Nikki Haley Menantang Donald Trump, Seberapa Kuat dan Tahan?
Mantan Gubernur South Carolina dan Dubes AS di PBB, Nikki Haley, bakal menantang bekas bosnya di Gedung Putih, Donald Trump. ”Ia turun ke gelanggang ring seperti petinju kelas ringan,” tulis majalah ”The Economist”.
Nikki Haley, mantan Duta Besar AS untuk PBB, tepat pada hari Valentine, Selasa (14/2/2023), resmi mengajukan diri sebagai bakal calon presiden AS dari Partai Republik untuk pemilu tahun 2024. Ia politisi kedua di Republik, setelah mantan Presiden Donald Trump, yang akan bertarung memperebutkan tiket pencalonan menuju Gedung Putih.
Trump sudah lebih dulu mengumumkan pencalonannya, 15 November 2022. Otomatis, Haley—perempuan berusia 51 tahun—akan menantang Trump, sosok yang memberinya jabatan Dubes AS di PBB, di konvensi internal Partai Republik. Andai menang dan lolos di konvensi partai, Haley menantang calon presiden (capres) Partai Demokrat yang hingga kini belum mengumumkan kandidatnya.
Baca Juga: Trump Mantap Maju ”Nyalon”, Biden Masih Pikir-pikir
”Sudah saatnya tampil generasi baru pemimpin—untuk menemukan kembali tanggung jawab keuangan, menjaga perbatasan kita, serta memperkuat negara, kebanggaan, dan tujuan kita,” kata Haley dalam video pencalonan dirinya.
Sehari setelah mengumumkan pencalonan dirinya, Haley langsung berkampanye. Pilihan pertamanya adalah Charleston, Negara Bagian South Carolina. Di negara bagian ini, Haley menjabat gubernur pada 2011-2017. Saat itu, ia menjadi gubernur termuda di AS—dalam usia 39 tahun—serta perempuan gubernur pertama dan gubernur kulit berwarna pertama di South Carolina.
”Belum lewat masa kejayaan Amerika. Yang sudah lewat itu adalah para politisi kita,” kata Haley di hadapan ratusan orang yang hadir. Ia juga menyoroti seringnya Republik kalah dukungan suara rakyat (popular vote) dalam beberapa pemilu terakhir.
Penyebabnya, ujar Haley, adalah para politisi Republik ”gagal meraih kepercayaan mayoritas rakyat Amerika”. Solusinya, lanjut dia, adalah ”berikan kepercayaan itu kepada generasi baru”.
Kata-kata dalam pidato kampanyenya itu jelas ditujukan untuk menyengat Presiden Joe Biden. Presiden asal Partai Demokrat ini telah berusia 80 tahun. Ia presiden tertua dalam sejarah AS. Biden belum mengumumkan secara resmi pencalonan dirinya untuk pemilu pada 2024. Diperkirakan, tak lama lagi pencalonan Biden akan dideklarasikan.
Namun, kata-kata tersebut bisa juga dimaksudkan sebagai sentilan kepada Trump, rivalnya sesama republik. Trump sudah berusia 76 tahun. Apalagi, dalam kampanye perdana itu, Haley juga menyatakan dukungan terhadap ”uji kompetensi mental yang wajib diikuti para politisi berusia 75 tahun ke atas”.
Kampanye kedua Haley berlokasi di Exeter, sekitar utara Boston, Negara Bagian New Hampshire selatan. Bagi Republikan, New Hampshire memiliki posisi penting. Trump memenangi pemilihan pendahuluan (primary) New Hampshire tahun 2016, sebelum kemudian memenangi tiket ke Gedung Putih. Hal serupa dipetik Trump pada 2020, tetapi kali ini ia terhenti dan kalah dari Biden.
Baca Juga: Tumbangnya Penjaga Konservatisme Partai Republik, Alarm Kebangkitan Trump
Di Exeter, Haley kembali menangkat isu kekalahan Republik dalam memenangi suara rakyat. ”Itu artinya Republikan melakukan kesalahan. (Partai harus) berhenti membahas isu-isu lama dan kita harus mulai memandang ke depan,” ujarnya di hadapan sekitar 300 peserta kampanye.
Diragukan
Terlepas dari semua retorika di awal-awal kampanyenya, pencalonan Haley untuk merebut tiket pertarungan menuju Gedung Putih dipandang sebelah mata. Ini bukan hanya terkait survei dan jajak pendapat mengenai dukungan rakyat AS kepada para bakal calon (balon) capres.
Dalam survei yang digelar Reuters/Ipsos pada 6-13 Februari 2023, Haley hanya memperoleh 4 persen dari anggota Republik. Ini sangat jauh dari angka dukungan terhadap Trump (43 persen) dan Gubernur Florida Ron DeSantis (31 persen). DeSantis diperkirakan juga akan mengajukan pencalonan dirinya.
