Bukan Pelanduk di Antara Gajah
Nyaris tidak tersedia banyak tempat bagi negara kecil untuk bersuara di berbagai forum internasional. Dunia perlu menyadari negara kecil berhak didengar dan bukan hanya menerima saja apa pun keputusan negara besar
Pada masa presidensi Indonesia, G20 tidak hanya untuk negara terkaya di bumi. Indonesia menggunakan presidensi untuk menyuarakan kepentingan negara kecil.
Peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November 2022 bukan hanya 19 negara dan satu organisasi kawasan yang menjadi anggota G20. Indonesia juga mengundang Belize, Belanda, Fiji, Kamboja, Rwanda, Selandia Baru, Senegal, Singapura, Spanyol, Swiss, dan Uni Emirat Arab.
Belize diundang dalam kapasitas sebagai Ketua Komunitas Negara-negara Karibia (Caricom). Terdiri atas 15 negara, Caricom merupakan kumpulan negara kepulauan kecil di timur Amerika.
Baca juga Presidensi G20 Turut Tandai Era Asia
Seperti Caricom, anggota Forum Negara Kepulauan Pasifik (PIF) juga terdiri atas negara kepulauan kecil. Tahun ini, PIF dipimpin Fiji. ”Presidensi kita bukan hanya memperjuangkan kepentingan G20. Indonesia membawa suara negara berkembang,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi.
Sementara dari Afrika hadir Rwanda dan Senegal. Tahun ini, Rwanda menjadi Ketua Kemitraan untuk Pembangunan Afrika (Nepad). Adapun Senegal menjadi Ketua Uni Afrika. ”Baru kali ini Presidensi G20 mengundang negara-negara kepulauan kecil,” ujar Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat.
Indonesia tentu tidak melupakan tempat tinggalnya. Karena itu, dalam kapasitas sebagai Ketua ASEAN, Kamboja diundang ke Bali. Indonesia juga mengajak Singapura hadir.
Indonesia tidak hanya memperjuangkan agar investasi dan alih teknologi untuk transisi energi masuk ke Indonesia. Indonesia juga berusaha mendorong hal itu ke negara berkembang lainnya.
Indonesia konsisten menjalankan perannya sebagai pembawa suara negara berkembang. Ini sudah dilakoni Indonesia selama puluhan tahun. Dulu, Indonesia menjadi pelopor Gerakan Non-Blok (GNB). Reaktualisasi GNB masa kini antara lain dilakukan lewat pelibatan negara-negara kecil dan berkembang ke KTT G20.
Koordinator Pelaksanaan Agenda Presidensi Indonesia, Dian Triansyah Djani, mengatakan, negara-negara kecil diundang karena mereka paling terdampak dari isu yang diperjuangkan Indonesia. Selama menjadi Ketua G20, Indonesia mengusung isu pemulihan dari dampak pandemi Covid-19, perubahan iklim, serta transisi menuju energi bersih dan terbarukan.
Indonesia memberi panggung agar suara mereka didengar. Bahkan, Indonesia mengupayakan suara mereka menjadi bahan penyusunan kebijakan internasional.
Negara-negara kepulauan kecil di Pasifik dan Karibia terancam kehilangan wilayah gara-gara kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan laut salah satu dampak perubahan iklim. Sayangnya, nyaris tidak tersedia banyak tempat bagi mereka untuk bersuara di berbagai forum internasional.
Oleh karena itu, Indonesia memberi panggung agar suara mereka didengar. Bahkan, Indonesia mengupayakan suara mereka menjadi bahan penyusunan kebijakan internasional. Dunia perlu menyadari bahwa negara-negara kecil berhak didengar dan bukan hanya menerima saja apa pun keputusan negara besar.
Mereka perlu diberi tempat bersuara dan dilibatkan dalam perumusan kebijakan internasional. Mereka tidak boleh hanya menjadi pelanduk saat para gajah internasional bertarung.
