Indonesia sangat berkepentingan untuk menghentikan perang di Ukraina. Sebab, isu pokok perang ini adalah pelanggaran kedaulatan suatu negara. Isu kedaulatan menjadi salah satu inti kebijakan luar negeri Indonesia
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
ANTON NOVODEREZHKIN, SPUTNIK, KREMLIN POOL PHOTO VIA AP
Presiden Rusia Vladimir Putin menerima Kepala Kebijakan Luar Negeri Partai Komunis China Wang Yi, Rabu (22/2/2023), di Moskwa, Rusia. China berpeluang menjadi juru damai perang Ukraina.
Jakarta, Kompas - Duet China-Turki berpeluang menjadi juru pendamai Rusia-Ukraina. Penghentian perang jadi kepentingan Indonesia dan banyak negara. Sebab, imbas perang dirasakan Indonesia dan ratusan negara.
Pendiri Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan, Presiden China Xi Jinping menjadi orang yang paling didengar Presiden Rusia Vladimir Putin. China juga telah mengeluarkan sikapnya soal perang itu. “China perlu diberi kesempatan,” ujarnya dalam diskusi “Ukraine on Fire : One Year of Resistence”, Jumat (24/2/2023), di Jakarta.
Mantan Duta Besar Indonesia di Kyiv Yuddy Chrisnandi dan dosen Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra hadir sebagai pembicara. “China telah meminta dialog,” kata Dino.
Dino menganjurkan China diberi kesempatan menjadi pendamai dalam perang itu. Amerika Serikat dan sekutunya diharapkan tidak terus menekan China soal perang Ukraina.
Kementerian Luar Negeri China memang sudah mengeluarkan 12 sikap China soal Ukraina. Sikap pertama China adalah penghormatan kedaulatan semua negara. China meminta penghentian permusuhan dan memulai lain perundingan damai.
Beijing juga mendesak pelindungan warga sipil, tawanan perang, dan keamanan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sanksi sepihak perlu dihentikan dan rantai pasok global harus dijaga. Beijing menunjukkan keberimbangan dalam 12 sikap itu. China menyalahkan sekaligus membela Rusia dalam sikap resmi tersebut.
Radityo mengatakan, dialog dalam perang Ukraina bisa dilakukan bila baku tembak dihentikan. Karena itu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah meminta Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Dalam kondisi sekarang, permintaan itu bisa dilakukan China atau Turki. Sebab, kedua negara itu kini paling dekat dengan Rusia.
AFP/TURKISH PRESIDENTIAL PRESS SERVICE
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di sela pertuam di Astana pada Oktober 2022.
Sejauh ini, Turki berhasil menjalan peran sebagai penengah Rusia-Ukraina. Sebagai salah satu anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Turki menolak bergabung dengan Amerika Serikat dan sekutunya menyanksi Rusia.
Posisi Indonesia
Yuddy mengatakan, posisi sekarang tidak lagi memerlukan penengah. Ukraina kini perlu solidaritas dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Indonesia pun seharusnya bisa memanfaatkan modal diplomasinya untuk mendorong penyelesaian perang. “Posisi Indonesia sejak awal sudah benar,” kata dia.
Hubungan Presiden Joko Widodo dengan Xi dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sangat baik. Pejabat Indonesia juga dekat dengan para pejabat China dan Turki. “Manfaatkan itu untuk mendorong Putin agar mau menghentikan serangan lalu mulai perundingan,” ujarnya.
Indonesia juga punya modal amat kuat untuk berbicara dengan Amerika Serikat pemimpin NATO dan penyokong utama Ukraina. Indonesia pemimpin tradisional ASEAN, negara berpenduduk muslim terbanyak, dan negara muslim dengan perekonomian terbesar. Dengan semua modal itu, Indonesia bisa mendekati AS dan membahas kekhawatiran semua pihak lalu mencari solusinya.
Radityo mengatakan, Indonesia sangat berkepentingan untuk menghentikan perang di Ukraina. Sebab, isu pokok perang ini adalah pelanggaran kedaulatan suatu negara. Isu itu kerap coba disamarkan dengan berbagai cerita lain. Isu kedaulatan jelas menjadi salah satu inti kebijakan luar negeri Indonesia.
Kepentingan lain Indonesia adalah karena perang Ukraina sangat mengganggu rantai pasok global. Dalam perekonomian global yang sangat terhubung satu sama lain seperti sekarang, guncangan di satu negara atau wilayah bisa berdampak di negara atau kawasan lain. Apalagi, jika perannya besar seperti Rusia dan Ukraina dalam pasar energi dan pangan global.