Gerilya Dua Dekade Membentuk Daya Tahan Houthi dari Gempuran AS
Sejak 2015, Houthi digempur Arab Saudi, lalu Amerika Serikat. Bagaimana cara Houthi terus bertahan?
Setelah 1,5 bulan digempur Amerika Serikat dan sekutunya, Houthi terus unjuk gigi. Kelompok pemberontak di Yaman itu masih bisa menyerang kapal-kapal di Laut Merah.
Selasa (20/2/2024) malam, rudal Houthi menyasar kapal berbendara Belize, Rubymar. Kapal itu korban lanjutan serangan Houthi dalam beberapa bulan terakhir. Houthi mengumumkan akan terus menyerang kapal-kapal yang terafiliasi dengan Israel dan sekutunya selama perang Gaza berlanjut.
Serangan ke Rubymar memicu pertanyaan: bagaimana cara Houthi bertahan setelah digempur sekian lama?
Baca juga: Aliansi AS Kembali Gempur Houthi, Bagian dari Serangan Berantai ke Timur Tengah
Pertanyaan itu wajar karena kelompok pemberontak itu bolak-balik digempur tentara yang dianggap lebih kuat dari mereka. Houthi berperang dengan Pemerintah Yaman sejak 10 September 2004.
Perang Gaza memberi Houthi alasan menjaga dukungan sekaligus unjuk kekuatan hingga ke luar Yaman.
Pemerintah Yaman kewalahan, lalu akhirnya meminta bantuan Arab Saudi dan sekutunya untuk memerangi Houthi. Lalu, sejak 2015, Houthi digempur koalisi Arab Saudi. Serangan itu memakai aneka persenjataan buatan AS dan sekutunya.
Sementara itu, mulai 12 Januari 2024, giliran AS dan sekutunya menggempur Houthi. Rangkaian gempuran AS dan sekutunya setidaknya menghancurkan 73 rudal dan 31 wahana nirawak Houthi.
Setelah dua dekade berperang, kemampuan Houthi meningkat. Dari hanya bisa meluncurkan roket katyusha warisan Uni Soviet, Houthi kini bisa meluncurkan rudal balistik berjangkauan ribuan kilometer.
Baca juga: Setelah Minta Tolong Soal Houthi, AS Dituding China Memprovokasi
Kelompok itu, antara lain, mengoperasikan pesawat nirawak Sammad. Pesawat itu bisa terbang 1.700 kilometer dan mengangkut peledak hingga 100 kilogram. Laporan Intelijen AS mengungkap ada banyak wahana nirawak Houthi.
Daya tahan
Dosen kajian konflik pada Sydney University, Sarah Phillips, menjelaskan sejumlah faktor yang membuat Houthi bisa bertahan. Pertama, Houthi sudah paham cara menghadapi serangan udara selama sembilan tahun terakhir.
Serangan Riyadh dan sekutunya memang merusak sebagian kemampuan Houthi. Di sisi lain, serangan itu memberi Houthi kesempatan belajar memecah pasukan dan persenjataannya. Taktik itu membuat kecanggihan persenjataan Arab Saudi tidak mampu menghentikan perlawanan Houthi.
Faktor kedua, Houthi mengembangkan jaringan pasokan untuk aneka hal. Berulang kali AS dan sekutunya menangkap kapal-kapal pengangkut pasokan Houthi. Sebagian kebutuhannya diselundupkan dari luar negeri. Sebagian lagi dibuat sendiri.
Baca juga: Serangan Gabungan Inggris-AS Kembali Targetkan Situs Rudal Houthi
Periset International Institute for Strategic Studies (IISS), Fabian Hinz, menyebut, total 12 jenis rudal dipasok Iran ke Houthi. Teheran juga memberikan berbagai wahana nirawak.
AS dan Inggris harus paham, ini waktunya kami membalas dan kami tidak kenal menyerah.
Selain itu, Houthi juga mengembangkan aneka persenjataan sendiri. Sebagian besar hanya modifikasi atas senjata buatan Iran dan era Uni Soviet. Modifikasi, antara lain, memungkinkan Houthi mudah menggeser lokasi peluncuran rudal dan wahana nirawak.
Persenjataan Houthi bisa dibilang murah dibandingkan lawan. Akan tetapi, persenjataan itu dioperasikan dengan efektivitas yang sama, antara lain, berkat berkembangnya kendaraan nirawak. ”Apa yang kami lihat di Yaman adalah teknologi menjadi penyeimbang yang hebat,” kata Abdulghani Al-Iryani, peneliti senior di Pusat Studi Strategis Sana’a, seperti dikutip The New York Times.
Hinz tidak yakin rangkaian serangan Riyadh dilanjutkan Washington menghancurkan simpanan senjata Houthi secara signifikan. Dalam konteks serangan AS, Houthi punya cukup waktu memindahkan cadangan persenjataan mereka. Sebab, AS praktis memberikan kesempatan itu lewat peringatan berbulan-bulan sebelum akhirnya melancarkan serangan.
Baca juga: Efek Gentar AS Luntur, Timur Tengah Tegang
Kalaupun ada persenjataan rusak, Houthi bisa mengembalikan cadangannya dengan penyelundupan dan produksi sendiri. Houthi juga mengembangkan unit untuk merakit ulang aneka persenjataan. Perakitan dibutuhkan karena mayoritas persenjataan diurai untuk memudahkan penyelundupan.
