Setelah Perang Dunia II berakhir, situasi perairan relatif damai. Tapi, risiko perang laut kembali muncul di Laut Merah.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Pertempuran Teluk Leyte menjadi pertempuran laut terbesar dalam Perang Dunia II. Bahkan, perang yang terjadi di perairan dekat Pulau Leyte, Samar, dan Luzon di Filipina pada 23-26 Oktober 1944 itu disebut sebagai perang laut terbesar dalam sejarah karena melibatkan lebih dari 200.000 marinir. Pasukan AS bersama Australia melawan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Jepang kalah, sekutu menguasai Pasifik. Sejak peristiwa itu, situasi perairan relatif tenang.
Setelah selama beberapa dekade relatif tenang, lautan kembali riuh dan menjadi penting dalam geopolitik. Di Timur Tengah, milisi Houthi menggoyang ketenangan pelayaran di Laut Merah dan mengganggu perdagangan global dengan menyerang kapal-kapal yang lewat. Aksi itu, kata mereka, sebagai solidaritas atas warga Palestina di Gaza yang diserang Israel. Lalu lintas kapal kontainer di Terusan Suez—jalur penting perdagangan dunia—berkurang 90 persen.
Dengan alasan memulihkan jalur pelayaran, mengembalikan kebebasan navigasi, dan ”membela diri”, AS dan Inggris menyerang 60 sasaran Houthi di Yaman, 12 Januari lalu. Masalahnya, ini malah memperluas konflik Timur Tengah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa meminta Houthi menyetop serangan-serangannya. Namun, Houthi berjanji akan membalas.
Risiko perang laut juga bisa terjadi antara China dan Taiwan. Andaikata terjadi dan melebar antara China dan AS, perang itu bisa melampaui Pasifik. AS sudah berkomitmen membantu Taiwan. Di daratan Eropa, perang Ukraina dapat memicu perebutan maritim di Laut Hitam dan Crimea.
Majalah The Economist, 11 Januari 2024, menulis, dunia sedang menghadapi era baru kekuatan laut. Di Asia, terjadi peningkatan kekuatan angkatan laut terbesar sejak Perang Dunia II dan Angkatan Laut China kini menjadi yang terbesar di dunia. Kantor Intelijen Nasional, cabang dari AL AS, tahun lalu memperkirakan China akan memiliki kapal perang 50-55 persen lebih banyak daripada AS pada 2035.
Kantor Intelijen Nasional, cabang dari AL AS, tahun lalu memperkirakan China akan memiliki kapal perang 50-55 persen lebih banyak daripada AS pada 2035.
Angkatan Laut Kerajaan Inggris—pernah menjadi kekuatan militer terkemuka di dunia karena punya armada terbesar dan terkuat di dunia pada era Georgia, Victoria, dan Edward—kini kembali mencuri perhatian. Majalah Foreign Policy, 11 Januari 2024, menyebut, kini Inggris ingin kembali menunjukkan reputasinya sebagai kekuatan berpengalaman mengamankan lautan meski armadanya tak sebesar dulu.
Apalagi, secara historis Angkatan Laut Inggris bertugas melindungi dan mengawal kapal-kapal Inggris melewati perairan berbahaya, seperti di Laut Merah dan sekitarnya. Pada masa-masa puncak kejayaannya, akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an, Angkatan Laut Inggris memiliki segala jenis kapal perang.
Kini, setidaknya sampai akhir tahun 2022, Inggris punya 2 kapal induk, 12 kapal fregat, 6 kapal perusak, 2 kapal amfibi, kapal patroli lepas pantai, kapal penanggulangan ranjau, dan kapal-kapal lain yang lebih kecil.
”Pada era pasca-Perang Dingin, lautan menjadi tempat semua orang memproyeksikan kekuasaan. Sekarang kita berada di era baru saat kita harus bersiap menghadapi potensi perang di laut,” kata Nick Childs, pengamat pada Institut Internasional untuk Studi Strategis di London.
Pada era pasca-Perang Dingin, lautan menjadi tempat semua orang memproyeksikan kekuasaan. Sekarang kita berada di era baru saat kita harus bersiap menghadapi potensi perang di laut. (Nick Childs)
Yang perlu dijaga keamanannya di perairan bukan hanya kapal kontainer, tanker, dan kapal pengangkut barang lainnya, tetapi juga 574 kabel telekomunikasi bawah laut yang aktif di seluruh dunia. Perusahaan analis data TeleGeography menyebutkan, kabel telekomunikasi ini penting karena menentukan 97 persen lalu lintas internet dunia.
Ratusan kabel data bawah laut rentan terhadap sabotase. Sabotase seperti itu pernah terjadi pada pipa gas Nordstream 1 dan 2 di Laut Baltik yang diledakkan pada 2022. Setahun kemudian kabel data antara Estonia, Finlandia, dan Swedia juga terputus secara misterius.
Guru Besar Perang dan Strategi di Asia Timur Departemen Studi Perang King’s College London, Inggris, Alessio Patalano mengatakan bahwa risiko perang laut dengan intensitas tinggi meningkatkan pentingnya peran kapal selam yang bisa menyelinap diam-diam ke perairan musuh untuk mengumpulkan informasi, mengirim pasukan khusus, melacak armada musuh di laut, atau berkeliaran di lepas pantai. Jika dibutuhkan, mereka bisa menembakkan banyak rudal.
Kapal selam kelas Ohio AS bisa membawa hingga 154 rudal jelajah, 26 persen lebih banyak dari kapal permukaan bersenjata terbaik AS. Negara-negara Barat memiliki keunggulan teknologi dibandingkan Rusia dan China. Meski demikian, Rusia dan China tetap saja dianggap menjadi ancaman. Rusia, misalnya, masih bisa memasang ranjau di perairan Ukraina dan menembakkan rudal ke kapal kargo yang berlabuh di Odessa.
Untuk mengawasi dan mengamankan perairan mana pun, komunitas internasional mesti bekerja sama menyatukan kekuatan. Mempertahankan tatanan maritim adalah hal yang paling umum dalam kerja sama internasional. Tanpa kerja sama ini, perekonomian dunia bisa terpuruk.