Generasi Pandemi Tak Mudah Masuk Dunia Kerja
Generasi Z yang lulus sekolah menengah atau perguruan tinggi pada 2023 tak mudah masuk dunia kerja. Belajar di ruang virtual selama 2-3 tahun akibat Covid-19 menyebabkan sejumlah keterbatasan.
Sistem pembelajaran jarak jauh yang berlangsung selama 2-3 tahun ketika dunia menghadapi pandemi Covid-19 kini ”memakan korban”. Banyak generasi Z, lahir selama periode 1997-2012, yang lulus sekolah menengah dan perguruan tinggi pada 2023 kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Rupanya, di mata perusahaan atau penyedia lapangan kerja, generasi Z kurang punya keterampilan dasar. Perusahaan juga menilai banyak Gen Z kurang memiliki keterampilan nonteknis atau soft skill seperti etika kerja serta keterampilan komunikasi.
Guna mengisi kekurangan itu, perusahaan harus memberikan tambahan keterampilan di tempat kerja. Ini makan waktu dan biaya yang tak sedikit. Oleh karena itu, banyak perusahaan tak mau repot alias hanya mau menerima tenaga kerja berpengalaman dan siap kerja saja.
Baca juga: Susah Cari Kerja, Anak-anak Muda di China Memilih Jadi ”Anak Purnawaktu”
Persoalan tidak siap kerja itu misalnya dituturkan Roman Devengenzo, insinyur teknologi di Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (AS), dan Google. Pada saat memberikan konsultasi untuk perusahaan robotika di Silicon Valley, California, Oktober 2022, ia meminta seorang insinyur mesin berusia muda yang baru direkrut untuk merancang produk kecil dari aluminium yang bisa dibuat dengan mesin bubut.
”Bagaimana caranya,” tanya anak muda itu. Mendengar respons itu, Devengenzo tidak habis pikir. Sebab, penggunaan mesin bubut termasuk keterampilan dasar yang biasanya sudah dikuasai pada tahun pertama atau kedua kuliah teknik mesin.
Standard turun
Devengenzo tidak habis pikir karena penggunaan mesin bubut itu termasuk keterampilan dasar yang biasanya sudah dikuasai pada tahun pertama atau kedua kuliah teknik mesin. Akhirnya, Devengenzo harus mengajari cara memakai mesin bubut selama tiga jam.
Biayanya? 300 dollar AS atau Rp 4,6 juta per jam. “Belajar harus sambil praktik. Ketika pandemi, anak-anak ini hanya belajar di depan komputer dan itu tidak cukup,” cerita Devengenzo kepada harian The Wall Street Journal, 2 Agustus 2023.
Baca juga: Gelar Sarjana Tak Jamin Mudah Cari Kerja, di AS atau China Sama Saja
Sejak 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai melanda dan pembelajaran jarak jauh memaksa siswa pindah belajar dari sekolah ke ruang kelas virtual, tingkat kelulusan sertifikasi nasional dan ujian penilaian yang diambil insinyur, pekerja kantoran, tentara, dan perawat turun semua.
CEO Dewan Penguji Nasional untuk Teknik dan Survei AS David Cox mengatakan, 40.000 kandidat peserta ujian dasar teknik untuk bekerja sebagai insinyur profesional mengalami turun skor sekitar 10 persen. Skor turun paling tajam pada pertanyaan yang mengukur pengetahuan.
Banyak yang gagal menjawab pertanyaan seputar penggunaan rangka dalam pembangunan jembatan dan jalan raya. Padahal, ini terkait erat dengan keselamatan publik.
Pembelajaran siswa sekolah dasar dan menengah di AS juga tertinggal rata-rata sekitar empat bulan. Akibatnya, pada ujian standar nasional, nilai siswa kelas IV dan VIII turun ke posisi terendah dalam 30 tahun terakhir.
Meskipun standar di banyak sekolah diturunkan selama pandemi, tingkat kelulusan sekolah menengah turun. Nilai ujian masuk perguruan tinggi juga turun ke level terendah dalam tiga dekade terakhir.
Kepala Eksekutif ACT, organisasi nirlaba yang mengadakan tes masuk perguruan tinggi, Janet Godwin, menilai, lebih banyak lulusan sekolah menengah saat ini yang tidak memiliki keterampilan akademik dasar yang dibutuhkan untuk kuliah dan bekerja.
Baca juga: Membekali Generasi Muda dengan Keterampilan Dunia Kerja
Untuk mengatasi persoalan ini, banyak ahli dan guru besar pendidikan mencoba mengubah kurikulum agar lebih pas untuk siswa yang kurang memiliki keterampilan akademik dasar dan keterampilan nonteknis. Kurikulumnya disederhanakan agar siswa memiliki lebih banyak waktu untuk menguasai keterampilan dasar.
Para ahli dan guru besar di bidang pendidikan itu berpendapat, keterampilan ”generasi pandemi” dalam membaca, menulis, berpikir kritis, bekerja dalam tim, dan berinteraksi dengan orang lain tidak sama seperti masa lalu. Barangkali ini terkait dengan penggunaan teknologi digital atau ponsel cerdas, bukan hanya dampak pandemi.
Gara-gara Covid-19
Taman dan Kebun Binatang John Ball di Grand Rapids, AS, selama ini sering mempekerjakan remaja dan anak muda usia 20-an saat liburan sekolah. Belakangan, mereka memberi pelatihan dasar etos kerja cara berinteraksi dengan pengunjung. Ini misalnya soal pentingnya menatap mata pengunjung ketika sedang berbicara dan tidak sibuk melihat ponsel terus.
