Integrasi ekonomi ASEAN melalui skema Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah berlangsung sejak 2015. Sejumlah perkembangan dihasilkan tetapi perdagangan stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepemimpinan Indonesia untuk Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN pada 2023 menjadi kesempatan yang baik untuk memaksimalkan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA. Meski skema yang telah berjalan mulai 2015 itu menumbuhkan integrasi ekonomi kawasan, perdagangan dan investasi antarnegara ASEAN masih stagnan rendah.
Presiden Joko Widodo meluncurkan kepemimpinan RI untuk ASEAN dalam acara Kick Off ASEAN Indonesia 2023 di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (29/1/2023). Hadir pada kesempatan tersebut, antara lain, para duta besar dan perwakilan tetap negara sahabat, sejumlah menteri, dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.
Kepala Negara menuturkan, dirinya meyakini ASEAN masih penting dan relevan bagi rakyat, kawasan, dan dunia. ”ASEAN akan terus berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di Indo-Pasifik. ASEAN akan terus dapat menjaga pertumbuhan ekonomi dan ASEAN matters epicentrum of growth,” katanya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang mendampingi Presiden menambahkan, sejarah ASEAN selalu terkait urusan ekonomi. Selama ini, pertumbuhan ASEAN biasanya lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi global. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 adalah 1,7 persen. Sementara Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan ASEAN akan tumbuh 4,7 persen.
Retno menjelaskan, ada dua elemen besar dari tema yang diusung pada kepemimpinan ASEAN 2023. ”Elemen pertama adalah Asian matters, (yakni) bagaimana Indonesia dan keketuaannya tetap menjadikan ASEAN itu relevan dan penting tidak hanya bagi rakyat Indonesia, tetapi juga bagi rakyat ASEAN. Dan, beyond, jadi beyond-nya itu ada di luar ASEAN,” ujarnya.
Indonesia, Retno melanjutkan, juga ingin ASEAN tetap memegang peran sentral sehingga dapat menjadi motor dan berkontribusi bagi stabilitas dan perdamaian kawasan. Kawasan dimaksud di sini adalah sudah sampai pada Indo-Pasifik, sebagai kawasan strategis dengan rivalitas tinggi.
”Oleh karena itu, Bapak Presiden mengatakan, kita ingin menjadikan ASEAN memegang peranan yang sangat penting, menjadi lokomotif untuk menggerakkan agar Indo-Pasifik itu tetap menjadi kawasan yang damai dan stabil,” kata Retno.
Pada 2019, pendapatan domestik bruto (PDB) ASEAN melalui MEA adalah 3,2 triliun dollar AS. Jumlah ini menempatkan ASEAN di peringkat ketiga di Asia dan peringkat lima di dunia dalam hal PDB tahun itu.
Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), perdagangan intra-ASEAN pada 2019 menyumbang 22,5 persen dari total perdagangan di kawasan. Namun, pangsa perdagangan intra-ASEAN ini lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 23 persen.
Porsi perdagangan dengan mitra dagang ASEAN juga sedikit turun pada 2019 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini kecuali China yang naik dari 17,1 persen pada 2018 menjadi 18 persen pada 2019 dan Amerika Serikat dari 9,3 persen pada 2018 yang naik menjadi 10,5 persen pada 2019.
Pada 2019, pasar eksternal terbesar untuk ekspor ASEAN adalah China (14,2 persen), diikuti AS (12,9 persen), Uni Eropa (10,8 persen), dan Jepang (7,7 persen).
Dalam hal investasi asing langsung, intra-anggota ASEAN menempati urutan pertama dengan porsi 19,4 persen dari total investasi langsung asing di kawasan. Setelah itu, disusul investasi dari Uni Eropa (UE) sebesar 9,6 persen dan China sebesar 8,2 persen.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional Zamroni Salim menjelaskan, perdagangan intraanggota ASEAN sudah stagnan sejak 2008. Hingga sekarang, angkanya berkisar 21-25 persen. Permasalahan hulu adalah minimnya investasi intraanggota. Di sisi hilir, logistik di negara-negara ASEAN masih belum memadai.
Singapura merupakan investor nomor satu di antara negara ASEAN. Padahal, negara kota itu adalah negara berbasis jasa. Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina harus menggenjot investasi sebagai negara-negara manufaktur besar di kawasan.
”Jika belum bisa investasi intraanggota, bisa investasi intraindustri. Misalnya, Thailand membuka pabrik di Indonesia dan Indonesia membuka pabrik di Thailand. Ini mengembangkan perdagangan baru, salah satunya di bahan baku industri,” tutur Zamroni, peneliti senior di The Habibie Centre ini.
Uni Eropa, menurut dia, pasar intraanggotanya bisa 65-75 persen per tahun karena tidak hanya bergantung dari investasi negara. Capaian itu juga berkat keaktifan perusahaan-perusahaan menanam modal di sesama negara anggota.
Sekretaris Pusat Studi ASEAN Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choiruzzad menerangkan, struktur ekonomi negara-negara anggota ASEAN belum memungkinkan untuk menghasilkan pasar intraanggota yang besar dan dinamis seperti UE.
”Ekonomi anggota ASEAN belum komplementer karena produk-produk yang dihasilkan relatif sama. Misalnya, hasil industri ekstraktif, pertanian, dan manufaktur dengan nilai tambah rendah seperti tekstil. Produk-produk ini tidak bisa diekspor ke sesama anggota ASEAN sehingga dijual ke Eropa, Jepang, China, dan lain-lain,” ujarnya.
Menurut Shofwan, MEA belum bisa seperti UE yang terintegrasi sebagai pasar tunggal karena ekonomi mereka lebih maju dan unik pada setiap anggota. Terlebih dulu, MEA harus berbicara soal basis produksi. Ini berarti menjadikan ASEAN kawasan terintegrasi dari jenis-jenis produk yang dibuat dan memudahkannya masuk rantai pasok dunia. Oleh sebab itu, prinsip ekonomi di ASEAN harus berlandaskan asas saling melengkapi.
Persaingan AS dengan China merupakan tantangan bagi stabilitas baik di kawasan maupun global. Akan tetapi, itu juga peluang ekonomi karena jika AS dan China sama-sama ingin melepas ketergantungan satu sama lain.
”ASEAN masih berlandaskan regionalisme developmental yang dibangun lewat kesepakatan regional dan internasional,” tuturnya. Dalam hal ini, ASEAN dilihat sebagai satu pasar ataupun satu sumber produksi sehingga komoditas yang dihitung berdasarkan jenis jumlah, dan bukan kekhususan setiap negara anggota.
Ia berpendapat, persaingan AS dengan China merupakan tantangan bagi stabilitas baik di kawasan maupun global. Akan tetapi, itu juga peluang ekonomi karena jika AS dan China sama-sama ingin melepas ketergantungan satu sama lain, mereka sama-sama mencari negara-negara sahabat untuk dijadikan wilayah penanaman modal dan bahkan juga pengalihan pabrik. Kedua aspek ini bisa dimanfaatkan untuk membangun produksi komoditas yang berbeda-beda di setiap anggota ASEAN dan di saat yang sama terintegrasi.