Satu dari Dua Perempuan Meninggal Per Menit akibat Komplikasi Kehamilan
Perempuan-perempuan global masih menghadapi risiko tinggi komplikasi di masa kehamilan dan persalinan yang mengancam nyawa.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
AFP/JOEL SAGET
Seorang perempuan hamil berjalan di Paris, Perancis, 13 Mei 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengeluarkan laporan terbaru mengenai mortalitas perempuan hamil. Secara umum, ada penurunan 34 persen kasus kematian dalam 20 tahun terakhir, tetapi angka kematian masih tinggi.
”Kehamilan yang seharusnya menjadi masa bahagia dan dinantikan, bagi sebagian perempuan masih menjadi masalah, bahkan risiko yang mengancam jiwa,” kata Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus ketika meresmikan peluncuran laporan itu pada Rabu (22/3/2023) malam waktu Geneva, Swiss, atau Kamis (23/2/2023) pagi waktu Indonesia.
Gebreyesus menjelaskan, persoalan kematian akibat komplikasi kehamilan dan melahirkan ini mayoritas terjadi di negara-negara miskin. Jumlah tertinggi atau 70 persen dari kasus terjadi di negara-negara Afrika Sub-Sahara yang mencakup wilayah mayoritas dari benua yang memiliki 54 negara tersebut.
Namun, kenaikan yang signifikan justru terjadi di negara-negara maju, yaitu Eropa dan Amerika Utara, dengan penambahan kasus hingga 17 persen. Bahkan, hanya empat wilayah yang dilaporkan mengalami penurunan kasus kematian ibu hamil dan melahirkan secara signifikan, yaitu Australia dan Selandia Baru sebesar 35 persen; dan juga wilayah Asia Tengah serta Asia Barat sebesar 16 persen.
Laporan WHO menyebutkan, per tahun 2000, angka kematian perempuan hamil dan melahirkan adalah 339 per 100.000 kelahiran. Jumlah ini turun menjadi 223 kematian per 100.000 kelahiran pada tahun 2020.
Namun, angka ini masih tinggi karena berarti 800 perempuan meninggal setiap jam akibat komplikasi kehamilan maupun persalinan. Jika mau lebih ekstrem, bisa dikatakan satu dari dua perempuan meninggal setiap dua menit.
CLAIRE NEVILL/WFP VIA AP
Letemariam, ibu dari enam anak yang salah satunya masih bayi, duduk di kemah pengungsi di Eritrea pada 21 Agustus 2021. Letemariam berasal dari Tigray, wilayah utara Etiopia yang dilanda konflik. Ia terpaksa menjadi pengungsi ketika sedang hamil tujuh bulan.
”Penyebab kematian bermacam-macam. Kami mengategorikan menjadi pendarahan, infeksi, komplikasi akibat penyakit bawaan, dan ada pula akibat aborsi yang tidak aman,” kata Jenny Cresswell, penyusun laporan tersebut.
Ia menjelaskan, semua kategori ini sejatinya bisa dicegah dengan akses ke layanan kesehatan reproduksi yang berkeadilan dan baik. Pendidikan masyarakat juga harus ditingkatkan karena perempuan berhak atas kesehatan reproduksinya.
”Perlu ada pendidikan keluarga mengenai perencanaan kehamilan yang baik. Artinya, memberi jarak untuk setiap kehamilan agar gizi ibu dan janin tercukupi, pengasuhan bersama untuk menciptakan lingkungan tempat tinggal yang sehat, dan pemantauan medis teratur,” kata Cresswell.
Di dalam laporan itu disebutkan bahwa dunia mengalami kekurangan bidan sebanyak 900.000 orang. Bahkan, jika disandingkan dengan data Departemen Kesehatan Amerika Serikat, negara tersebut mengalami kekurangan layanan kesehatan reproduksi di klinik-klinik pratama.
Depkes AS menyebutkan, 25 persen kematian ibu hamil dan melahirkan di AS selama tiga tahun belakangan adalah akibat pandemi Covid-19. Penularan virus SARS-CoV-2 mengakibatkan komplikasi. Selain itu, juga ada masalah keterlambatan penanganan karena kurangnya tenaga kesehatan akibat sibuk mengurusi pasien yang tertular Covid-19.
Terdapat pula kesenjangan akibat diksriminasi ras. Laporan Badan Statistik Nasional AS menyebut, perempuan kulit hitam terkaya memiliki risiko komplikasi kehamilan dan persalinan lebih besar dibandingkan perempuan kulit putih termiskin.
Angka kematian perempuan hamil dan melahirkan di AS per tahun 2022 adalah 26,1 per 100.000 kelahiran untuk kulit putih; 27,5 per 100.000 kelahiran untuk kelompok etnis Hispanik; dan 68,9 per 100.000 kelahiran untuk kelompok masyarakat berkulit hitam.
”Diskriminasi rasial mengakibatkan tekanan mental lebih besar bagi perempuan kulit hitam. Selain itu, masih banyak kasus buruknya pelayanan kesehatan yang diberikan kepada perempuan kulit berwarna di berbagai fasilitas kesehatan,” kata Nailah Thompson, dokter kandungan di Klinik Kaiser Permanente, yang banyak mengadvokasi hak kesehatan reproduksi bagi perempuan kulit berwarna ketika diwawancara oleh Fox News. (AFP)