Kalah Soal Mineral, Waktunya Uni Eropa Hormati Negara Pemilik Sumber Daya Alam
UE amat bergantung pada negara dan kawasan lain untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. UE harus bergerak cepat jika tetap mau mendapat pasokan mineral dari luar kawasan.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
PARIS, JUMAT — Uni Eropa akhirnya mengaku kalah soal pasokan aneka mineral penting yang diperlukan dalam proses transisi energi dan tranformasi digital. Karena itu, Brussels perlu bergerak cepat jika mau tetap bisa mengakses bahan-bahan tersebut. Uni Eropa juga perlu menghormati negara-negara pemilik aneka mineral itu
Komisioner Perdagangan Internal Uni Eropa Thierry Breton mengakui, UE telah kalah soal pasokan mineral. ”Kami kalah dalam persaingan untuk penambangan dan pengolahan. Hal ini karena kami punya lebih sedikit cadangan dibandingkan kawasan lain, (proses) administrasi lebih rumit, biaya energi (lebih mahal),” ujarnya dalam pertemuan Badan Energi Internasional (IEA), Kamis (28/9/2023), di Paris, Perancis.
Dilaporkan Euronews, Breton juga menyebut kesalahan lain UE. Brussels terlalu lama berpendapat bahwa mengurangi emisi karbon berarti memindahkan lokasi usaha ke luar UE. ”Hal itu salah,” ujafrnya.
Cadangan mineral UE bukan hanya sedikit. Proses penambangan dan pengolahannya juga rumit. Butuh proses panjang untuk mendapatkan izin penambangan dan pendirian pabrik pengolahan hasil tambang di UE.
UE amat bergantung pada negara dan kawasan lain untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. UE harus bergerak cepat jika tetap mau mendapat pasokan mineral dari luar kawasan.
Ambisi UE untuk memacu penambangan, pengolahan, dan daur ulang mineral juga terhambat. Lewat Undang-uUndang Mineral Penting, UE menargetkan bisa menambang 10 persen mineral, memproses 40 persen mineral, dan mendaur ulang 15 persen kebutuhan mineral tahunannya pada 2030.
Sayangnya, anggaran riset UE malah turun. Padahal, tiga proses itu membutuhkan inovasi baru jika UE mau memacunya dalam tujuh tahun mendatang.
Breton mengakui, UE amat bergantung pada negara dan kawasan lain untuk memenuhi kebutuhan mineralnya. Hampir 100 persen kebutuhan magnesium, litium, iridium, dan niobium UE dipasok dari negara atau kawasan lain, sedangkan untuk logam tanah jarang, UE sepenuhnya bergantung pada pasokan negara lain.
UE harus bergerak cepat jika tetap mau mendapat pasokan mineral dari luar kawasan. Karena itu, UE perlu segera menyepakati perjanjian dagang dengan sejumlah negara pemilik mineral penting.
UE, antara lain, sedang berunding dengan Kongo dan Australia. Kongo pemilik cadangan besar kobalt. Adapun Australia punya banyak nikel, litium, dan aneka mineral lain. UE juga mengejar perjanjian dagang dengan sejumlah negara dan kawasan lain yang punya limpahan aneka mineral penting.
Hormati mitra
Sementara itu, Menteri Sumber Daya Mineral Australia Madeleine King menilai, UE terlalu lamban mengamankan pasokan mineral dari negara dan kawasan lain. Pemerintah dan swasta China, Amerika Serikat, Korea Selatan, hingga Jepang telah jauh meninggalkan UE di Australia.
Negara-negara itu terus menikmati akses mineral Australia. China, misalnya, menerima hingga 96 persen litium Australia. AS, Jepang, Korsel menanamkan modal di sektor pertambangan mineral Australia.
Sebaliknya UE terlalu sibuk mengeluh dan menuntut berbagai hal dalam perundingan perjanjian dagang dengan Australia. Ada pun pengusaha UE sibuk mengeluhkan soal harga. ”Gerak cepat atau Anda akan ketinggalan perahu,” ujarnya.
Gagasan memisahkan rantai pasok dari China nyaris mustahil diwujudkan. China lebih maju dua dekade dibandingkan banyak negara.
Brussels, menurut King, tidak hanya perlu menanamkan modalnya di negara-negara pemilik mineral. UE juga perlu menghormati negara-negara pemilik mineral.
Secara spesifik, ia menyebut UE berusaha mengubah aturan di Australia selama proses perundingan perjanjian dagang Brussels-Canberra. UE mau Australia mencabut aturan soal perbedaan harga mineral di pasar di dalam negeri dan luar negeri. Selama ini harga mineral di pasar Australia bisa lebih murah dibandingkan harga untuk ekspor.
Kondisi itu membuat perundingan perjanjian dagang UE-Australia tidak kunjung rampung. Bukan hanya dengan Australia, perundingan dagang UE dengan sejumlah kawasan dan negara pemilik mineral juga tidak kunjung usai.
Dengan Indonesia, di tengah proses perundingan, UE malah saling menggugat di Organisasi Perdagangan Dunia. Jakarta-Brussels baku gugat soal nikel, kelapa sawit, hingga baja. Indonesia menegaskan, siap menunda kesepakatan selama belum tercapai perjanjian yang adil.
Dengan negara-negara Amerika Latin, UE menghadapi penolakan soal pengaturan pemanfaatan hutan hingga pengolahan mineral. Organisasi pasar bersama Amerika Latin, Mercosur, dengan jelas meminta UE berinvestasi di Amerika Latin jika mau mengakses mineral anggota Mercosur.
Seperti Indonesia, Mercosur juga mau hilirasi. Mercosur tidak mau dipaksa mengekspor mineral dalam bentuk mentah. Mineral harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor.
Ketimpangan pasar
King juga menyebut, pasar mineral global memang timpang. Hal itu tidak lepas dari kebijakan AS, EU, dan sejumlah negara lain. Proses perizinan untuk penambangan dan pengolahan mineral di sejumlah negara amat rumit. Sebaliknya, China telah lama memberi kemudahan untuk proses itu.
Mercosur tidak mau dipaksa mengekspor mineral dalam bentuk mentah. Mineral harus diolah di dalam negeri sebelum diekspor.
Karena itu, kini China praktis menguasai pasokan aneka mineral penting untuk proses transisi energi dan produksi aneka produk teknologi. Sejumlah negara bergantung pada China untuk pasokan aneka mineral penting. ”Sejujurnya, ini bukan pasar yang adil. Soal mineral penting dan logam tanah jarang, China mendominasi pasar,” ujarnya.
Fakta itu membuat King menyebut gagasan memisahkan rantai pasok dari China nyaris mustahil diwujudkan. ”Mereka (China) lebih maju dua dekade dibandingkan banyak negara. Mereka telah banyak berinvestasi di situ," kata dia. (REUTERS)