Sosok Pemimpin yang Disuka Anak-anak Muda
Anak muda butuh pemimpin lugas, tegas, dan kekinian. Gaya eksentrik calon pemimpin turut menjadi daya tarik mereka.
Butuh kemampuan menampilkan diri sosok lugas, tegas, sekaligus gaul atau kekinian bagi calon pemimpin negara yang ingin memenangi dukungan anak-anak muda. Keaktifan di media sosial juga menjadi syarat wajib.
Fenomena itu melanda sejumlah negara, antara lain di Amerika Serikat, Argentina, dan Malaysia. Hal sama juga terjadi di Taiwan.
Di Amerika Serikat (AS), bagi anak-anak muda berusia di bawah 30 tahun, persyaratan tegas dan lugas jadi penting ketika berhadapan dengan isu-isu ”keras”, seperti ekonomi, keamanan nasional, perang Israel-Hamas, kejahatan, imigrasi, dan penguatan kelas pekerja.
Hasil jajak pendapat terbaru Harvard Youth Poll terhadap 2.097 anak muda usia 18-29 tahun di AS, yang dipublikasikan majalah The Economist, 20 Desember 2023, menunjukkan tren itu. Dalam jajak pendapat yang dilakukan pada 23 Oktober-6 November 2023 ini diketahui anak muda AS memilih Joe Biden—sebagian alasannya—karena tidak mau memilih Donald Trump saja.
Baca juga: Mengamati Pemilihan Presiden AS 2024
Biden masih menjadi pilihan dan dipercaya anak muda jika berurusan dengan isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi, seperti aborsi, perubahan iklim, kekerasan bersenjata, dan perlindungan demokrasi. Hanya, gaya Biden dianggap terlalu lembut seperti kakek-kakek dan tidak meledak-ledak seperti Trump. Gaya dan pembawaan Biden ini dianggap tidak cocok menangani isu-isu ”keras”.
Dulu Biden dipilih karena dipandang sebagai sosok yang menenangkan setelah selama beberapa tahun AS menghadapi kekacauan akibat kepemimpinan Trump. Namun, seiring waktu, Biden dinilai belum menepati semua janjinya. Perang Rusia-Ukraina dan Gaza yang berada di luar kendalinya hanya memperburuk posisi Biden.
Baca juga: Sejarah Amerika Ditulis Ulang?
Majalah The Economist menilai, hal itu sebenarnya masalah gaya Biden. Ia tampak tidak memegang kendali. Biden memang sudah meloloskan undang-undang yang lebih progresif ketimbang Barack Obama, tetapi kurang dikagumi kelompok progresif. Biden tidak punya karisma dan wibawa seperti Obama.
Biden tidak punya karisma dan wibawa seperti Obama.
Untuk memperbaiki citra dan gayanya, Biden mestinya ditampilkan sebagai sosok berwibawa. Apalagi, jika hendak maju lagi dalam pemilihan presiden 2024. Dengan gaya sekarang, Biden lebih pas berposisi bukan sebagai presiden, melainkan sekretaris kabinet atau tim konsultan pemerintah yang tetap memiliki pengaruh kuat pada pengambilan kebijakan pemerintah.
Jika hendak maju pilpres lagi, menurut jajak pendapat Harvard, Biden harus bekerja keras merangkul anak muda. Mayoritas responden (69 persen) mendukung Biden, tetapi hanya karena mereka tak suka Trump saja. Selain itu, Trump juga dinilai tidak memiliki tujuan dan visi misi yang jelas serta tidak terorganisasi.
Sebaliknya, 65 persen dari responden yang mendukung Trump mengaku mereka setia pada Trump. Gaya Trump yang sombong, agresif, dan sikapnya dalam bergaul dengan perempuan justru membuatnya seperti seorang penyanyi rap. Begitu Jelani Cobb, penulis asal New York, menilai Trump.
”Dari semua hal yang penting—kecuali kinerja sebenarnya—Donald Trump bukan politisi, tetapi rapper,” tulis Cobb tahun 2015.
Baca juga: Isu Usia Dalam Pemilu AS
Sejak 1988, tidak ada calon presiden dari Partai Republik yang memenangi mayoritas pemilih berusia di bawah 30 tahun. Namun, jajak pendapat The New York Times dan Siena College yang diterbitkan pada 19 Desember 2023 menunjukkan Trump unggul atas Biden dengan dukungan 49 persen berbanding 43 persen pada pemilih usia 18-29 tahun.
Jajak pendapat The New York Times dan Siena Collegeyang diterbitkan pada 19 Desember 2023 menunjukkan Trump unggul atas Biden dengan dukungan 49 persen berbanding 43 persen pada pemilih usia 18-29 tahun.
Menurut Pew Research Center, pada 2020 Biden memenangi kelompok usia itu dengan selisih 24 poin (59 persen berbanding 35 persen). Kubu Republik meyakini, pergeseran itu berkat gaya Trump yang lugas dan tegas.
Kasus Taiwan
Kandidat presiden dan pendiri Partai Rakyat Taiwan, Ko Wen-je, yang juga suka bicara blak-blakan lugas, membuatnya populer di kalangan anak muda karena dianggap lebih jujur. Dia menjanjikan perubahan dalam politik dan birokrasi dan ini yang mendorong dukungan anak muda.
