Koran ”Los Angeles Times” Pecat 20 Persen Karyawan
Tidak kuat menghadapi krisis ekonomi, ”LA Times” mengurangi 115 karyawan, termasuk bagian redaksi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LOS ANGELES, RABU — Gelombang pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan media arus utama Amerika Serikat masih berlanjut. Kali ini, surat kabar Los Angeles Times terpaksa memecat 20 persen karyawan, termasuk staf redaksi. Perekonomian belum mampu bangkit sepenuhnya setelah pandemi Covid-19.
Hal itu diumumkan pemilik Los Angeles (LA) Times, Patrick Soon-Shiong, pada Selasa (23/1/2024) waktu setempat atau Rabu (24/1/2024) waktu Indonesia. Ia mengungkapkan, surat kabar itu merugi 40 juta dollar AS (sekitar Rp 628 miliar) setiap tahun akibat menurunnya pemasukan dari iklan dan pelanggan.
”Ini keputusan yang sulit dan menyakitkan, tetapi ini satu-satunya cara menyelamatkan keberlanjutan LA Times untuk generasi berikutnya,” kata Soon-Shiong.
Jumlah 20 persen yang dipecat itu setara dengan 115 karyawan LA Times. Para wartawan, redaktur, juru foto dan video, hingga staf bagian tata usaha terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Semua rubrik di surat kabar itu terimbas sehingga LA Times harus memikirkan cara baru untuk melakukan peliputan dengan pengurangan staf.
Ketua Asosiasi Media Pesisir Barat AS (MGW) Matt Pearce mengatakan, pihaknya sebagai serikat pekerja media berunding dengan LA Times. Jumlah 115 orang itu sejatinya lebih rendah dibandingkan yang diajukan oleh perusahaan LA Times. Dari jumlah itu, sebanyak 94 anggota serikat pekerja media kehilangan pekerjaan.
”Kami mengupayakan agar mereka yang dipecat oleh perusahaan ini diganti statusnya menjadi pengunduran diri atau pensiun dini sehingga memperoleh paket pesangon yang lebih baik,” kata Pearce.
Gelombang PHK
Pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan media berlangsung sejak tahun 2022. Menurut firma ketenagakerjaan Challenger, Gray, and Christmas, per November 2023 ada 2.681 jenis pekerjaan di media khusus berita AS yang hilang. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan tahun 2021 dan 2022. Jika dilihat dari jumlah total pekerjaan di media arus utama, majalah Forbes edisi 19 Desember 2023 melaporkan ada 20.000 jenis pekerjaan yang hilang.
Di LA Times, gelombang PHK pertama terjadi pada Juni 2023. Ketika itu, 70 orang atau 13 persen dari bagian redaksi dilepas oleh perusahaan. Para anggota serikat pekerja media mengatakan, PHK ini akibat ketiadaan visi dan misi di LA Times sehingga arah koran itu tidak jelas. Terlepas dari rasa terima kasih mereka kepada Soon-Shiong sebagai pemilik, para pekerja mengkritik koran yang merupakan bisnis keluarga itu tidak memiliki kepemimpinan yang memahami bisnis media.
Selain LA Times, perusahaan-perusahaan media AS yang juga telah memotong jumlah karyawan, antara lain surat kabar The Washington Post, stasiun televisi CNN, stasiun radio NPR, dan tabloid daring Buzzfeed. Semua beralasan perekonomian belum pulih setelah pandemi Covid-19 sehingga mereka belum bisa melihat kepastian mengenai bisnis tersebut. Perusahaan media menyusul perusahaan teknologi, seperti Meta, Alphabet, Spotify, dan Amazon, yang juga mengurangi karyawan secara drastis.
Dosen Kebijakan Media dan Ekonomi Politik Universitas Pennsylvania, Victor Pickard, menjelaskan, tidak akan ada media arus utama yang bertahan apabila nasib sepenuhnya diserahkan ke pasar. ”Jurnalisme butuh didukung oleh pemerintah, mulai dari nasional hingga daerah, untuk membangun ekosistem jurnalistik yang sehat,” katanya kepada majalah The Wrap edisi Desember 2023.
Jurnalisme butuh didukung oleh pemerintah, mulai dari nasional hingga daerah, untuk membangun ekosistem jurnalistik yang sehat.
Di tengah pengurangan karyawan, media-media berita nirlaba secara umum justru bertumbuh. Pada Mei 2023, Institut Berita Nirlaba AS (INN) mengeluarkan laporan bahwa jumlah redaksi berita nirlaba bertambah 17 persen dibandingkan periode sama pada 2022. Pada 2021-2022, secara keseluruhan, media berita nirlaba meraup laba 500 juta dollar AS atau naik 19 persen dari periode sebelumnya.
Menurut Jesse Holcomb, dosen Jurnalistik dan Komunikasi Universitas Calvin, data ini belum bisa menjadi pegangan karena belum semua media berita nirlaba menikmati keuntungan seperti itu. Meskipun demikian, ia mengakui kebanyakan media nirlaba relatif terlindung dari krisis ekonomi karena memiliki redaksi yang kecil dan ruang liputannya juga spesifik.
Para pengamat media mengkhawatirkan semakin menurunnya jumlah pekerja ataupun perusahaan media berita bisa berakibat buruk terhadap masyarakat. Pada zaman ini, hoaks, disinformasi, dan misinformasi merajalela. Media berita adalah garda utama untuk diseminasi segala informasi itu sebelum disajikan kepada pembaca ataupun pemirsa.
Victor Pickard memperingatkan, jangan sampai AS mengalami ”kegersangan berita”. Istilah ini ia pakai untuk menggambarkan ketiadaan sumber informasi yang dipercaya dan bertanggung jawab dalam mendudukkan perkara guna mendidik masyarakat.
”Ini belum terasa dalam skala nasional dan global, tetapi di skala daerah ini sudah mulai terlihat dengan bangkrutnya media-media lokal. Warga setempat kehilangan sumber berita sehingga semakin rawan terjerumus hoaks,” ujarnya. (AP)