Hiperinflasi Bisa Picu Krisis Ekonomi Terburuk sejak PD II
Keadaan ekstrem di sektor keuangan sekarang ini muncul seiring dengan berakhirnya era uang mudah yang berlangsung sejak 2010-an di Barat. Ini juga membuka letupan krisis yang bisa melampaui semua krisis pasca-PD II.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
Hiperinflasi bisa memicu krisis ekonomi terbesar sejak Perang Dunia (PD) II. Jangan lengah hanya karena dunia telah pernah mengalami stagnasi dan inflasi ala dekade 1970-an, kejatuhan pasar pada 1987, letupan besar bisnis berbasis internet pada awal 2000-an, atau krisis 2008. Hiperinflasi yang sedang terjadi di Barat dan banyak negara lain bisa memicu krisis lebih buruk dari yang pernah terjadi sejak PD II.
Demikian diingatkan Paul Singer, pendiri Elliott, perusahaan hedge fund yang berbasis di Florida, AS, seperti dikutip harian Inggris, The Financial Times, 3 November 2022. Perusahaan pengelola dana investasi sebesar 56 miliar dollar AS itu memberikan peringatan kepada para nasabahnya.
Peringatan tersebut muncul saat nilai-nilai saham global telah anjlok 28 triliun dollar AS sepanjang 2022, berdasarkan data media Bloomberg. Nilai-nilai obligasi juga telah jatuh sehingga membuat investor hanya memiliki sedikit tempat untuk berlindung. Indeks saham S&P telah anjlok 20 persen sejak mencapai masa puncaknya pada awal 2022. Indeks Nasdaq juga anjlok 33 persen.
Hiperinflasi yang dimaksud merujuk pada deretan angka inflasi di AS dan Eropa yang mendekati 10 persen. Ini deretan angka inflasi dengan rekor-rekor baru dalam 40 tahun terakhir di negara-negara maju, yang terbiasa dengan inflasi sangat rendah.
Kepada para nasabah, Singer mengingatkan situasi yang menantang secara ekstrem bagi perekonomian global serta bagi pasar keuangan. Situasi itu akan membuat para nasabah atau investor akan sulit mencetak untung.
Elliott mengingatkan lagi potensi kerugian lebih besar setelah sepanjang 2022 pasar bergejolak. Keadaan ekstrem di sektor keuangan sekarang ini muncul seiring dengan berakhirnya era uang mudah yang berlangsung sejak 2010-an di Barat. Ini membuka letupan krisis yang bisa melampaui semua krisis pasca-PD II.
Tidak jujur
Elliott menyebutkan, para pembuat kebijakan di bank-bank sentral tidak jujur soal penyebab inflasi. Mereka menyalahkan akar inflasi sebagai akibat gangguan pasokan global ketimbang akibat kebijakan uang ekstra longgar, terutama pada puncak pandemi Covid-19 pada 2020. Bank Sentral AS (Fed), misalnya, gencar menyebut invasi Ukraina oleh Rusia sebagai penyebab inflasi.
Hanya saja, kemudian Gubernur Fed Jerome Powell mengakui bahwa inflasi sudah meningkat sebelum invasi Rusia. Data-data di Eropa juga menunjukkan inflasi inti, setelah menghilangkan unsur kenaikan energi, juga bergerak naik sebelum invasi. Meski demikian, Fed sempat mengabaikan ancaman inflasi, yang diakui Powell dan Menkeu AS Janet Yellen.
Elliott melanjutkan, hiperinflasi bisa membawa kejatuhan pada kehidupan masyarakat secara global dan berpotensi memunculkan pertikaian global. Opini Elliott memiliki dasar kuat. China, misalnya, kini gencar menyudutkan kebijakan moneter AS.
”Negara-negara utama seharusnya menjalankan kebijakan ekonomi yang bertanggung jawab dan menghindari efek negatif akibat kebijakan yang turut mengorbankan kepentingan banyak negara berkembang,” kata Presiden China Xi Jinping, sebagaimana dikutip media The South China Morning Post, 14 Oktober 2022.
”Telah terbukti lagi dan lagi, sanksi-sanksi Barat menjadi bumerang karena berefek ganda dan kebijakan moneter juga mencederai kepentingan sendiri dan negara-negara lain,” lanjut Xi.
Elliott mengingatkan, berbagai bursa belum terlalu anjlok karena ada aksi-aksi berisiko yang sedang berlangsung dan mencoba menahan kejatuhan indeks. Namun, Elliott mengingatkan rally pasar hampir mencapai puncak dan bisa seketika berbalik arah dengan kejatuhan yang lebih jauh.
Ada hal menakutkan dan kemungkinan ada efek negatifyang sangat serius sehingga sulit mengabaikan potensi munculnya letupan terbesar. Diperkirakan pasar bisa anjlok 50 persen dari puncaknya.
Likuiditas pasar mengering
Argumentasi Elliott sangat masuk akal. Setelah kemunculan hiperinflasi makin kuat, bank-bank sentral menaikkan suku bunga. Perekonomian AS dan Eropa yang dibuai suntikan uang beredar dari bank-bank sentral berbunga murah mendadak kehilangan pasokan uang murah.
Hal itu menyebabkan pengeringan likuiditas di pasar uang. Pasar obligasi Inggris yang dihidupkan pasokan uang Bank Sentral Inggris kini terganggu karena berkurangnya pasokan dana. Pasar obligasi terbitan pemerintahan di zona euro, yang juga terbiasa diguyur uang berbunga negatif oleh Bank Sentral Eropa, kini juga menjerit karena kenaikan suku bunga dan berkurangnya pasokan dana.
Hal serupa terjadi di AS. Pasar obligasi terbitan Pemerintah AS beromzet 24 triliun dollar AS kini mengalami pengurangan likuiditas. Itu artinya, ketersediaan uang yang menggerakkan pasar obligasi mengering. Padahal, dana-dana itu diperlukan untuk transaksi obligasi harian yang setiap hari silih berganti pemilik seperti berlangsung selama ini.
”Likuiditas ada di tingkat yang lebih rendah secara historis. Likuiditas rendah akan memperkuat potensi gejolak pasar dan kemungkinan akan membuat pasar tidak berfungsi,” demikian pernyataan Fed, Jumat (4/11/2022). (AFP/AP/REUTERS)