Sejak 2020, Orang Kaya Makin Kaya, Orang Miskin Kian Sengsara
Setelah pandemi Covid-19, orang yang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin sengsara karena tingginya biaya hidup.
Sejak tahun 2020, kesenjangan ekonomi di dunia semakin lebar. Lima orang terkaya di dunia, yakni CEO Tesla Elon Musk; Bernard Arnault dari perusahaan mewah LVMH; pendiri Amazon, Jeff Bezos; pendiri Oracle; Larry Ellison; dan pakar investasi Warren Buffet, menjadi lebih kaya dua kali lipat atau 114 persen sejak 2020, antara lain, berkat lonjakan harga saham. Kekayaan mereka meningkat dari 405 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6,3 kuadriliun pada 2020 menjadi 869 miliar dollar AS atau sekitar Rp 13,5 kuadriliun pada 2022.
Baca juga: Tidak Mudah Jadi Orang Superkaya
Jika dibandingkan dengan tahun 2020, kekayaan para miliarder saat ini bertambah 3,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 51,3 triliun. Sejak 2020 pula, hampir lima miliar orang miskin di seluruh dunia menjadi semakin miskin. Dengan serentetan krisis, termasuk krisis akibat pandemi Covid-19, yang menghancurkan perekonomian dunia, orang kaya tetap saja menjadi lebih kaya.
Miliarder pertama di dunia yang tercatat sejarah adalah John D Rockefeller dari Standard Oil pada tahun 1916. Orang terkaya di dunia saat ini adalah Musk yang memiliki kekayaan pribadi sekitar 250 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4 kuadriliun.
Laporan tahunan mengenai kondisi kesenjangan di seluruh dunia dari lembaga amal Oxfam ini dipublikasikan sebelum Forum Ekonomi Dunia dimulai di Davos, Swiss, Senin (15/1/2024). Oxfam merupakan konfederasi internasional yang terdiri atas 20 organisasi yang bekerja sama dengan 90 negara untuk membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.
Baca juga: Elon Musk "Si Penjelajah" Bertengger di Puncak Orang Terkaya
”Dunia sedang memasuki dekade perpecahan. Dalam waktu dekat, kita perkirakan dalam satu dekade ke depan kita akan memiliki triliuner. Setidaknya akan ada satu orang yang memiliki kekayaan sampai seribu miliar dollar AS. Jika tren ini terus meningkat, upaya memerangi kemiskinan di seluruh dunia baru bisa tuntas 229 tahun lagi,” kata direktur eksekutif sementara Oxfam, Amitabh Behar, di Swiss.
Orang-orang di seluruh dunia kini harus bekerja lebih keras dan dengan jam kerja lebih lama. Upah yang diterima juga sering kali sangat rendah, terutama untuk lapangan pekerjaan yang berbahaya. Di 52 negara yang dianalisis, upah riil rata-rata hampir 800 juta pekerja turun. Para pekerja ini telah kehilangan total kerugian 1,5 triliun dollar AS atau sekitar Rp 23 kuadriliun selama dua tahun terakhir atau setara dengan hilangnya gaji selama 25 hari untuk setiap pekerja.
Orang yang miskin akan bisa bertambah lebih banyak lagi jika konflik seperti Rusia dan Ukraina dan konflik Israel-Hamas terus terjadi. Akibat konflik, harga energi dan pangan melonjak dan ini sangat berdampak pada negara-negara termiskin.
Baca juga: Timpangnya Ekonomi, Kekayaan Satu Orang Lampaui Pendapatan Satu Negara
Ironisnya, keuntungan bisnis justru meningkat tajam. Ada 148 perusahaan terbesar di dunia yang meraup total laba bersih 1,8 triliun dollar AS hingga Juni 2023, melonjak 52 persen dibandingkan dengan rata-rata laba bersih pada 2018-2021. Untuk menghitung kekayaan lima miliarder terkaya, Oxfam menggunakan angka dari Forbes per November 2023.
