Banyak Kelemahan Proyek China di Indonesia
Tenaga kerja, lingkungan hidup, hingga relasi perusahaan dengan warga di sekitar lokasi usaha menjadi sebagian persoalan proyek China di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS– Proyek-proyek kerja sama Indonesia dengan China masih banyak kelemahan. Sikap optimistis pada proyek-proyek itu terlalu berlebihan.
Pengajar Universitas Indonesia Ardhitya Yeremia Lalisang mengatakan, Indonesia-China belum memahami mekanisme kerja masing-masing. China gagal memahami fakta hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia berbeda dengan di China.
“Dianggap kalau antarpresiden sudah sepakat atau sesama menteri sepakat maka akan ditindaklanjuti sampai bawah dengan pemahaman yang sama. Padahal, tidak demikian dan ini mengakibatkan banyak proyek terhambat pelaksanaannya,” ujarnya di sela seminar Refleksi 10 Tahun Dekade Relasi Indonesia – Tiongkok di Era Belt And Road Initiatives, Rabu (25/10/2023) di Jakarta.
Baca Juga : Indonesia Utamakan Kerja Sama Inklusif
Dalam seminar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu, ia mencontohkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Bank Pembangunan China, CDB, sebagai pendana proyek tidak mendapat informasi terperinci dari Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China soal kesiapan proyek itu.
CBD antara lain tidak mendapat informasi soal ketersediaan lahan untuk proyek. Kelambanan pembebasan lahan berimbas pada mundurnya penyelesaian proyek itu. Butuh tiga tahun untuk pembebasan lahan saja.
Informasi kepada CBD dan berbagai pihak di China seharusnya disediakan komisi setara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) RI itu. Sebab, komisi mendorong berbagai pihak di China mendukung kegiatan ekonomi China di luar negeri.
Masalah-masalah itu menjadi hambatan proyek kereta cepat, walau sebenarnya studi menunjukkan kelaikan proyek itu. Kelaikan antara lain ditunjukkan lewat minat Jepang untuk membuat kajian dan ikut mengajukan tawaran membangun kereta cepat. Belakangan, Jepang kalah dan China menang lelang pengerjaan proyek tersebut.
Kabar salah
Masalah lain soal proyek-proyek China, lanjut Lalisang, adalah aneka isu yang tidak dikelola secara baik. Isu tenaga kerja China di berbagai proyek dan pengolahan tambang di Indonesia lebih banyak diwarnai kabar salah. Akibatnya, muncul kecurigaan dan sentimen negatif.
Pemerintah Indonesia, Pemerintah China, dan pengusaha China pun tidak mau membuka diri dan menyampaikan informasi lengkap kepada khalayak. Akibatnya, publik malah mendapatkan informasi tidak benar yang terus disiarkan berbagai pihak.
Baca Juga : Inisiatif Sabuk dan Jalan Tak Bisa Jalan Sendirian
Sementara peneliti BRIN yang juga pembicara di seminar itu, Maxensius Tri Sambodo, mengkritik soal pasokan energi di proyek nikel. Ia secara spesifik menyoroti pengolahan bijih nikel di Morowali, Sulawesi Tengah dan Bulungan, Kalimantan Utara.
“Sumber listrik di Morowali itu 3.600 megawatt, setara dengan kebutuhan listrik di Provinsi Jawa Tengah. Sekarang masih mengandalkan PLTU dengan polusi udara," ujarnya.
Jika sesuai rencana, kawasan Morowali akan membutuhkan listrik 6.000 MW. Kebutuhan itu setara dengan kebutuhan Jateng-Jawa Barat. "Padahal, ini hanya kawasan industri seluas ukuran Kabupaten saja,” ujarnya.
Menurut dia, harus ada peragaman sumber listrik di Morowali. Karena itu, pembangunan PLTA dan pembangkit listrik tenaga surya perlu dirampungkan segera. Hal itu untuk membuktikan komitmen ramah lingkungan.
Pembangunan PLTA antara lain direncanakan untuk memasok listrik di Bulungan, Kaltara. Kapasitasnya disebut mencapai 5.000 MW.
Lalisang mengatakan, isu lingkungan hidup menjadi salah satu isu dalam proyek-proyek China di Indonesia. Karena itu, isu tersebut bersama sejumlah isu lain, seperti hubungan antara investor dan perusahaan China dengan warga di sekitar lokasi usaha, perlu diselesaikan.
Baca Juga : China Arahkan Proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan Lebih Realistis
Sementara Wakil Kepala BRIN Oktavian Amrullah menyebut, landasan kerja sama Indonesia-China adalah kepentingan nasional. “Supaya langkah yang diambil secara obyektif mendukung kepentingan nasional Republik Indonesia. Bagaimana poros maritim Indonesia seiring dengan Belt and Road Initiatives,” kata Oktavian.
Ia memuji Morowali yang berkembang dari tempat terisolasi dengan beberapa unit sepeda motor menjadi pusat industri. Di sana kini, antara lain, ada politeknik untuk melatih calon pekerja di industri pengolahan nikel.
Sementara Kuasa Usaha Kedutaan Besar China di Jakarta, Zhou Kan, mengatakan bahwa China akan meneruskan kerja sama saling menguntungkan dengan Indonesia. China juga akan terus memperjuangkan pertumbuhan serta kedamaian kawasan.
“Dalam 10 tahun Prakarsa Sabuk dan Jalan, ditandatangani 200 kesepakatan kerja sama dan melibatkan 150 negara. Terdapat lebih dari 3.000 proyek yang menciptakan 420.000 lapangan kerja,” ujarnya.