Perempuan di seluruh dunia masih mengalami ketidakadilan. Bahkan kemajuan terkait pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan yang sudah dicapai selama 10 tahun terakhir kini seakan mengalami kemunduran.
Oleh
LUKI AULIA
·6 menit baca
AP PHOTO/ESTEBAN FELIX
Perempuan dari kelompok feminis yang disebut Nuestros Pilares tampil selama demonstrasi menentang kekerasan berbasis jender pada Hari Perempuan Internasional di Santiago, Chile, Rabu (8/3/2023).
Kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, larangan sekolah atau kuliah, dan kesenjangan ekonomi masih menjadi sedikit dari banyak isu yang mendera perempuan sampai sekarang dan mendorong perempuan di sejumlah negara turun ke jalan. Terdengar tuntutan akan hak konstitusional dari perempuan di Islamabad hingga seruan untuk kesetaraan ekonomi di Manila, Paris, dan Madrid ketika mereka berunjuk rasa dalam rangka Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2023.
Keadilan bagi perempuan masih jauh dari harapan, apalagi jika melihat tindakan represif pemerintahan Taliban di Afghanistan dan Iran terhadap perempuan dan anak perempuan. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menyebut Afghanistan sebagai negara yang paling represif di dunia untuk pemenuhan hak-hak perempuan.
Dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti Taliban di Afghanistan yang disebut PBB melakukan apartheid gender pada perempuan, penindasan rezim Iran terhadap protes kematian Mahsa Amini, pembatasan baru di Amerika Serikat tentang hak aborsi, dan Perang Ukraina, para pengunjuk rasa turun ke jalan. Mereka, antara lain, didorong perasaan bahwa kemajuan yang sudah dicapai dengan susah payah kini seakan mundur, bahkan kembali ke titik nol.
”Nenek saya berjuang agar kami memiliki kebebasan yang sekarang seperti mau dirampas. Bagi saya, penting untuk terus berjuang,” kata Mariam Ferradas (52), karyawan rumah makan di Madrid, ibu kota Spanyol, yang bergabung dengan ribuan perempuan berpakaian ungu yang turun ke jalan.
Suasana serupa terlihat di Istanbul, ibu kota Turki, tetapi mereka berunjuk rasa di bawah pengawasan ketat dari aparat kepolisian. Mereka dilarang masuk ke Lapangan Taksim karena pasukan bersenjata membarikade pintu masuknya. Ribuan orang juga berunjuk rasa di seluruh wilayah Pakistan dan mengangkat isu-isu sensitif seperti perceraian, pelecehan seksual, dan menstruasi.
Di Afghanistan pun ada sekitar 20 perempuan yang berunjuk rasa di ibu kota Kabul. Ini sangat jarang terjadi. Pemerintahan Taliban menganut interpretasi Islam yang keras dan selalu mengekang perempuan dan anak perempuan dari kehidupan publik sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021.
Taliban menerapkan aturan yang membuat sebagian besar perempuan dan anak perempuan terjebak di dalam rumah saja. Ini karena Taliban melarang pendidikan anak perempuan di atas kelas VI dan melarang perempuan berada di ruang publik seperti taman dan pusat-pusat kebugaran. Pakaian pun diatur harus menutup seluruh badan, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.
AP PHOTO/DOLORES OCHOA
Perempuan berunjuk rasa saat Hari Perempuan Internasional di Quito, Ekuador, 8 Maret 2023.
Aktivis hak-hak perempuan Afghanistan, Zubaida Akbar, kepada PBB mengatakan, perempuan dan anak perempuan di Afghanistan menghadapi ”krisis terburuk untuk hak-hak perempuan di dunia”. Pemerintahan Taliban tidak hanya berusaha untuk menghapus perempuan dari kehidupan publik, tetapi juga menghilangkan kemanusiaan dasar perempuan. ”Ada istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi perempuan Afghanistan saat ini: gender apartheid,” ujarnya.
Sementara, Brasil merilis hasil studi yang miris yang menunjukkan telah terjadi sedikitnya 1.410 pembunuhan terhadap perempuan pada tahun lalu di negara itu. Jumlah ini tertinggi sejak pencatatan jumlah pembunuhan terhadap perempuan dilakukan pada 2015.
Di Mexico City, Fatima Rios berjalan perlahan di antara ribuan perempuan pengunjuk rasa dan ikut menyuarakan keprihatinan akan perempuan yang kerap menjadi korban kekerasan. ”Dua tahun lalu, saya pernah ditembak di kaki tiga kali oleh seorang laki-laki yang membenci perempuan dan sampai sekarang ia masih bebas. Saya dan putri saya hidup dalam ketakutan setiap hari,” ujarnya.
