ASEAN perlu lebih dari sekadar mekanisme membangun kepercayaan. ASEAN dan mitra perlu bertindak nyata untuk mencegah semua potensi konflik. ASEAN perlu lebih agresif membuat damai melalui diplomasi pencegahan.
Oleh
KRIS MADA, LUKI AULIA, LARASWATI ARIADNE ANWAR, MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi geopolitik yang semakin memanas membuat Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tidak bisa lagi memakai pendekatan biasa guna merawat perdamaian. ASEAN perlu lebih agresif mencegah aneka potensi konflik yang mengganggu kawasan.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, Asia Tenggara telah menikmati kedamaian, kestabilan, dan kemakmuran lima dekade terakhir. ”Perdamaian tidak jatuh dari langit. Hal itu hasil dari upaya sistematis untuk membangun arsitektur kawasan yang inklusif,” ujarnya dalam Pertemuan Menlu ASEAN (AMM) 2023, Selasa (11/7/2023), di Jakarta.
ASEAN perlu lebih dari sekadar mekanisme membangun kepercayaan. ASEAN dan mitra perlu bertindak nyata untuk mencegah semua potensi konflik. ASEAN perlu lebih agresif membuat damai melalui diplomasi pencegahan. “Hanya dengan ini ASEAN akan tetap penting dan pusat pertumbuhan,” ujarnya.
AMM adalah salah satu dari rangkaian pertemuan para menlu ASEAN dan mitra ASEAN. Selain AMM, ada Pertemuan Pasca-Konferensi (PMC), ASEAN plus Tiga (APT), KTT Asia Timur (EAS), dan Forum Regional ASEAN (ARF). Forum-forum di luar AMM juga melibatkan para menlu negara mitra ASEAN.
Dialog dengan sebanyak-banyaknya mitra merupakan salah satu wujud hubungan inklusif yang menjadi fokus ASEAN. Karena itu, ASEAN terus menambah mitra wicara. ASEAN akan menjadikan Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Asosiasi Negara-negara Lingkar Samudra Hindia (IORA), dan Organisasi Kerja Sama Teluk (GCC) sebagai mitra wicara. “Kita terbuka pada kerja sama tanpa pengucilan,” ujar Retno.
Menlu Malaysia Zambry Abdul Kadir mengatakan, sejumlah perbincangan dengan GCC telah dilakukan. ASEAN-GCC akan bertemu di Riyadh, Arab Saudi, pada Oktober 2023.
Isu minilateralisme
Retno juga secara spesifik menyoroti fenomena minilateralisme atau kerja sama lintas negara terbatas. ASEAN tidak sepenuhnya menentang minilateralisme. ”Namun, minilateralisme ini hendaknya dipastikan bertujuan untuk perdamaian dan kesejahteraan kawasan Indo-Pasifik,” ujarnya.
Retno menekankan, di tengah perkembangan situasi global, hanya ada dua cara untuk menjaga perdamaian, keajekan, dan kemaslahatan kawasan. Pertama ialah dengan membuktikan reputasi serta kemampuan kelembagaan ASEAN. Artinya, ASEAN dan setiap anggotanya wajib menjamin untuk taat dan teguh melaksanakan setiap butir Piagam ASEAN.
Cara kedua, kemampuan kelembagaan itu memberi ASEAN kekuatan serta keahlian untuk menjadi penggerak utama dan nakhoda di tengah dinamika kawasan. ”Kita harus mengirim pesan yang jelas bahwa ASEAN tidak akan pernah menjadi proksi di tengah rivalitas kekuatan-kekuatan besar,” kata Retno.
Zambry mengatakan, salah satu perhatian kawasan saat ini adalah kondisi geopolitik di Indo-Pasifik. Bukan hanya ASEAN, negara dan organisasi di luar Asia Tenggara juga ikut memperhatikan Indo-Pasifik. ”Minat mendalam terhadap Indo-Pasifik akan memberikan kesan tertentu,” katanya.
