Meski pandemi mereda, nyatanya suasana Natal yang sejatinya meriah kini terasa berubah bagi mereka yang merayakan di luar Indonesia. Di Eropa, kecamuk perang dan bayangan resesi berdampak.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE, M IKHSAN MAHAR, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
DENTY PIAWAI NASTITIE
Sepasang warga menyaksikan paduan suara Natal di kota lama, Praha, Ceko, Rabu (!4/12). Kehadiran paduan suara menyemarakkan festival Natal di Praha.
Victoria (22), mahasiswa asal Ukraina, merasa hampa. Ia tak tahu bagaimana akan merayakan Natal di Praha, Ceko, yang kini menjadi rumah barunya setelah perang pecah. Rumah sementara ini diperoleh kakak iparnya dari perusahaan tempatnya bekerja.
”Perang membuat hidup saya berantakan. Saya tidak bisa lagi membuat rencana. Termasuk Natal, saya tidak tahu bagaimana akan merayakannya,” ujarnya.
Sejak Maret 2022, ia bersama ibu, kakak ipar, ibunda kakak ipar, dan dua keponakan perempuan mengungsi ke Praha karena kampung halaman di Kharkiv rusak karena bom dan rudal dari Rusia. Sementara ayah dan kakak laki-lakinya tetap bertahan di Ukraina. ”Itu adalah pengalaman terburuk dalam hidup saya,” katanya.
Bagi Victoria, Natal tahun ini terasa lebih suram. Padahal, Natal selama ini menjadi momen favoritnya. Setiap Natal, salju turun membuat kampung halamannya di Ukraina berwarna putih. ”Saya tidak bisa mengingat Natal tanpa salju,” ujarnya.
Ia juga menceritakan. selama Natal, masyarakat memasang lampu-lampu di berbagai sudut kota. ”Satu-satunya hal yang menghibur, Praha sangat cantik dan memiliki Christmas Market yang sangat indah,” ujarnya.
The Guardian mencatat, kemegahan Natal di negara-negara Eropa tak seperti biasanya. Banyak kota yang memangkas pengeluaran untuk lampu natal. Beberapa kota di Perancis dan Jerman mematikan lampu natal lebih cepat dari biasanya untuk menghemat energi, seperti di Mulhouse Timur, lampu terpaksa dinyalakan sejak pukul 17.00, biasanya dari pukul 10.00.
Kota-kota di Jerman, seperti Regensburg, Muenchen, dan Bamberg, juga serupa. Lampu natal di Bremen yang biasanya menyala sejak Oktober hingga Februari kini hanya bertahan dari November hingga Januari. Di Düsseldorf, lampu natal hanya menyala selama lima jam, tidak seperti biasanya 15 jam.
Meskipun ada pemangkasan energi di sejumlah kota di Eropa, kemeriahan Natal tetap terasa. Praha, misalnya, memoles dirinya untuk menyambut Natal.
Kota ini bersinar dengan pohon natal raksasa dan lampu yang dipasang di depan Gereja St Nicholas, di kota lama Praha. Di sekitar gereja juga terdapat pasar Natal, yang menjual berbagai pernak-pernik khas Natal, makanan seperti waffle dan pancake, serta minuman hangat. Christmas Market ini menjadi magnet bagi masyarakat dan turis untuk berkumpul di tengah kota.
DENTY PIAWAI NASTITIE
Paduan suara Natal di kota lama, Praha, Ceko, Rabu (!4/12). Kehadiran paduan suara ini menyemarakkan festival Natal di Praha.
Toleransi
Suasana Natal juga tak terasa di Qatar. Meskipun Piala Dunia telah selesai, Minggu (18/12/2022), tak ada hiasan-hiasan natal yang terpasang di ruang publik dan pusat kegiatan masyarakat, seperti mal.
Dekorasi di tempat-tempat favorit masyarakat Qatar untuk menghabiskan waktu bersama keluarga itu masih didominasi nuansa Piala Dunia yang ditandai kehadiran bendera-bendera 32 negara peserta pesta sepak bola terakbar itu. Lalu masih ada pula poster-poster besar yang menampilkan La’eeb, maskot Qatar 2022.