Jajak pendapat terbaru YouGov/Yahoo, yang dikutip majalah The Economist, memperlihatkan gambaran tak jauh berbeda. Hanya 5 persen pemilih Republik mendukung Haley. Adapun dukungan terhadap Trump dan DeSantis secara berurutan meraup 37 persen dan 35 persen.
Baca Juga: Awas! Serangan Balik Trump
The Economist menyebut, dengan postur kekuatan yang tidak imbang, seperti tecermin antara lain dalam survei saat ini, pertarungan yang diramaikan dengan kehadiran Haley menjadi tidak menarik. ”Haley turun ke gelanggang ring seperti petinju kelas ringan,” tulis majalah asal Inggris itu.
Haley turun ke gelanggang ring seperti petinju kelas ringan.
Media-media utama di AS, yang selama ini kritis terhadap kubu Republik, tak kalah sinis dan pedasnya dalam menguliti pencalonan Haley. Sambil menggarisbawahi adanya kharisma personal pada diri Haley—iklim politik di Republik dianggap lebih menonjolkan aspek persona ketimbang ide atau gagasan, surat kabar Wall Street Journaldalam tajuk rencananya menyebut ”tidak ada alasan yang jelas tentang pencalonan dirinya”.
Para kolumnis dan penulis rubrik opini di koran The New York Timesbahkan sudah berani menyimpulkan ”Nikki Haley tidak akan menjadi presiden berikutnya”. ”Dia mungkin bukan kandidat yang mampu lolos dalam pemilihan pendahuluan (primary) Partai Republik,” ujar Rosie Gray, salah satu dari para kolumnis itu.
Seperti diketahui, sebelum pemilu, sebagian besar kandidat presiden harus menjalani serangkaian pemilihan pendahuluan (primary) dan kaukus. Meski cara dua proses itu berbeda, tujuannya sama, yakni memberi kesempatan kepada negara-negara bagian di AS untuk menominasikan para kandidat di pemilu.
Rekam jejak kepemimpinan politik Haley bisa ditelusuri, antara lain saat ia menjadi Gubernur South Carolina (2011-2017). Namanya mencuri perhatian nasional pada 2015 saat, sebagai gubernur, ia memerintahkan pelucutan bendera perang Konfederat di Gedung Capitol South Carolina menyusul pembunuhan sembilan warga kulit hitam oleh warga pemuja supremasi kulit putih, Dylann Roof.
Baca Juga: Menanti Cerita Sisi Kelam Sejarah AS dari Kapsul Waktu di Patung Jenderal Lee
Namun, empat tahun kemudian, Haley menuai kritik. Dalam sebuah wawancara tahun 2019, ia menyebut bendera perang Konfederat itu melambangkan ”pelayanan, pengorbanan, dan warisan. Makna itu, kata Haley, dibajak oleh Roof, sang pembunuh”.
Bukan itu saja. Haley juga menuding, dalam kasus itu, media berupaya mendikte narasi seputar kasus pembunuhan tersebut. ”Mereka ingin membuat (kasus) terkait rasisme. Mereka ingin membuat (kasus) ini mengenai pengendalian senjata,” ujarnya.
Waktu itu, JA Moore, anggota DPRD South Carolina dari Demokrat, yang kehilangan saudara perempuannya dalam pembunuhan tersebut, menyebut Haley ”yang terus-menerus memanfaatkan tragedi itu untuk tujuan politik, menjijikkan”.
Sering balik badan
The Economist, majalah terbitan Inggris, menyentil sinis saat, melalui buku tentang dirinya yang diterbitkan pada Oktober 2022, Haley menyamakan diri dengan Margaret Thatcher, PM Inggris pada era Perang Dingin. ”Dua perempuan sama-sama tidak takut pada musuh yang menghadang di depannya. Namun, sementara Sang Perempuan Tangan Besi tak pernah mau berubah pendirian, Haley terlalu sering balik badan,” tulis The Economist.
Terlahir dengan nama lengkap Nimrata Nikki Randhawa, di Bamberg, South Carolina, Haley adalah keturunan imigran Sikh Punjabi dari India. Keluarganya menjalankan bisnis butik pakaian.
Pada 1996, ia menikah dengan Michael Haley, teman kuliahnya di Jurusan Akuntasi Universitas Clemson. Pasangan itu punya dua anak. Selepas kuliah, ia sempat membantu bisnis pakaian orangtuanya sebelum bekerja dengan memegang jabatan senior di perusahaan swasta.
Pada 2004, Haley memasuki kancah politik setelah menduduki kursi anggota DPRD South Carolina. Tiga periode menjadi anggota legislatif, ia kemudian menjadi gubernur.