Lewat Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik (AOIP), ASEAN bukan hanya menegaskan posisinya sebagai tuan rumah di kawasan. ASEAN juga ingin menegaskan bahwa konsep-konsep Indo-Pasifik dari pihak lain perlu diletakkan dalam kerangka menjadikan kawasan ini sejahtera, stabil, dan damai. ”Tak boleh ada keadaan yang mengganggu. Pandangan Indo-Pasifik dari pihak lain hendaklah membantu pembangunan kawasan,” ujar Zambry.
Tak boleh ada keadaan yang mengganggu. Pandangan Indo-Pasifik dari pihak lain hendaklah membantu pembangunan kawasan.
Di Indo-Pasifik, bagi ASEAN, salah satu isunya soal kedamaian di Laut China Selatan. ASEAN berusaha merangkul berbagai pihak untuk menjaga kedamaian perairan itu, termasuk Gerakan Non-Blok (GNB). Upaya itu antara lain dilakukan di pertemuan GNB di Baku, Azerbaijan, pada 6 Juli 2023.
Sebagai wakil ASEAN, Malaysia berusaha memasukkan isu perdamaian Laut China Selatan dalam dokumen akhir pertemuan itu. ”Sayangnya ditolak oleh beberapa negara yang bahkan tidak ada sangkut paut dengan Laut China Selatan,” katanya.
Zambry memandang, penolakan itu salah satu penyebab GNB menjadi tidak relevan bagi ASEAN dan sebaliknya. Apalagi, penolakan membahas isu Laut China Selatan sudah disampaikan sejak 2016.
Zona bebas senjata nuklir
Retno dan Zambry juga membahas soal senjata nuklir. ”Risiko penggunaan senjata nuklir lebih tinggi saat ini dibandingkan waktu lain sepanjang sejarah. Kita terus mendengar kemungkinan penggunaan senjata nuklir. Kita juga melihat senjata nuklir tetap menjadi doktrin militer sejumlah negara, termasuk di kawasan kita,” ujar Retno.
Ia mengatakan, kawasan ini tidak akan benar-benar damai selama masih ada senjata nuklir. ”Tidak ada senjata lebih kuat dan merusak dibandingkan nuklir. Dengan senjata nuklir, kita hanya sejengkal dari bencana global jika ada salah perhitungan,” ujarnya.
Hampir 30 tahun terakhir, ASEAN telah menegaskan keinginan menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas nuklir. Keinginan itu diwujudkan dalam Protokol Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir (SEANWFZ). Sayangnya, sampai sekarang tidak ada satu pun negara pemilik senjata nuklir mau mengaksesi protokol itu.
Zambry mengatakan, ASEAN berusaha mendorong agar negara pemilik senjata nuklir (NWS) meneken protokol itu. Bagi NSW yang sudah memiliki kehendak menekennya, ASEAN mengajak agar aksesi segera diwujudkan. ”ASEAN akan berbicara dengan semua NWS untuk membahas isu ini lebih lanjut untuk mengurangi ketegangan,” katanya.
Sejauh ini, baru China yang telah menyatakan kesiapan menekan SEANWFZ. Walakin, tidak ada kejelasan kapan Beijing benar-benar mengaksesi protokol itu.
Terkait peran ASEAN, pemerhati hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menyoroti ruang yang kurang bagi masyarakat untuk memasukkan usulan yang dianggap bermakna dan penting bagi warga. Ia juga menilai isu-isu yang dibawa dalam Keketuaan Indonesia adalah isu yang sangat elitis.
Menurut Dinna, konflik Laut China Selatan, zona bebas nuklir Asia Tenggara, hingga ekosistem kendaraan listrik merupakan isu yang kurang membumi. Terkait zona bebas nuklir Asia Tenggara yang disampaikan oleh Menlu Retno di hari pertama pertemuan, misalnya, ia melihat isu itu masih tergolong isu tingkat tinggi (high-level issue) karena hingga saat ini belum ada kesepakatan riil antara ASEAN dan negara-negara pemilik senjata nuklir.
”Taruhlah pelanggaran sudah terjadi, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang akan dilakukan oleh ASEAN menyikapi hal itu? Apakah ada diplomatic call bagi negara pelanggar? Apakah ada pembentukan pasukan pengamanan bersama antarnegara anggota atau apa pun?” kata Dinna.