Dekorasi Natal hanya bisa dilihat di sejumlah hotel-hotel bintang lima yang menjadi pilihan favorit turis asing dan ekspatriat untuk menginap.
DOKUMENTASI GEREJA IFGF QATAR
Anak-anak menampilkan tarian pada perayaan Natal di Gereja Interntaional Full Gospel Fellowship (IFGF) Qatar di Doha, Sabtu (17/12/2022). Pemerintah Qatar memfasilitasi umat Kristiani beribadah dengan mendirikan pusat keagamaan.
Meski begitu, Pemerintah Qatar tidak menutup mata dengan kehadiran umat Nasrani. Pada 2005, Emir Qatar kala itu, Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani, menyetujui pembangunan kompleks keagamaan yang menjadi sentra sejumlah gereja di Abu Hamour, Doha.
Gereja umat Katolik menjadi gereja pertama yang hadir di kompleks keagamaan itu. Sejak 2008, umat Katolik di Doha dan sekitarnya bisa melaksanakan ibadah di gereja yang bisa menampung lebih dari 2.000 orang itu.
”Kami merasakan toleransi yang besar dari Qatari (sebutan warga Qatar asli) dan Pemerintah Qatar. Selain toleransi, Pemerintah Qatar juga melindungi dan memberikan fasilitas yang baik agar kami bisa beribadah,” ujar diaspora Indonesia yang tinggal di kawasan Al Rayyan, Albertus Retnanto.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Suasana makan siang di kediaman Profesor Albertus Retnanto, Guru Besar Teknik Perminyakan Universitas Texas A&M di Qatar, yang terletak di Doha, Jumat (23/12/2022). Setiap menjelang Natal, keluarga Profesor Albertus Retnanto mengundang diaspora Indonesia yang berada di Qatar untuk berkumpul menikmati makanan sekaligus menjadi ajang bertemu di sela kesibukan masing-masing.
Hari itu, Albertus dan istrinya, Paulina Tati Kurwati, menjamu 26 orang Indonesia untuk menyambut Natal. Sate ayam, bakso, empal gentong dipadu karak cai, minuman khas Qatar, mewarnai acara hari itu.
Sementara itu, komunitas Kristiani Indonesia lainnya di Qatar juga menyelenggarakan perayaan Natal. Mereka melaksanakan perayaan Natal anak- anak di Gereja International Full Gospel Fellowship (IFGF), Sabtu (17/12/2022).
Agenda tahunan untuk menyambut Natal itu memadukan ibadah dengan pentas seni, seperti tarian anak-anak, drama, performa musik, dan ditutup dengan pembagian hadiah dari Sinterklas.
Esra Selvia Gurning, Koordinator Pelayanan Anak Gereja IFGF Qatar, mengungkapkan, perayaan Natal anak-anak itu juga diikuti oleh warga negara lain, seperti Filipina, Kenya, dan Amerika Serikat.
”Sekitar 100 anak hadir meramaikan kegiatan kami tahun ini. Tujuan kami menyelenggarakan kegiatan itu agar anak- anak bisa bersukacita,” tutur Esra.
Kangen rasa kekeluargaan
Menurut Deonisius Pradipta Aprisa (25), mahasiswa Universiteit Gent di Belgia, perayaan Natal di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Saat di negeri sendiri, rasa kekeluargaan antar-umat terasa sebab warga saling mengenal satu sama lain sehingga tampak ”guyub”. Hal itu tak ditemukan saat ia merayakan Natal di negara-negara Eropa selama ini. Namun, perayaan memang tampak ramai secara historis dan budaya, bukan dari aspek keagamaan. ”Tapi rindu guyubnya dan bareng keluarga,” ujar Deo.
Natal memang berbeda kali ini bagi sebagian orang. Namun, makna kekasih dan bahagia dengan keluarga tetap menjadi napas yang tak lekang.