produk domestik bruto Brasil untuk Bolso Familia. Selain subsidi pangan, ada aneka program lain untuk meningkatkan taraf hidup warga.
Baca juga: Komentar Tajam Lula soal Genosida di Gaza, Brasil Tak Gentar Gertak Sambal Israel
Dalam Bolso Familia juga termasuk reformasi agraria. Bentuknya berupa bagi-bagi lahan untuk orang miskin. Sementara pelajar dari keluarga miskin mendapatkan makan gratis di sekolah. Ibu hamil dari keluarga miskin juga dapat makanan gratis. Program itu termasuk pemberian bantuan uang sekolah.
Tentu saja ada kritik pada program tersebut. Paling pokok karena anggarannya setara 6 persen PDB. Ada kekhawatiran, APBN tertekan karena subsidi terlalu banyak. Bahkan, sebagian pihak menyebut Brasil bisa bangkrut gara-gara program itu.
Karena itu, akhirnya anggaran program dipangkas menjadi 20 miliar real saja. Dari anggaran itu, 10,5 miliar real disalurkan sebagai BLT ke keluarga miskin. Dengan uang itu, keluarga miskin diharapkan bisa membeli makan. Sementara 9,5 miliar real lain dipakai untuk subsidi pangan dan reformasi agraria secara terbatas.
Program itu menunjukkan hasil menggembirakan. Pada 2008, Brasil menambahkan bantuan pangan bagi ibu hamil dan menyusui dalam program tersebut. Di awal, 220.000 ibu hamil dan ibu menyusui menerima bantuan itu.
Dalam penelitian Luis Henrique Paiva, Tereza Cristina Cotta, dan Armando Barrientos disimpulkan, Brasil tetap perlu program lain untuk pengentasan kemiskinan. Kini, ada 14 juta orang jadi penerima Bolsa Família. (REUTERS/AFP)