Sebenarnya kemarahan pemrotes kali ini bukan semata pada insiden tewasnya Nahel, melainkan mengapa hal semacam ini masih saja terjadi.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
Sudah lima hari terakhir Perancis dilanda kerusuhan akibat protes massa menyusul tewasnya seorang remaja di tangan petugas polisi. Kematian Nahel M (17), keturunan Afrika utara, mengipasi kemarahan warga soal kekerasan polisi terhadap kaum minoritas dan mengekspos ketegangan rasial di Perancis.
Tak hanya di ibu kota Paris dan kota-kota di pinggirannya, protes juga merembet ke berbagai kota, antara lain Lyon, Marseille, Le Havre, Toulouse, dan Nantes. Kantor berita AFP, Minggu (2/7/2023) atau sehari setelah Nahel disemayamkan di rumah duka di Nanterre, menyebut, sebanyak 719 orang telah ditangkap. Malam sebelumnya, polisi menangkap sekitar 1.300 orang. Setidaknya 45 polisi terluka, 577 kendaraan dan 74 gedung dibakar. Dilaporkan ada 871 titik kebakaran di jalanan dan ruang publik.
Nahel ditembak polisi lalu lintas di Paris pada Selasa (27/6/2023). Video penembakan beredar luas di media sosial dan langsung memicu protes berujung kerusuhan. Sejumlah kota lantas menerapkan larangan demonstrasi dan beberapa negara mengeluarkan peringatan perjalanan. Ingatan langsung melayang pada kerusuhan selama tiga pekan tahun 2005, dipicu kematian dua remaja yang bersembunyi dari kejaran polisi, yang memaksa pemerintah memberlakukan status keadaan darurat.
Sebelum kerusuhan kali ini, Perancis juga dilanda gelombang protes massa selama berminggu-minggu pada Januari lalu akibat kebijakan usia pensiun yang tidak populer. Dilansir CNN, Presiden Emmanuel Macron memberi dirinya waktu 100 hari untuk memulihkan negaranya. Namun, upaya itu tampaknya tersandung protes atas tewasnya Nahel.
Para aktivis meyakini, ras Nahel menjadi faktor tewasnya remaja itu. Hal ini telah dibantah kepolisian dan pemerintah. CNN menyebut, Perancis memilih sekularisme atau laicité dalam bahasa Perancis sebagai fondasi kunci yang menjunjung tinggi kesetaraan bagi seluruh rakyat. Caranya dengan menghapus sekat-sekat perbedaan, termasuk ras.
Namun, banyak warga kulit berwarna di Perancis merasa mereka lebih mungkin menjadi korban kekerasan polisi dibandingkan dengan warga kulit putih. Sebuah studi tahun 2017 oleh Rights Defenders, lembaga hak asasi manusia independen di Perancis, menemukan, anak-anak muda dari kalangan kulit hitam atau keturunan Arab 20 kali lebih mungkin dihentikan polisi untuk diperiksa dibandingkan dengan kawan-kawan mereka.
Maka, sebenarnya kemarahan pemrotes kali ini bukan semata pada insiden tewasnya Nahel, melainkan mengapa hal semacam ini masih saja terjadi. Sebab, undang-undang Perancis melarang pengumpulan data berdasarkan etnisitas karena akan memicu diskriminasi.
Kultur konflik
Itulah sebabnya pula warga Perancis tak lelah turun ke jalan untuk menyuarakan keprihatinan terhadap pemerintah atau otoritas tentang berbagai isu. Hampir setiap protes berlangsung selama berhari-hari dengan tingkat keberhasilan cukup tinggi untuk mendesakkan tuntutan mereka. Macron pernah mengalaminya tahun 2018 kala menghadapi protes Rompi Kuning (gilets jaunes) yang menentang rencana kenaikan pajak bahan bakar.
Konsesi yang diberikan Macron setelah protes pada 2018, menurut Time, mengonfirmasi citra Perancis sebagai negara yang tidak pernah benar-benar meninggalkan semangat revolusi tahun 1789. Di negara ini, protes dan mogok seakan menjadi sifat alami rakyatnya. Tidak selalu berhasil, tetapi tetap bisa mengguncang pemerintahan.
Analis politik yang berbasis di Paris, Eddy Fougier dan Gerd-Rainer Horn, kepada Time waktu itu mengatakan, saat protes pecah di tempat lain, barangkali sentimen yang muncul adalah skeptisisme atau ketidaksukaan. ”Di Perancis, hanya sedikit perasaan itu yang muncul, justru suasana protes itu menular ke komunitas-komunitas lain,” kata Fougier.
Tidak jelas mengapa orang Perancis senang protes, tetapi menurut Fougier, itu bagian dari ”kultur konflik” nasional yang bisa ditarik jauh hingga ke masa Revolusi Perancis. “Kami hampir ingin mengulangi Revolusi Perancis, lagi dan lagi,” ujarnya.
Intensitas protes atas kematian Nahel sudah mulai mereda, tetapi polisi masih mencatat sejumlah insiden di berbagai kota. Macron telah menggelar rapat darurat pada Minggu untuk menangani persoalan ini. Bintang sepak bola Perancis, Kylian Mbappe, pun sudah menyuarakan keprihatinannya. Barangkali dengan cara ini, prasangka rasial bisa makin terkikis.