Perang Gaza Membuat Pelayaran Global Mundur 600 Tahun
Dunia di ambang krisis baru. Terusan Suez tidak bisa diakses karena tidak aman. Terusan Panama sulit diakses karena air surut.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Keadaan di Laut Merah yang tidak aman akibat serangan-serangan milisi Houthi kepada kapal-kapal internasional membuat dunia pelayaran serasa kembali ke 600 tahun silam. Ketika itu, para penjelajah dari Portugal, Bartolomeu Dias dan Vasco da Gama, harus mengitari setengah Bumi untuk menuju Asia.
Rute Laut Merah kini menjadi terlalu berbahaya. Para pemberontak Houthi di Yaman menembaki kapal-kapal niaga di Laut Merah. Mereka ingin mencegah kapal-kapal itu berlabuh di Israel. Serangan itu bentuk dukungan Houthi kepada Hamas yang berperang melawan Tel Aviv.
Sudah belasan kapal kargo ditembaki Houthi. Menanggapi itu, pada Sabtu (16/12/2923) Orient Overseas Container Line (OOCL) mengumumkan berhenti mengangkut muatan dari dan ke Israel.
Perusahaan yang berpusat di Hong Kong menyusul empat raksasa pelayaran global lainnya. Hapag-Lloyd, Maersk, MSC, dan CMA-CGM mengumumkan berhenti melayari rute Laut Merah karena alasan keamanan. Hingga 55 persen pengangkutan laut global dikendalikan Hapag-Lloyd, Maersk, MSC, dan CMA-CGM.
Kini, banyak perusahaan angkutan laut global harus menapaktilasi jalur pelayaran para penjelajah Portugal dari abad ke-15. Rutenya harus mengitari Benua Afrika, melewati Tanjung Harapan.
Hal itu terjadi karena rute Laut Merah kini praktis tertutup. Akibatnya, kapal-kapal harus mengarungi samudera sepekan hingga sebulan lebih lama tanpa melihat daratan.
Dampak ekonomi
Perubahan rute itu berdampak ke perekonomian global. Barang-barang dari Asia yang diekspor ke Eropa biasanya diangkut dengan kapal melewati Laut Merah dan menyeberangi Terusan Suez di Mesir guna mencapai Laut Tengah.
Selat Bab al-Mandab yang terletak di antara Yaman, Djibouti, dan Eritrea merupakan pintu masuk ke Laut Merah dari selatan. Selat itu praktis dikendalikan Houthi.
Akhir pekan lalu, Houthi menembakkan rudal ke dua kapal pengangkut peti kemas. Meski tidak ada korban jiwa, kapal-kapal itu rusak.
Sebelumnya, Houthi menembak MT Strinda. Kapal itu mengangkut minyak sawit dari Malaysia ke Italia. Dilansir dari surat kabar Telegraph India, seluruh awak MT Strinda berasal dari India.
Milisi Houthi mengontak kapten kapal dan menyuruhnya berputar balik meninggalkan Selat Bab al-Mandab. Kapal itu terpaksa berlayar menuju Madagaskar dan terus ke Tanjung Harapan.
Surat kabar tersebut melaporkan, jalur ekspor dari India ke Eropa akan terganggu. Biasanya, jika berangkat dari pesisir barat India, pelayaran memakan waktu 18 hari. Jika kapal-kapal ini tidak bisa mengakses Terusan Suez, pelayaran memakan waktu 31 hari.
”Dunia di ambang krisis ekonomi baru. Terusan Suez tidak bisa diakses karena alasan keamanan. Di Amerika, Terusan Panama sulit diakses karena air sedang surut. Pelayaran global semua harus mengambil rute jauh,” kata Peter Sands, analis dari perusahaan pelayaran internasional Xeneta kepada Telegraph India, Senin (18/12/2023).
Gebrakan besar
Terusan Suez merupakan gebrakan besar transportasi dan keinsinyuran modern. Kanal yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah itu dibangun oleh perusahaan Perancis yang bernama Le Suez pada 1859-1869.
Ekonom Harry Broadman dalam bukunya, Africa’s Silk Road (2007), menjelaskan bahwa pada abad ke-19, Terusan Suez menghemat pelayaran kapal uap dari India ke Italia selama 37 hari.
Kini, butuh 12 jam hingga 16 jam melintasi Terusan Suez. Hingga 30 persen kargo dunia melewati kanal ini. Dari segi perniagaan, Terusan Suez adalah jalur 12 persen perdagangan global serta sumber devisa bagi Mesir.
Keberadaan terusan ini menghemat jarak tempuh 6.139 kilometer. Jarak itu setara jarak lurus Tokyo di Jepang ke Rotterdam di Belanda.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 25 Maret 2021 mengeluarkan laporan dampak ekonomi dari tersangkutnya kapal kargo Ever Given di Terusan Suez. Kapal sepanjang 400 meter itu terjebak di tengah kanal selebar 200 meter selama enam hari, yakni 23-29 Maret 2021. Gara-gara itu, 369 kapal terpaksa mengantre. Dampaknya, perekonomian dunia merugi 9,6 miliar dollar AS.
Israel terpukul
Israel tentu saja paling terpukul akibat krisis di Selat Bab a-Mandab kini. Surat kabar The Times of Israel melaporkan, premi asuransi untuk kapal-kapal berbendera Israel atau yang dioperasikan oleh perusahaan Israel naik hingga 250 persen. Biaya pengoperasian satu kapal saja mencapai 1 juta dollar AS untuk satu kali pelayaran.
Bagi Israel, 99 persen impor mereka melalui jalur laut. Hingga 25 persen ekspor-impor Israel mengalir ke dan dari Asia. ”Saat ini, pelabuhan-pelabuhan terbesar di Haifa, Eilat, dan Ashdod sepi sekali,” kata Guru Besar Kebijakan Maritim Universitas Haifa Shaul Chorev.
Tidak hanya pada harga barang, lamanya pelayaran juga berdampak kepada jasmani dan rohani para pelaut. Anna Carotenuto dan timnya dalam Jurnal International Maritime Health edisi Januari 2012 menjelaskan bahwa pelaut rentan terserang depresi.
Periode lama di kapal membuat seseorang bisa stres. Sebab, mereka merasa terisolasi dari peradaban dan kejenuhan akibat berada di dalam kapal terus-menerus.
Selain tekanan batin, terlalu lama berlayar juga berdampak kepada kesehatan jasmani. Li Yunmei dan tim pada Maret 2010 menerbitkan makalah di Jurnal BMC Med. Mereka menemukan bahwa para pelaut rentan terkena gangguan jantung iskemia. Faktornya, selain diet yang relatif monoton, adalah rutinitas yang tidak banyak melibatkan kegiatan fisik dan kelelahan psikis akibat lingkungan kerja yang terasing di tengah laut.
Belum ada solusi bagi krisis keamanan di Bab al-Mandab. Publikasi pelayaran internasional Trade Winds melaporkan, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin akan berangkat ke Timur Tengah. Di sana, ia hendak membahas kemungkinan Operasi Pengawal Kesejahteraan. Operasi itu akan mengerahkan kapal-kapal militer AS ke Laut Merah.
Akan tetapi, para pakar keamanan berpendapat langkah itu riskan. Sebab, belum tentu Houthi yang didukung oleh Iran akan gentar. Justru, ini bisa memantik krisis keamanan lebih parah. (AP/REUTERS)