Ratusan Juta Penduduk Dunia Terancam Kenaikan Permukaan Air Laut
Permukaan air laut naik lebih cepat sejak 1900. Ratusan juta orang yang tinggal di pesisir dan dataran rendah terancam tenggelam. Komunitas internasional didesak segera bertindak sebelum semuanya terlambat.
NEW YORK, SELASA — Sedikitnya 900 juta orang yang bermukim di daerah pesisir dataran rendah di seluruh dunia terancam dengan permukaan air laut yang mengalami kenaikan lebih cepat sejak tahun 1900. Kenaikan konsisten tanpa henti itu menempatkan negara-negara seperti Bangladesh, China, India, dan Belanda dalam bahaya.
Permukaan air laut akan naik secara signifikan bahkan jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5 derajat celsius yang menjadi target komunitas internasional. Kenaikan permukaan air laut ini juga dikhawatirkan akan menenggelamkan negara-negara kepulauan kecil.
Hal ini dikemukakan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam pertemuan pertama Dewan Keamanan PBB tentang ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional dari kenaikan permukaan laut, Selasa (14/2/2023). Selain negara-negara yang terancam, kota-kota besar di setiap benua juga akan menghadapi dampak serius, termasuk Kairo, Lagos, Maputo, Bangkok, Dhaka, Jakarta, Mumbai, Shanghai, Kopenhagen, London, Los Angeles, New York, Buenos Aires, dan Santiago.
Guterres menekankan, setiap sepersekian derajat dalam pemanasan global itu amat menentukan karena kenaikan permukaan laut bisa berlipat ganda jika suhu naik 2 derajat celsius. Muka air laut akan semakin naik jika terjadi kenaikan suhu lagi.
Baca juga: Permukaan Laut Naik, Selandia Baru Punya Program "Bedol Desa"
Organisasi Meteorologi Dunia merilis data yang menjelaskan tingginya ancaman dari kenaikan permukaan air laut ini. Permukaan air laut dunia meningkat lebih cepat sejak 1900 dibandingkan abad sebelumnya dalam 3.000 tahun terakhir. Laut di seluruh dunia menghangat lebih cepat selama satu abad terakhir. Menurut data yang dikutip Guterres, permukaan laut rata-rata global akan naik 2-3 meter selama 2.000 tahun ke depan jika pemanasan dibatasi hingga 1,5 derajat celsius.
Dengan kenaikan 2 derajat celsius, laut bisa naik hingga 6 meter dan dengan kenaikan 5 derajat celsius, laut bisa naik hingga 22 meter. ”Dunia ini meluncur melewati batas pemanasan 1,5 derajat celsius yang dibutuhkan jika hendak memiliki masa depan yang layak huni,” kata Guterres.
Konsekuensi dari kenaikan permukaan air laut ini tidak terbayangkan. Masyarakat yang tinggal di dataran rendah bisa menghilang. Dunia akan menyaksikan eksodus massal seluruh populasi. Persaingan untuk mendapatkan air tawar, tanah, dan sumber daya lainnya juga akan semakin sengit.
Guterres sudah mencoba menarik perhatian dunia untuk menyadari risiko bahaya yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan segera bertindak. Pada Oktober 2022, ia memperingatkan dunia sedang berada dalam situasi ”perjuangan hidup atau mati” untuk bertahan hidup ketika krisis iklim terjadi. Ia juga menuding 20 negara terkaya di dunia gagal melakukan lebih banyak hal untuk menghentikan Bumi agar tidak kepanasan.
Pada November 2022, Guterres menyatakan Bumi sedang menuju ke arah ”kekacauan iklim” yang sudah tidak bisa diubah. Untuk itu, ia mendesak para pemimpin dunia agar mengurangi emisi, menepati janji pembiayaan iklim, dan membantu negara-negara berkembang mempercepat transisi mereka ke energi terbarukan.
Baca juga: Target Perjanjian Paris Memperburuk Ketidakadilan Iklim bagi Negara Kepulauan
Kesepakatan Paris yang diadopsi pada 2015 untuk mengatasi perubahan iklim menyebutkan, suhu global naik maksimal 2 derajat celsius pada akhir abad ini dibandingkan dengan masa pra-industri dan sedekat mungkin dengan target 1,5 derajat celsius. Dunia didesak agar mengatasi krisis iklim sebagai akar penyebab kenaikan permukaan air laut dan DK PBB memiliki peran penting dalam membangun kemauan politik.
Duta Besar Samoa untuk PBB Fatumanava-o-Upolu III Pa’olelei Luteru, yang berbicara atas nama Aliansi Negara Pulau Kecil, mengatakan, ada sejumlah contoh baru dari dampak perubahan iklim di pulau-pulau kecil, mulai dari pasang surut hingga badai luar biasa dan kenaikan permukaan air laut yang tidak terbendung yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dampak terhadap masyarakat dan perekonomian pulau-pulau itu akan luar biasa. Kelangsungan hidup dan kelanjutan keberadaan mereka sebagai negara terancam.
Negara-negara anggota aliansi itu adalah penghasil emisi gas rumah kaca terendah yang mendorong perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. ”Namun, kami menghadapi konsekuensi paling parah dari kenaikan permukaan laut. Mengharapkan negara pulau kecil untuk menanggung beban kenaikan permukaan laut tanpa bantuan dari komunitas internasional itu akan menjadi puncak ketidakadilan,” ujarnya.
Luteru menegaskan, kerja sama untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut hukumnya wajib bagi setiap negara. Ada kebutuhan mendesak bagi negara-negara untuk memenuhi komitmen internasional mereka terhadap perubahan iklim dan keuangan. Duta Besar Kepulauan Marshall Elizabeth Amatlain Kabua menambahkan, banyak strategi dan peralatan untuk mengatasi perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut yang sudah masuk dari DK PBB. Kini yang dibutuhkan adalah aksi konkret dan kemauan politik untuk segera bertindak.
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Linda Thomas-Greenfield juga mengatakan, ancaman kenaikan permukaan laut nyata dan merupakan akibat langsung dari krisis iklim. ”Ini jelas masuk dalam masalah perdamaian dan keamanan internasional. DK PBB harus mengambil tindakan. Dampak terburuk bisa dihindari tetapi harus dilakukan sekarang dan harus bersama-sama,” ujarnya.
Baca juga: Kota-kota Pesisir Asia Tenggelam Lebih Cepat daripada Kenaikan Permukaan Laut
Presiden Majelis Umum PBB Csaba Kőrösi mengatakan, dari data Program Penelitian Iklim Dunia disebutkan, dengan kecepatan kenaikan saat ini, permukaan air laut akan naik menjadi 1-1,6 meter lebih tinggi ketimbang tahun 2100. Di kawasan Delta Nil dan Mekong yang merupakan dua dari beberapa daerah pertanian terkaya di dunia, 10-20 persen lahan suburnya akan tenggelam. Kenaikan permukaan laut yang dipicu iklim juga memicu persoalan baru soal identitas nasional dan negara. ”Apa yang terjadi pada kedaulatan suatu negara, termasuk keanggotaan PBB, jika sudah tenggelam di bawah laut?” ujarnya. (AP)