Pada pemilu tahun 2016, Haley bersikap kritis terhadap Trump. Dalam pemilu itu, ia adalah pendukung lawan-lawan Trump. Ia pernah menyebut Trump mencerminkan ”semua hal yang tak ingin dilakukan oleh anak-anaknya di taman kanak-kanak”. Pada pemilu tahun itu, Haley pendukung senator asal Florida, Marco Rubio, dan kemudian Ted Cruz asal Texas.
Baca Juga: Romantika Donald Trump dan Pendukungnya
Namun, seperti sentilan The Economist, ia balik badan menjadi pendukung Trump setelah diberi jabatan Duta Besar AS untuk PBB. Ia mundur sebagai gubernur South Carolina tahun 2017. Dua tahun ia berkantor di Markas Besar PBB, New York.
Selama menjadi Dubes AS di PBB, Haley secara konsisten mendorong kebijakan luar negeri AS yang sangat pro-Israel. Di eranya, pemerintahan Trump memindahkan kantor kedubesnya di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem pada akhir 2017. Haley terang-terangan menyatakan, melindungi Israel adalah prioritas misinya di PBB.
Selama menjadi Dubes AS di PBB, Haley secara konsisten mendorong kebijakan luar negeri AS yang sangat pro-Israel. Ia terang-terangan menyatakan, melindungi Israel adalah prioritas misinya di PBB.
Setelah mundur dari posisi Dubes AS di PBB sebelum pemilu midterm, November 2018, sempat muncul spekulasi bahwa Haley akan menantang Trump di bursa capres asal Republik pada pemilu 2020 atau menggantikan posisi Mike Pence sebagai wapres. Namun, ia memilih pulang kampung ke South Carolina, dengan kerap tampil sebagai pembicara dan menulis dua buku.
Haley secara terbuka mengkritik Trump setelah peristiwa amuk pendukung Trump di Capitol, 6 Januari 2021. Namun, seperti cerita lama sebelumnya, ia kembali berubah sikap. Pada suatu kesempatan di tahun 2021, ia menegaskan tidak akan menantang Trump dalam memperebutkan tiket ke Gedung Putih. Tak sampai dua tahun, Haley balik badan lagi.
Baca Juga: Trump yang Kontroversial, Trump yang Mungkin Akan Kembali
”Nikki Haley selalu punya masalah besar dengan Donald Trump,” kata Miles Taylor, co-founder Forward Party dan anggota staf Dewan Keamanan Nasional saat Haley menjadi bagian dari jajaran Trump di Gedung Putih.
”Seperti kebanyakan dari kami, ia diam-diam membenci presiden. Kemudian, ia secara terbuka tampil menjadi pendukung berat presiden—dan itu sangat jelas alasannya. Nikki Haley punya ambisi politik yang sangat besar,” ujar Taylor, seperti dikutip BBC.
Partai yang tak normal
Haley masih memiliki waktu cukup panjang, lebih dari 20 bulan, untuk mempersiapkan diri menuju pertarungan sengit. Di Republik, selain Trump dan DeSantis, beberapa nama diperkirakan bakal muncul di bursa balon capres, seperti mantan Wakil Presiden Mike Pence, mantan Menlu Mike Pompeo, dan Senator Tim Scott.
Dari nama-nama tersebut, Trump diperkirakan masih sulit digoyahkan. Setelah melakukan transformasi Partai Republik dari nilai-nilai arus utama konservatisme menuju politik ketokohan atau kultus personal lewat kemenangan tahun 2016, ia berhasil membangun basis pendukung yang solid hingga hari ini.
Bagi Haley, menantang Trump berarti harus siap dengan menghadapi retorika-retorika seksisnya, termasuk kecenderungan menyerang fisik dan performa. Hal ini pernah dialami Hillary Clinton, capres dari Demokrat, dalam pertarungan pemilu pada 2016 dan dialami Carly Fiorina, perempuan kandidat Republikan yang menentang Trump dalam persaingan untuk tiket kursi presiden.
”Dalam kondisi partai yang normal, (pencalonan) dia (Halley) perlu dianggap serius. Dia terampil secara politik, tidak pernah kalah dalam pemilu, punya pengalaman domestik dan kebijakan luar negeri, pernah menjadi gubernur yang populer,” sebut David Brooks, kolumnis The New York Times.
”(Sosoknya) mewakili konservatisme di kalangan pemilik GOP (Partai Republik) dan mengangkat platform terselubung berbunyi: Mari kita akhiri kekacauan ini dan menjadi populis, tetapi tetap bijaksana,” lanjut Brooks. ”Masalahnya, apakah GOP bakal kembali menjadi partai yang normal?” (AP/AFP/REUTERS)