Peneliti lain di IISS, Nick Childs, menyebut Iran juga memberikan informasi intelijen untuk Houthi. Informasi itu memungkinkan Houthi memilih sasarannya.
Direktur Proyek International Crisis Group Ali Vaez mengatakan, embargo senjata ke Houthi gagal. ”Delapan tahun upaya melemahkan kemampuan Houthi dan mencegah mereka menambah persenjataan dengan embargo ketat, tidak berhasil,” kata Vaez, seperti dikutip Foreign Policy.
Memobilisasi dukungan pada Palestina memberi Houthi pengalih atas persoalan domestik.
Perluasan dukungan
Phillips menyebut, perang hampir dua dekade membuat Houthi praktis mengendalikan setidaknya 70 persen Yaman. Masalahnya, Houthi tidak becus mengelola perekonomian. Buktinya, ratusan ribu warga Yaman kelaparan dan jutaan lain pengangguran.
Kondisi tersebut menurunkan dukungan publik pada Houthi. Karena itu, Houthi membutuhkan alasan menjaga dukungan warga pada kelompok tersebut. Serangan Israel ke Gaza seperti menjadi jalan keluar untuk kondisi itu. ”Memobilisasi dukungan pada Palestina memberi Houthi pengalih atas persoalan domestik,” kata Thomas Juneau, dosen pada University of Ottawa di Kanada.
Dengan menyatakan serangan di Laut Merah sebagai wujud solidaritas pada Palestina, Houthi bisa menjaga dukungan. Juneau mengingatkan isu Palestina amat penting di Timur Tengah. ”Perang Gaza memberi Houthi alasan menjaga dukungan sekaligus unjuk kekuatan hingga ke luar Yaman,” ujarnya.
Baca juga: AS Siapkan Serangan Lanjutan terhadap Kelompok-kelompok yang Didukung Iran
Peneliti International Crisis Group, Ahmed Nagi, menyebut dukungan pada Houthi kembali naik sejak mulai menyerang kapal-kapal di Laut Merah. ”Perang (di Gaza) meredakan tuntutan domestik pada Houthi,” ujarnya.
Nagi mengatakan, serangan ke Laut Merah membuat Houthi bisa mengklaim sebagai kelompok paling berkomitmen pada Palestina. Meski kelompok lain di Timur Tengah ikut menyerang AS dan sekutunya, tidak ada yang lebih intensif dari Houthi.
Pemimpin kelompok itu, Mohammed Ali Al-Houthi, juga mengklaim solidaritas pada Palestina wujud keimanan. ”AS dan Inggris harus paham, ini waktunya kami membalas dan kami tidak kenal menyerah,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
Nadwa Al-Dawsari dari Middle East Institute menyebut, serangan AS dan sekutunya justru menguntungkan Houthi. ”Mereka punya alasan mengajak lebih banyak orang bergabung dengan alasan sedang berjihad,” katanya.
Faktor luar
Peneliti Royal United Services Institute (RUSI), Sam Cranny-Evans, menyoroti faktor lain yang membuat Houthi bisa bertahan. Paling pokok, lawan-lawannya tidak benar-benar menggunakan seluruh kekuatan untuk meluluhlantakkan Houthi.
Baca juga: Untuk Amankan Laut Merah, AS Pilih Perangi Houthi daripada Dorong Gencatan Senjata di Gaza
Karena mengembangkan jaringan gerilya, serangan udara kurang berdampak pada Houthi. Negara-negara perlu mengikuti langkah Uni Emirat Arab (UEA) yang mengerahkan milisi melawan Houthi di sekitar Aden. Di pesisir barat Yaman itu, Houthi praktis tidak berkuasa karena kewalahan menghadapi milisi sokongan UEA.
Selain mengerahkan pasukan darat, lawan Houthi bisa memilih opsi bumi hangus. Akan tetapi, taktik itu bisa membuat pelakunya melanggar banyak sekali hukum internasional. Tuduhan genosida bisa dialamatkan ke penyerang dengan metode tersebut.
Karena itu, Cranny-Evans tidak yakin gempuran AS dan sekutunya bisa menghentikan serangan Houthi. Dampak maksimum gempuran itu hanya akan mengurangi intensitas serangan Houthi.
Kesimpulan itu, antara lain, belajar dari gempuran AS dan sekutunya ke Suriah pada 2018. Setidaknya 100 rudal AS dan sekutunya membuat Suriah menunda sebagian serangan ke kelompok milisi dan wilayah yang dikuasai milisi.
Baca juga: Perang Gaza dan Lingkaran Setan dalam Eskalasi Konflik Timur Tengah
Sementara Bilal Saab dari Chatham House menyebut, justru daya tahan AS dan sekutunya perlu dipertanyakan. Operasi di Timur Tengah membutuhkan biaya besar. ”Angkatan Laut AS dan Inggris akan sulit mempertahankan operasi di kawasan selamanya. Kapal mereka harus digerakkan ke tempat lain juga,” katanya.
Apalagi, di AS dan sekutunya kini semakin sering ada pertanyaan: buat apa mengerahkan tentara di luar negeri? (AFP/REUTERS/AP)