Merawat Kenangan Masa Lalu di Kota Air Beijing
Kota air Beijing atau Beijing WTown terletak di Desa Gubeikou, dibangun semasa Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1911). Suasananya paduan antara kota tua di China dan Venesia karena kanal-kanalnya.
Masih ingat adegan aktor Hollywood, Tom Cruise, berlari-lari di atas atap rumah dan gang-gang di kota air Xitang, Provinsi Zhejiang, China, dalam film Mission Impossible III? Pemandangan dan suasana di Beijing WTown atau Kota Air Beijing kurang lebih seperti Xitang.
Bedanya, seluruh desain bangunan berbatu abu-abu di kota air Beijing lebih kuno dan tampak seperti benteng pertahanan dengan gerbang dan tembok tinggi yang mengelilingi kota.
”Jangan jauh-jauh dari saya, ya. Banyak gang dan jalan berliku yang mirip. Orang sering bingung lalu tersesat,” kata Lee, pemandu wisata Resor Internasional Beijing WTown (Tembok Besar Simata), Minggu (2/10/2022) pagi.
Perjalanan dari pusat kota Beijing ke Beijing WTown sejauh 140 kilometer memakan waktu hampir 3 jam karena jalan tol yang padat di musim liburan Hari Nasional China. Selama hari nasional, pemerintah memberi hari libur selama sepekan sejak 1 Oktober. Sekitar 30 menit sebelum tiba di Beijing WTown, ada tempat istirahat di jalan tol.
Berbeda dengan jalan tol di Pulau Jawa yang komplet bahkan terkadang lebih mirip mal, tempat istirahat di sini lebih sederhana berisi stasiun pengisian bahan bakar umum, satu bangunan untuk toilet umum, serta satu atau dua kedai penjual makanan dan minuman.
Baca juga: Berburu Panorama Matahari Terbit di Simatai
Lee tidak mengada-ada soal kemungkinan tersesat karena gang di Beijing WTown yang terletak di Desa Gubeikou, Distrik Miyun, ini berliku-liku dan bangunan berbatunya mirip. Meleng sedikit, orang bisa nyasar. Suasana Minggu pagi itu juga padat pengunjung meski tengah hujan sehingga sejauh mata memandang yang terlihat hanya payung aneka warna.
Begitu hujan reda, pemandangan menjadi lebih jelas. Suasana kota air ini seperti kota tua di film-film berlatar kerajaan China. Pada musim gugur seperti sekarang, pepohonan dan tanaman rambat menjadi lebih berwarna karena berubah menjadi merah dan kuning.
Sambil berjalan, Lee bercerita, ratusan tahun yang lalu semasa Dinasti Liao (916-1125) dan Dinasti Jin (1115-1234), Desa Gubeikou menjadi markas pasukan yang penting untuk mencegah musuh masuk ke Beijing dari arah timur Laut China. Daerah ini juga dulu sering menjadi medan pertempuran hingga akhirnya dibangun Tembok Besar Simata.
Gubeikou kemudian menjadi daerah dengan penduduk yang datang dari beragam etnis dan budaya. ”Dari zaman kuno, tempat ini sudah menjadi bejana peleburan orang dari sejumlah daerah,” ujarnya.
Desa ”buatan”
Namun, Gubeikou yang sekarang menjadi salah satu lokasi favorit masyarakat China ini bukan desa yang asli semasa Dinasti Liao dan Jin. Seluruh bangunan di Beijing WTown ini baru dibangun pada tahun 2014 dan desainnya dibuat sama dengan Gubeikou semasa Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1911).
Semula, kami mengira ini desa yang betul-betul kuno dan asli karena desain bangunannya tampak kuno. ”Ini semua buatan, ya? Saya kira kuno betulan. China pintar bikin tempat-tempat seperti ini, ya,” kata Mereleki, wartawan dari Kepulauan Fiji, yang nyaris tersesat di tempat itu.
Beijing WTown mencakup area seluas 9 kilometer persegi. Tempat ini buka pukul 09.00 sampai 21.00. Jika pengunjung merasa tak cukup waktu mengeksplorasi Beijing WTown dalam sehari, tersedia wisma dan hotel di dalam ataupun di sekitar kawasan. Pengunjung yang tinggal di dalam kawasan bisa jalan-jalan keliling tanpa batasan waktu.
Seperti umumnya tempat wisata, di dalam Beijing WTown tersedia banyak kedai makanan, restoran, dan toko oleh-oleh. ”Sebenarnya pemandangan di sini lebih indah ketika malam karena lampu-lampunya bagus, apalagi kalau dilihat dari Simatai,” kata Lee.