Dalam isu perubahan iklim, negara-negara kepulauan kecil berhak mendapatkan kontribusi negara maju. Sebab, sulit ditampik bahwa perubahan iklim dipicu penggunaan energi fosil secara besar-besaran oleh negara maju selama hampir dua abad terakhir. Sementara negara-negara kecil nyaris tidak berkontribusi pada penambahan emisi global.
Dari UE, ada tiga negara diundang yakni Belanda, Jerman, dan Spanyol. Jerman diundang dalam kapasitas sebagai ketua bergilir G7. Juni lalu, Jerman mengundang Indonesia hadir di KTT G7 dalam kapasitas sebagai ketua G20.
Dalam isu perubahan iklim, negara-negara kepulauan kecil berhak mendapatkan kontribusi negara maju.
Indonesia tidak hanya memperjuangkan agar investasi dan alih teknologi untuk transisi energi masuk ke Indonesia. Indonesia juga berusaha mendorong hal itu ke negara berkembang lainnya. Indonesia tetap konsisten menjalankan perannya sebagai pembawa suara negara berkembang.
Peran sebagai pembawa suara negara berkembang sudah dilakoni Indonesia selama puluhan tahun. Dulu, Indonesia menjadi pelopor gerakan non-blok (GNB). Reaktualisasi GNB masa kini antara lain dilakukan lewat pelibatan negara-negara kecil dan berkembang ke KTT G20.
Koordinator Pelaksanaan Agenda Presidensi Indonesia Dian Triansyah Djani mengatakan, negara-negara kecil diundang karena mereka paling terdampak dari isu yang diperjuangkan Indonesia. Selama menjadi ketua G20, Indonesia mengusung isu pemulihan dari dampak pandemi Covid-19, perubahan iklim, serta transisi menuju energi bersih dan terbarukan.
Negara-negara kepulauan kecil di Pasifik dan Karibia terancam kehilangan wilayah gara-gara kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan laut salah satu dampak perubahan iklim. Sayangnya, nyaris tidak tersedia banyak tempat bagi mereka untuk bersuara di berbagai forum internasional.
Indonesia mencoba memberi tempat agar suara mereka didengar. Bahkan, Indonesia mengupayakan suara mereka jadi bahan penyusunan kebijakan internasional.
Oleh karena itu, Indonesia mencoba memberi tempat agar suara mereka didengar. Bahkan, Indonesia mengupayakan suara mereka jadi bahan penyusunan kebijakan internasional. Dunia perlu menyadari bahwa negara-negara kecil berhak didengar dan bukan hanya menerima saja apa pun keputusan negara besar.
Dalam isu perubahan iklim, negara-negara kepulauan kecil berhak mendapatkan kontribusi negara maju. Sebab, sulit ditampik bahwa perubahan iklim dipicu penggunaan energi fosil secara besar-besaran oleh negara maju selama hampir dua abad terakhir.
Sementara negara-negara kecil nyaris tidak berkontribusi pada penambahan emisi global. Selain jejak karbonnya rendah, konsumsi energi di negara-negara kecil juga nyaris tidak ada apa-apanya dibandingkan negara maju di Amerika Utara dan Eropa.
Selama menjadi ketua, kata Dian, Indonesia mendorong komitmen dan inisiatif nyata. Untuk itu, Indonesia tidak hanya mengejar pernyataan dan permainan kata diplomatis. Indonesia memprioritaskan agar komunitas internasional menghasilkan proyek nyata untuk alih teknologi dalam pengembangan energi terbarukan, pendanaan penanggulangan pandemi, hingga infrastruktur untuk mitigasi perubahan iklim.
Baca juga G20 Fokus pada Aksi Konkret Bersama
“Tidak mau hanya narasi, permainan kata, kita ingin komitmen diterjemahkan menjadi proyek nyata,” kata dia.
Agar proyek-proyek itu selaras dengan kebutuhan negara kecil dan berkembang, maka mereka perlu diberi tempat bersuara. Mereka perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan internasional. Mereka tidak boleh hanya menjadi pelanduk saat para gajah internasional bertarung. (RAZ)