Ketua Institut Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Sun Yat-sen, Liu Cheng- shan, menilai Ko lebih populer karena banyak anak muda menganggap Partai Kuomintang tak menarik dan ”tua”.
Ada lagi pemimpin yang mirip-mirip dengan Trump, yakni presiden baru Argentina, Javier Gerardo Milei. Ia bergaya rambut berantakan seperti mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Guru Besar Studi Latin di Rice University, Mark P Jones, kepada Al Jazeera, 18 November 2023, menyebut pemilih muda memandang Milei sebagai sosok yang bisa melawan sistem dan pemberontak.
Baca juga: Antusiasme dan Kehati-hatian Pemilih Pemula Tentukan Jagoan
Milei terhubung dengan pendukungnya melalui grup Whatsapp dan media sosial. Ia dikenal eksentrik, pernah menjadi foto sampul Rolling Stones, dan punya lima anjing hasil kloning. Video pendeknya menjadi viral selama pemilu ketika Milei merobek kertas ”Post-It” dengan nama kementerian yang ingin dia hapus.
Menurut Jones, pendukung Milei kurang termotivasi oleh ideologi, tetapi lebih karena keputusasaan dan kejengkelan terhadap institusi politik tradisional. Sebagian besar pendukungnya adalah pemilih kelas menengah dan pekerja berusia akhir belasan dan 20-an tahun yang frustrasi karena susah mempertahankan pekerjaan. Mirip pendukung Trump.
Gaul dan kekinian
Jika tolok ukurnya Obama, rakyat AS akan kesulitan mencari capresnya. Di mata anak muda AS, Obama dipandang sebagai sosok yang gaul atau kekinian dan tidak kaku. Dia juga lihai bermain basket, bisa nge-rap, dan memproduksi film.
Itu karakter atau gaya yang dinilai cocok untuk anak muda perkotaan. Sementara Biden barangkali nanti hanya akan diingat orang sebagai presiden yang suka naik sepeda di Delaware, memakai kacamata penerbang, dan suka es krim.
”Anak muda selalu sangat mandiri dan kemungkinan akan lebih merugikan Biden ketimbang Trump,” kata John Della Volpe, Direktur Jajak Pendapat di Harvard Kennedy School Institute of Politics, kepada media The Hill, 11 Desember 2023.
Untuk mendekati anak muda, khususnya generasi Z, mau tidak mau sekarang kandidat politik harus bermain di media sosial. Majalah Time, 27 Desember 2023, menyebutkan, hal ini disebabkan anak muda ingin berinteraksi dengan kandidat politik secara daring. Lagi pula, sumber informasi utama mereka sekarang adalah media sosial.
Baca juga: Pemilih Generasi Z di AS Bukan Lagi ”Katak dalam Tempurung”
Generasi Z adalah anak-anak yang lantang dan bersemangat. Kekuatan mereka semakin meningkat sehingga bisa mengubah dinamika pemilu ke depan. Selain itu, generasi Z juga generasi paling beragam dalam sejarah AS.
Pada 1969, generasi Baby Boomer hanya 18 persen yang bukan berkulit putih. Saat ini 48 persen generasi Z adalah orang kulit berwarna. Identitas unik ini, seiring dengan bertambahnya jumlah mereka, akan mengubah sistem politik selamanya.
Kantor berita Malaysia, Bernama, 15 Oktober 2022, menyebutkan kandidat pemilu yang aktif dan populer di media sosial berpeluang lebih tinggi untuk merebut hati pemilih, khususnya pemilih pemula. Banyak politikus memanfaatkan platform, seperti Tiktok, Instagram, dan Facebook, untuk menyampaikan pesan dengan cara lebih sederhana. Mereka menyadari media sosial adalah medan pertempuran baru.
Analis politik Malaysia, Nasrudin Mohammed, menilai bahwa hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa platform media sosial memiliki pengaruh kuat terhadap sikap politik para pemilih. Terlebih lagi ketika kandidat memainkan isu-isu yang dianggap sensasional dan menarik perhatian pemilih.
Baca juga: Panasnya Perang Medsos Trump Vs Biden
Direktur perusahaan konsultan urusan pemerintahan dan kebijakan publik BowerGroupAsia Adib Zalkapli mengatakan, platform video pendek paling banyak digunakan saat kampanye pemilu karena lebih banyak diminati anak muda.
”Pemilih muda sangat terlibat dengan Tiktok, Instagram, dan Facebook Live karena menilai ruang daring memastikan pemilu lebih terbuka dan transparan,” kata Ross Tapsell, peneliti media Asia Tenggara di Australian National University’s College of Asia and the Pacific.
Meski demikian, penggunaan media sosial ini juga tergantung pada target pemilihnya. Bagi partai yang hanya beroperasi atau mengandalkan pemilih berusia lebih tua di daerah-daerah perdesaan, kehadiran media sosial ini tidak terlalu penting.
Akan tetapi, bagi anak muda, terutama yang tinggal di perkotaan, media sosial bisa jadi menentukan. Apalagi jika kandidat politiknya cocok dengan harapan dan keinginan anak muda.