”Perang Urat Saraf” di Iran, Pemerintah dan Perempuan Tak Ada yang Menang
Situasi di Iran sama-sama tidak menguntungkan bagi pemerintah, kaum perempuan, dan dunia usaha.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Semangat perempuan Iran untuk melawan kuasa pemerintah atas tubuh mereka terus berkobar, delapan bulan setelah kematian Mahsa Amini pada September 2022. Terlepas dari penegasan Pemerintah Iran yang mewajibkan perempuan di negara itu agar berjilbab, kaum perempuan menolak. Ngotot-ngototan terjadi dan setidaknya sudah 2.000 tempat usaha ditutup oleh pemerintah karena melayani para perempuan yang tidak berjilbab.
Seruan agar perempuan berjilbab tidak hanya terlihat di berbagai papan pengumuman di tempat-tempat umum. Sukarelawan pendukung aturan pemerintah juga berseru di jalan, terminal bus, dan stasiun kereta, memperingatkan agar perempuan menuruti aturan negara yang dikatakan berlandaskan perintah Yang Mahakuasa.
”Melepas jilbab tidak hanya amoral, tetapi tidak mungkin secara agama dan politik. Perempuan-perempuan ini tidak menyadari bahwa mereka digiring oleh tangan-tangan tak terlihat,” kata Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin spiritual dan pemimpin tertinggi Iran, pada April 2023.
Kewajiban perempuan berjilbab di negara itu dibuat pada tahun 1979 ketika Revolusi Iran yang menggulingkan keluarga shah terjadi dan Iran berubah menjadi republik berbasis agama. Bersama negara tetangga, Afghanistan, yang kini dikuasai oleh Taliban, Iran merupakan negara tempat jilbab diwajibkan bagi perempuan.
Pada September 2022, seorang perempuan bernama Mahsa Amini ditangkap oleh polisi moral atas tuduhan jilbabnya tidak dipakai dengan benar. Ia meninggal setelah diduga dianiaya oleh polisi.
Pihak berwenang Iran telah membantah semua laporan terkait kematian Amini. Pihak berwenang mengklaim Amini meninggal karena gagal jantung, yang dibantah keluarga dan massa pengunjuk rasa di seluruh Iran.
Sebelum gelombang unjuk rasa melanda sejak September 2022, di Iran jarang terlihat perempuan keluar tanpa mengenakan kerudung meski hanya diselempangkan ke bahunya. Namun, kini sudah jamak di beberapa area di Teheran terlihat para perempuan tanpa berkerudung.
Bagi sebagian perempuan Muslim, menutup kepala diyakini sebagai salah satu bentuk kesalehan pada Tuhan dan kesopanan di hadapan laki-laki di luar keluarga mereka. Namun, di Iran, hijab—serta seluruh bentuk chador atau jubah panjang warna hitam yang dipakai oleh sebagian perempuan di negeri itu—juga dianggap sebagai simbol politik.
Penguasa Iran, Reza Shah Pahlavi, pada 1936 melarang hijab sebagai bagian dari upayanya meniru Barat. Pelarangan ini berakhir lima tahun kemudian saat anaknya, Shah Mohammad Reza Pahlavi, berkuasa. Meski demikian, banyak perempuan kelas menengah dan atas di Iran tetap memilih tidak mengenakan hijab.
Pada saat Revolusi Islam tahun 1979, sebagian perempuan ikut berperan menumbangkan shah. Mereka memakai chador atau jubah panjang yang menutupi seluruh tubuh—kecuali wajah—dari kepala hingga kaki. Foto-foto perempuan Iran berpakaian chador dan memegang senjata menjadi pemandangan yang familier bagi warga AS selama pendudukan kantor kedutaan besar AS dan krisis penyanderaan pada tahun itu.
Kini kaum perempuan di pusat kota dan wilayah utara Teheran dengan mudah dapat dijumpai setiap hari tanpa berkerudung.
Namun, sebagian perempuan lainnya memprotes keputusan Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin revolusi, yang memerintahkan agar hijab dikenakan di tempat-tempat publik. Pada tahun 1983, perintah Khomeini itu menjadi undang-undang, disertai dengan hukuman dan sanksi, termasuk denda dan penjara dua bulan.
Empat puluh tahun kemudian, kaum perempuan di pusat kota dan wilayah utara Teheran dengan mudah dapat dijumpai setiap hari tanpa berkerudung. Pada awalnya Pemerintah Iran tak mau menggunakan konfrontasi langsung dalam menangani masalah ini. Namun, pada bulan-bulan belakangan mereka menggerakkan kekuasaan negara guna menangani praktik tersebut.
Selama beberapa bulan terakhir setelah unjuk rasa besar-besaran yang dipicu oleh kematian Amini, sebagian perempuan Iran meninggalkan jilbab. Ketika Kompas berkunjung ke Iran pada Februari 2023, banyak perempuan yang ditemui telah tidak berkerudung.
Namun, pemerintah dan kelompok konservatif tidak menerima. Bulan Maret, media Iran menyebarluaskan kasus ketika dua perempuan tidak berjilbab yang sedang asyik berbelanja diguyur yogurt. Pelakunya adalah pemilik kios yogurt yang beraliran politik konservatif. Ia menyiram minuman susu asam itu ke kedua perempuan tersebut, padahal mereka tidak berbelanja di kios si penjual. Media Mizan yang terafiliasi dengan Pemerintah Iran melaporkan, ketiga orang itu kemudian diamankan oleh polisi.
Semakin keras
Kali ini, pemerintah semakin keras. Surat kabar Shargh yang progresif melaporkan, setidaknya ada 2.000 tempat usaha ditutup oleh pemerintah karena melayani para perempuan yang tidak berjilbab. Sopir-sopir taksi menjadi target kemarahan pegiat konservatif apabila melayani penumpang perempuan yang memamerkan rambut.
Pada 25 April 2023, pemerintah menutup pusat perbelanjaan Opal di ibu kota Teheran. Toserba dengan 23 lantai ini ditutup karena kaum perempuan bisa asyik belanja dan nongkrong tanpa mengenakan kerudung. Bahkan, perempuan-perempuan tidak berjilbab ini juga bermain boling bersama kaum laki-laki.
”Ini hukuman yang tidak masuk akal. Mengorbankan pekerjaan ratusan orang hanya karena sejumlah perempuan tidak berjilbab,” kata Nodding Kasra, salah satu pegawai toko di Opal.
Acara-acara keolahragaan juga terkena getahnya. Media IRNA yang juga dekat dengan pemerintah mengabarkan, Ketua Federasi Atletik Iran Hashem Siami mengundurkan diri pada hari Minggu (7/5/2023). Penyebabnya, beberapa atlet putri mengikuti lomba maraton tanpa berjilbab. Panitia lomba sedang diselidiki oleh pemerintah.
”Ini situasi tanpa pemenang. Jika pemerintah terus memaksa, masyarakat pasti terus melawan. Jika masyarakat melawan, dunia usaha yang menjadi korban,” kata Mohsen Jalalpour, pengamat ekonomi.
Perempuan-perempuan Iran memilih menentang desakan pemerintah. Vida (29) mengatakan, bukan tempat bagi pemerintah untuk mengatur badan perempuan. Adapun Sorayya (33) berjuang untuk kebebasan anak perempuannya. ”Ini demi masa depan anak saya agar ia tidak mengalami tekanan seperti saya,” ujarnya. (AP/SAM)