Di belahan Bumi yang lain, Perancis, unjuk rasa terjadi di hampir 150 kota besar dan kecil untuk menuntut kesetaraan, baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan. Perempuan-perempuan di Venezuela juga menuntut upah yang layak di tengah inflasi yang membuat upah minimum kian berkurang.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden ikut memperingatkan bahwa masih banyak negara di dunia ini yang menyerang hak perempuan dan anak perempuan, antara lain Afghanistan, Rusia, dan Iran. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pun setuju bahkan kemajuan yang sudah diraih dalam isu-isu yang memengaruhi perempuan dan anak perempuan sekarang malah jadi mundur. Salah satunya karena pandemi Covid-19 dan ”penolakan terorganisasi” terhadap perempuan.
Kemajuan yang sudah diperoleh selama beberapa dekade ini menghilang karena patriarki melawan balik.
Organisasi Wartawan Tanpa Batas menyebutkan, profesi wartawan menjadi kian rawan bagi perempuan dan kerap kali berisiko hilang nyawa. Di Iran, ada 12 perempuan wartawan yang ditahan, 11 di antaranya ditangkap setelah protes soal Amini. Dua dari 11 wartawan itu kini menghadapi dakwaan maksimal hukuman mati. Amini dari Kurdi Iran, meninggal dalam tahanan tahun lalu setelah didakwa melanggar aturan berpakaian.
Patriarki
Untuk menjamin pemenuhan hak perempuan dan anak perempuan, Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan dan pelanggaran hak terhadap perempuan di Afghanistan, Iran, Myanmar, Rusia, Sudan Selatan, dan Suriah. Inggris akan mengikuti langkah UE dengan menjatuhkan sanksi atas Iran, Suriah, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah, Rabu pekan depan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menegaskan, hak-hak perempuan sudah disalahgunakan, diancam, dan dilanggar di seluruh dunia. Mengingat situasi saat ini, kesetaraan jender dikhawatirkan tidak akan tercapai selama 300 tahun. ”Kemajuan yang sudah diperoleh selama beberapa dekade ini menghilang karena patriarki melawan balik,” ujarnya.
Contoh paling kentara dan paling baru adalah Mahkamah Agung AS yang mengakhiri hak konstitusional untuk aborsi. Banyak negara juga mengadopsi pembatasan aborsi.
AP PHOTO/MARTIN MEJIA
Perempuan dari kelompok adat di Peru meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintahan Presiden Dina Boluarte selama pawai Hari Perempuan Internasional, di Lima, Peru, Rabu (8/3/2023). Peru berada di tengah krisis politik karena penentang pemerintah menuntut pengunduran diri Boluarte dan pembubaran Kongres.
Di Eropa, isu unjuk rasa lebih berfokus pada kesetaraan ekonomi. Puluhan ribu perempuan turun ke jalan menuntut upah atau gaji yang setara. Gaji pekerja perempuan di Perancis rata-rata 15,8 persen di bawah gaji pekerja laki-laki. Unjuk rasa itu berfokus pada protes terhadap usulan perubahan sistem pensiun yang menurut para aktivis perempuan tidak adil bagi ibu yang bekerja.
Protes itu terjadi beberapa jam setelah pemerintahan Presiden Emmanuel Macron mempresentasikan rencana kesetaraan jender baru. Aturan itu melarang perusahaan yang tidak menerbitkan indeks kesetaraan jender atau memiliki peringkat buruk untuk mendapatkan kontrak publik.
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengumumkan langkah-langkah untuk mendukung dan melindungi perempuan setelah selama bertahun-tahun mengalami kemunduran. Menurut dia, situasi ini sebagian dipicu kebangkitan kekuatan sayap kanan di masa kepemimpinan Presiden Jair Bolsonaro. Lula mengajukan rancangan undang-undang yang akan menjamin upah yang sama bagi perempuan dan laki-laki yang melakukan pekerjaan yang sama. Ia berkomitmen akan mengalokasikan 73 juta dollar AS untuk membangun tempat penampungan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Tuntutan akan upah yang lebih tinggi dan pekerjaan yang layak juga digaungkan ratusan pengunjuk rasa dari berbagai kelompok perempuan di Manila, Filipina. ”Kami melihat kesenjangan gaji yang paling lebar antara laki-laki dan perempuan. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jumlah pekerja perempuan di pekerjaan informal juga bertambah dan ini mengkhawatirkan karena tidak ada perlindungan sama sekali,” kata salah satu pemimpin unjuk rasa, Joms Salvador. (AFP/AP)