”Mereka seperti tidak mau produktif. Jika tidak diberi tahu apa yang harus dilakukan setiap saat, mereka cenderung tidak melakukan apa-apa. Padahal, kami mengharapkan mereka punya inisiatif sendiri untuk melakukan sesuatu,” kata Direktur Strategi dan Pengembangan Organisasi di John Ball, Laura Davis.
Ini merupakan konsekuensi dari pandemi Covid-19. Anak-anak sekolah menjadi kehilangan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi banyak hal, terutama berinteraksi dengan orang lain di luar keluarga mereka.
Guru Besar Komunikasi Strategis di Ithaca College dan Kepala Sekolah Gayeski Analytics Diane Gayeski menyatakan, ketidaksiapan lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi untuk bekerja bukanlah salah anak-anak itu. Ini merupakan konsekuensi dari pandemi Covid-19. Anak-anak sekolah menjadi kehilangan banyak kesempatan untuk mengeksplorasi banyak hal, terutama berinteraksi dengan orang lain di luar keluarga mereka.
”Perusahaan harus punya trik cerdas untuk memahami gaya dan nilai anak muda yang direkrut. Kalau tahu cara menangani Gen Z, potensi mereka akan maksimal,” ujar mereka.
Keluhan tak siap kerja juga datang dari Gen Z sendiri. Gen Z yang sudah masuk dunia kerja untuk pertama kalinya juga mengaku tidak siap kerja. Mereka merasa tak siap serba diatur dan menghadapi konflik di tempat kerja.
News.com.au milik News Corp Australia pada 27 April 2023 memublikasikan hasil survei Workforce Institute terhadap 3.400 responden di 11 negara. Hanya separuh dari mereka yang merasa cukup siap bekerja.
Seperempat responden merasa tidak percaya diri saat bernegosiasi. Sisanya merasa kurang siap bekerja selama berjam-jam dan merasa tidak siap bekerja di bawah kendali orang lain. Mereka tak yakin juga bisa mengelola konflik di tempat kerja.
Namun, dengan segala ketidaksiapan itu, Gen Z tetap yakin dan percaya mereka adalah generasi pekerja keras. Mereka juga yakin bisa bekerja lebih keras jika bekerja di perusahaan yang memberi pilihan kerja fleksibel.
Gen Z tetap yakin dan percaya mereka adalah generasi pekerja keras. Mereka juga yakin bisa bekerja lebih keras jika bekerja di perusahaan yang memberi pilihan kerja fleksibel.
Hasil survei TalentEgg, penyedia informasi karier bagi siswa Kanada, yang dipublikasikan harian The Globe and Mail, 9 Juni 2023, juga menunjukkan mayoritas lulusan baru di Kanada merasa membutuhkan pelatihan tambahan untuk bekerja. Mereka membutuhkan latihan presentasi dan komunikasi serta cara mengatasi konflik.
Terlepas dari kekhawatiran akan situasi ekonomi yang memburuk dan kurangnya pengalaman kerja langsung, CEO TalentEgg Mary Barroll yakin lulusan baru tetap diminati. Ini sebagian karena Gen Z adalah generasi yang terbukti tangguh dan mampu beradaptasi dengan dunia yang cepat berubah. Terbukti, mereka berhasil melewati masa-masa sulit selama pandemi Covid-19.
Survei dari Brainstorm Strategy Group baru-baru ini juga menunjukkan, kemampuan beradaptasi dan berdaya tahan menempati peringkat kelima dalam daftar keterampilan yang dikehendaki penyedia kerja pada lulusan baru. Di urutan teratas, keterampilan berkomunikasi.
Bahkan, menurut hasil penelitian baru dari LinkedIn, mengembangkan komunikasi dan jaringan serta keterampilan nonteknis lainnya justru lebih berharga di mata pencari kerja ketimbang gelar.
”Lembaga pendidikan, gelar, meskipun penting, sekarang tidak lagi menjadi sesuatu yang berharga di mata penyedia kerja. Makin banyak penyedia kerja yang karyawan yang punya keterampilan lain selain gelar. Siapa saja bisa kerja di industri, terlepas dari latar belakang pendidikan. Asal mereka punya keterampilan yang dibutuhkan,” tutur Editor Senior LinkedIn Kanada Riva Gold.
Baca juga: Lapangan Kerja untuk Gen Z Indonesia
Guru Besar Monash University Herman Tse kepada news.com.au, mengatakan, sebenarnya Gen Z memiliki lebih banyak pengalaman dengan keterampilan nonteknis. Di antaranya seperti komunikasi, manajemen waktu, kolaborasi, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi.
Hanya saja, keterampilan itu kurang terasah saja. Untuk itu, penyedia kerja memang harus mau sedikit sabar, kreatif, merangkul, dan meluangkan waktu untuk pekerja muda.
”Beradaptasi dengan mode komunikasi baru menjadi sesuatu yang harus lebih diperhatikan penyedia kerja. Harus cari cara supaya mudah terhubung dengan Gen Z melalui pendampingan satu-satu atau peluang kerja lain,” ujarnya.
Baca juga: Kami Butuh Mentor Dunia Kerja
Pada akhirnya, tidak ada orang yang merasa benar-benar siap kerja saat baru lulus. Generasi sebelumnya lebih beruntung saja karena masuk ke dunia kerja dalam kondisi dunia relatif stabil sehingga bekal keterampilan cukup. Bagi Gen Z yang hidup semasa pandemi Covid-19, situasinya jauh lebih sulit.
Namun, apa pun, Gen Z pada saatnya nanti akan menerima estafet kepemimpinan dunia. Mereka adalah harapan dunia baru.