Rawan Pangan Melanda Prajurit Amerika Serikat
Potensi kerawanan pangan di kalangan prajurit AS mencapai 14 persen, sementara masyarakat awam hanya 10,5 persen. Adapun kerawanan pangan prajurit keturunan Hispanik dan dari kulit berwarna lebih tinggi.
Kekurangan makan di kalangan prajurit tidak hanya dialami negara yang ekonominya bermasalah seperti Lebanon dan Korea Utara. Amerika Serikat, negara dengan anggaran pertahanan terbesar, menghadapi isu itu selama bertahun-tahun dan semakin akut dari waktu ke waktu.
Seperti jenderal di negara lain, jenderal-jenderal AS tahu pentingnya menjaga perut prajurit tetap penuh. Mereka tidak lupa banyak pasukan kalah karena kekurangan makanan dan pasokan logistik. ”Tentara berperang di atas perutnya,” demikian kata Napoleon soal pentingnya memastikan tentara tidak kelaparan.
Namun, banyak tentara AS kekurangan makan. Dalam laporan RAND pada Januari 2023, paling tidak 25,8 persen prajurit AS tergolong kelompok rawan pangan dengan aras beragam. Bahkan, menurut kajian lembaga AS yang fokus pada isu pertahanan itu, 15 persen di antara seluruh prajurit AS tergolong kelompok amat rawan pangan. Di antara kelompok itu terdapat tentara berpangkat setara kopral dan sersan. Dengan kata lain, mereka sudah lama menjadi tentara negara yang disebut punya militer terkuat di dunia.
Baca juga: Anggaran Pertahanan AS Tahun 2022 Tembus Rp 11.000 Triliun
Lebih mengejutkan lagi, kerawanan pangan tertinggi justru terjadi di antara prajurit yang tinggal di asrama. Padahal, mereka mendapat tunjangan perumahan dan membutuhkan lebih sedikit biaya transportasi ke dan dari kantor. Dengan demikian, seharusnya mereka punya lebih banyak dana untuk makanan.
Menggunakan kriteria dari berbagai lembaga, RAND menggolongkan prajurit rawan pangan jika mengurangi jatah makan. Pengurangan dalam bentuk memotong anggaran pembelian makan dan memangkas jumlah waktu makan.
Bantuan makan
RAND menemukan, prajurit yang tergolong rawan pangan cenderung enggan mengambil bantuan makanan gratis. Bantuan itu biasanya diberikan sejumlah lembaga amal dan lembaga pemerintah. Alasan utama prajurit tidak mengambil bantuan itu adalah khawatir ketahuan komandan.
Masalah lain adalah aturan Departemen Pertahanan AS yang melarang prajurit mengakses program bantuan makanan gratis. ”Banyak warga AS tidak tahu ini. Kita punya militer terkuat di dunia. Namun, banyak prajurit berpangkat rendah berpotensi kelaparan. Bagaimana mereka fokus mempertahankan demokrasi kalau mereka cemas anaknya bisa makan atau tidak?” kata Senator AS yang juga veteran perang, Tammy Duckworth.
Veteran lain yang juga menjadi senator, mendiang John McCain, lebih dulu mempersoalkan isu kerawanan pangan di kalangan prajurit AS. Sebagai purnawirawan, ia mengaku sedih karena rekan-rekannya di militer AS terpaksa mengandalkan jatah makanan gratis agar bisa bertahan hidup. Padahal, mereka berisiko kehilangan nyawa selama bertugas. ”Sangat mengejutkan ada begitu banyak tempat pembagian makanan gratis untuk prajurit. Hal ini amat memalukan,” kata Vince Hall dari Feeding America.
Baca juga: Perang Gelembungkan Utang Pemerintah AS
Lembaga itu salah satu penyedia makanan gratis dan punya lebih dari 200 titik distribusi di seluruh AS. Lembaga itu menaksir, setidaknya 160.000 prajurit AS tergolong rawan pangan. Prajurit dengan pangkat hingga setara kopral paling banyak masuk kelompok itu.
Masalah lama
Sorotan McCain menunjukkan kerawanan pangan menjadi isu lama di militer AS. Berbagai pihak sudah menyoroti itu. Beberapa bulan setelah dilantik, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin menyoroti masalah kerawanan pangan di antara prajurit dan keluarganya.
Salah satu solusi di masa jabatan Austin adalah tunjangan kebutuhan dasar menjadi salah satu pos belanja dalam anggaran pertahanan AS 2022. Lembaga kajian AS, CSIS, menyebut Austin salah satu dari sedikit Menhan AS yang serius mengurus masalah kerawanan pangan di kalangan prajurit dan keluarga prajurit.