Baca juga: Keluar sebagai ”Pahlawan” di Tembok Besar
Waktu satu hari memang tidak cukup untuk menjelajahi Beijing WTown, terlebih saat musim libur. Kesempatan bagi kami untuk keliling kawasan ini pun terbatas, hanya empat jam. Ketika hari semakin siang, pengunjung kian berjubel. Padahal, konon jumlah pengunjung sudah dibatasi sesuai dengan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19.
Lantaran waktu yang terbatas, Lee hanya mengajak kami mengunjungi dua lokasi yang populer, yakni tempat pembuatan minuman keras, Sima. Begitu masuk ke tempat ini, aroma fermentasi tercium menyengat.
Di dalam terlihat berjejer tong-tong setinggi kurang lebih 50 sentimeter. Di dalamnya terdapat beras dan sorgum yang sedang menjalani proses fermentasi. Proses pembuatan minuman keras ini sudah dilakukan warga Gubeikou sejak zaman Liao.
Bagi pengunjung yang penasaran dengan rasanya, minuman keras Sima dijual seharga 118 RMB (sekitar Rp 252.000) untuk botol kecil. Jika berlama-lama di ruangan penyulingan Sima, barangkali orang bisa mabuk hanya karena menghirup aromanya. ”Mari segera keluar dari sini. Kami tidak mau membuat Anda semua jadi mabuk,” kata Lee sambil tertawa.
Baca juga: Serba Masa Depan di Negeri Masa Lalu
Setelah penyulingan Sima, Lee membawa kami ke Rumah Pewarna Youngshun yang sudah ada sejak tahun 1900. Pendiri rumah pewarna ini, Zhang Jukui, dikenal terampil mewarnai kain dengan pewarna alami sejak berusia muda. Bahan-bahan alami yang ia gunakan antara lain daun buah biwa (Eriobotrya japonica) dan bunga kacapiring (Gardenia jasminoides ellis).
Warna yang dihasilkan dan muncul di kain membuat kainnya terlihat seperti kain lawas. Di dalam ruang pamernya ditunjukkan tong-tong berisi pewarna alami yang dipakai untuk pencelupan kain. Sayang, tidak ada orang yang mendemonstrasikan proses pencelupannya. Hanya tendapat kain-kain sudah jadi yang dipajang.
Keluar dari rumah pewarna Yongshun, kami diajak menyusuri gang-gang dan menikmati pemandangan kanal yang mengelilingi Beijing WTown. Di kanal itu, ramai perahu-perahu beratap yang bisa dinaiki keliling kota. Sebenarnya rombongan wartawan dari sejumlah negara yang berkunjung ingin merasakan naik perahu, tetapi tidak jadi setelah melihat antrean yang panjang. Antrean panjang juga terlihat pada setiap kedai jajanan dan restoran. Rupanya, sudah waktu makan siang.
Simatai
Selain bagian dalam Beijing WTown, tujuan wisata lain yang menarik di kawasan ini adalah Tembok Besar Simatai yang merupakan situs warisan dunia. Simatai adalah satu-satunya bagian dari Tembok Besar China yang mempertahankan penampilan aslinya seperti saat dibangun semasa Dinasti Ming. Seluruh bagian Simatai dibangun menyesuaikan kondisi geografis perbukitan yang curam, terutama bagian Menara Wangjing yang dibangun di puncak paling curam di ketinggian ribuan meter.
Oleh UNESCO, Tembok Besar Simatai ini disebut sebagai ”Tembok Besar yang asli”. Anak-anak tangganya curam dan temboknya juga rendah sehingga dianggap Tembok Besar yang paling berbahaya, tetapi sekaligus diklaim yang paling indah.
Simatai awalnya dibangun selama Dinasti Qi Utara (550-577), lalu dilanjutkan semasa Dinasti Ming. Panjang bagian Simatai ini mencapai 5,4 kilometer dan terdapat 36 menara pengawas. Simatai terletak di dekat Waduk Danau Yuanyang. Karena waktu yang terbatas juga, kami tak bisa naik ke Simatai. Kali ini hanya bisa memandangi Simatai dari kejauhan.
Baca juga: Turis China Terkunci di Negaranya, Asia Tenggara Lirik Sumber Turis Alternatif
”Lain kali kalian harus datang ke sini lagi. Memang tidak akan puas hanya sekali datang. Saya punya tamu langganan yang ke sini sampai 20 kali. Kalau kalian ke sini lagi, nanti saya antar lagi,” kata Lee sambil tertawa.
Jarum sudah menunjukkan pukul 16.00 dan sudah waktunya kami kembali ke Beijing. Jika tak segera pulang, jalanan menuju pusat kota Beijing akan sangat macet. Dan, betul saja, butuh waktu hingga 4 jam untuk kembali ke pusat kota. Meski lelah di perjalanan, pengalaman jalan-jalan di kota air Beijing berhasil menyegarkan mata dan pikiran. Sampai ketemu lagi, Beijing WTown!