Total kekayaan mereka saat itu adalah Rp 13,5 kuadriliun dan naik 155 persen. Untuk kelompok 60 persen populasi terbawah di seluruh dunia, Oxfam menggunakan angka-angka dari UBS Global Wealth Report 2023 dan Credit Suisse Global Wealth Databook 2019. Keduanya menggunakan metodologi yang sama.
Pajak
Selain menyuarakan keprihatinan pada kesenjangan yang melebar, Oxfam juga meminta negara-negara untuk menolak pengaruh kelompok ultrakaya terhadap kebijakan pajak. Seiring dengan kekayaan yang bertambah, kekuasaan mereka juga menjadi lebih besar. ”Kekuasaan perusahaan digunakan untuk mendorong kesenjangan dengan menekan pekerja dan memperkaya pemegang saham kaya, menghindari pajak, dan melakukan privatisasi negara,” tulis Oxfam.
Dalam laporan itu juga disebutkan perusahaan-perusahaan mendorong ketimpangan dengan melakukan perang terhadap perpajakan. Negara-negara menyerahkan kekuasaan pada monopoli sehingga memungkinkan perusahaan memengaruhi upah yang diterima masyarakat, harga pangan, dan obat-obatan yang dapat diakses seseorang.
Baca juga: Warga Superkaya Amankan Kekayaan
Sektor swasta di seluruh dunia disebutkan mendorong pajak yang lebih rendah, kurang transparan, dan melakukan langkah-langkah lain untuk memungkinkan perusahaan berkontribusi sesedikit mungkin terhadap kas negara. Berkat lobi intensif terhadap pembuatan kebijakan perpajakan, perusahaan-perusahaan pada akhirnya bisa membayar pajak yang lebih rendah. Akibatnya, pemerintah kehilangan pendapatan yang seharusnya bisa digunakan untuk membantu kelompok masyarakat termiskin.
Pajak perusahaan turun secara signifikan di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 48 persen pada tahun 1980 menjadi 23,1 persen pada 2022. Untuk mengatasi masalah ini, Oxfam menyerukan pemberlakuan pajak kekayaan terhadap para jutawan dan miliarder dunia yang diperkirakan dapat menghasilkan 1,8 triliun dollar AS setiap tahun. Oxfam juga secara khusus mendorong agar gaji CEO dibatasi dan menghapuskan praktik monopoli swasta.
Julia Davies, investor dan anggota pendiri Patriotic Millionaires UK, kelompok jutawan nonpartisan Inggris yang berkampanye untuk pajak kekayaan, kepada harian The Guardian, Senin, mengatakan, pungutan atas kekayaan sangat kecil dibandingkan dengan pajak atas penghasilan dari pekerjaan.
”Bayangkan saja berapa biaya yang dapat diperoleh dari investasi sebesar 22 miliar pound sterling atau sekitar Rp 426 triliun per tahun dalam layanan publik dan infrastruktur. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk meningkatkan kehidupan rakyat Inggris, memberi layanan dasar yang dibutuhkan lansia dan siapa saja warga rentan yang membutuhkan,” ujarnya.
Baca juga: Orang Amerika Makin Kaya dan Dermawan, tapi…
Oxfam menyebutkan, indeks gini terbaru—yang mengukur ketimpangan—menemukan ketimpangan pendapatan global kini sebanding dengan Afrika Selatan, negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia. Kelompok 1 persen orang terkaya di dunia menguasai 59 persen dari seluruh aset keuangan global, termasuk saham dan obligasi, ditambah kepemilikan pada bisnis swasta.
”Dunia membutuhkan perekonomian yang lebih adil agar bermanfaat untuk semua. Yang dibutuhkan adalah kebijakan terpadu yang memberikan perpajakan lebih adil dan bisa membantu semua orang, bukan hanya kelompok berpunya,” kata Oxfam. (AFP/AP)