Wajar Austin menyoroti isu itu. Tingkat kerawanan di kalangan prajurit dan veteran AS lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat awam. Pada 2020, potensi kerawanan pangan di kalangan prajurit AS mencapai 14 persen, sementara di masyarakat awam hanya 10,5 persen.
CSIS dan Departemen Pertanian AS juga menemukan, kerawanan pangan keluarga prajurit keturunan Hispanik dan dari kulit berwarna lebih tinggi dibandingkan prajurit kulit putih. Prajurit yang punya anak pun lebih rawan pangan dibandingkan tanpa anak. Deptan AS juga menemukan, risiko rawan pangan di kelompok veteran tentara AS 7,4 kali lebih tinggi dibandingkan warga nonveteran.
Perhatian Austin mengindikasikan ada perubahan di Pentagon. Pengajar Ilmu Pemerintahan di Syracuse University, Colleen Heflin, menyebut ada penyangkalan bertahun-tahun di Pentagon atas masalah itu. ”Sulit sekali menjelaskan isu itu kepada pejabat Departemen Pertahanan. Mereka merasa isu itu memalukan dan sebaiknya tidak diakui,” ujarnya.
Negara lain
Kerawanan pangan bukan hanya menjadi masalah di militer AS. Krisis ekonomi membuat angkatan bersenjata Lebanon (LAF) juga menghadapi masalah itu selama bertahun-tahun. Panglima LAF Jenderal Joseph Aoun menyebut, anggota LAF merasakan kesulitan seperti warga lain di Lebanon.
Baca juga: Menanti Perubahan di Lebanon
Krisis ekonomi tidak hanya membuat LAF kesulitan menjalankan banyak tugasnya. Sebab, banyak anggota LAF lebih sibuk memikirkan perut dibandingkan memenuhi tugasnya. Sebelum 2019, gaji sersan LAF setara 860 dollar AS (sekitar Rp 12,9 juta) per bulan. Kini, gaji mereka hanya setara 90 dollar AS (Rp 1,3 juta) per bulan. Padahal, harga aneka kebutuhan hidup melonjak.
Markas besar LAF kini tidak lagi memprioritaskan pembelian persenjataan baru. Fokus LAF memastikan ada roti dan lauk untuk prajurit dan keluarganya. Dengan demikian, prajurit tidak merasa ditinggalkan sendirian. Jika perasaan itu timbul di tengah kesulitan seperti sekarang, dikhawatirkan prajurit LAF malah membantu pihak yang mengacaukan keamanan Lebanon.
Isu kelaparan juga menjadi masalah lama di Korea Utara. Daily NK, media Korea Selatan yang fokus pada isu-isu Korut, menyebut banyak tentara Korut kelaparan kala tugas mereka meningkat. Perwira setingkat kolonel di Korut pun terlihat kekurangan makan dan malnutrisi. ”Jika perwira saja kondisinya seperti itu, prajurit berpangkat lebih rendah bisa lebih buruk lagi keadaannya,” demikian dilaporkan NK Daily.
Sebagian prajurit hanya mendapatkan ransum sehari sekali. Untuk bertahan hidup, sebagian memakan umbi-umbian liar. Kondisi itu juga membuat sejumlah pihak menduga kondisi warga awam jauh lebih buruk. Sebab, selama ini militer Korut mendapatkan pasokan lebih baik dibandingkan warga biasa.
Badan Intelijen Nasional (NIS) Korsel menyebut, Korut beberapa kali melepaskan cadangan beras nasional untuk mengatasi kelaparan di kalangan warga dan tentaranya. Keputusan itu dibuat karena cadangan pangan di rumah tangga berkurang akibat gagal panen.
Masalahnya, cadangan Korut juga terbatas. Untuk 26 juta warganya, Korut butuh cadangan pangan total 5,5 juta ton. Sepanjang 2021-2022, cadangan Korut di bawah kebutuhan nasionalnya.
Baca juga: Nuklir, Kekuatan yang Melemahkan Korea Utara
Persoalan Korut memburuk selama pandemi Covid-19 melanda. Selama ini, kalau ada gagal panen di dalam negeri, Korut bisa membeli dari China. Selama pandemi, Beijing menutup total perbatasannya. Karena itu, mustahil bagi Korut mendapat pasokan dari China.
Kelaparan dan gizi buruk bukan isu baru bagi Korut, termasuk di kalangan tentaranya. Sejumlah negara pun dapat mengerti jika Korut dan Lebanon mengalami itu. Hal yang sulit dimengerti, tentara AS pun bermasalah soal pangan. (AFP/AP/REUTERS)